MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Konferensi Pers Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) KiTA, 2 Januari 2024, menyampaikan kinerja positif APBN 2023. Menurutnya, cerita APBN 2023 yang disebut the end of the journey akhir dari perjalanan penuh tantangan semenjak shock pandemi terjadi, dapat berakhir dengan husnulkhatimah, meminjam kalimat yang sering diucapkan untuk seseorang yang mengakhiri kehidupannya dengan penuh kebaikan. Kegembiraan Sri Mulyani atas capaian positif kinerja APBN 2023 dapat dimaklumi setelah selama empat tahun menakhodai pengelolaan APBN menghadapi turbulensi yang sangat tajam sejak 2020 saat dan pascapandemi covid-19. Capaian APBN 2023 yang menjadi kebanggaannya merupakan tahun terakhir yang harus diper­tanggungjawabkan pemerintahan Jokowi.

Sementara itu, APBN 2024 yang dilaksanakannya dalam waktu kurang 10 bulan secara de jure menjadi tanggung jawab pemerintahan berikutnya. Selain realisasi APBN 2023 melampaui terget, kinerja yang membanggakan Sri Mulyani ialah untuk pertama kalinya sejak APBN 2012, pada APBN 2023 keseimbangan primer mencatat surplus. Keseimbangan primer positif merupakan salah satu indikator keberhasilan pengelolaan APBN yang mana pendapatan negara dikurangi belanja negara tidak termasuk belanja bunga menghasilkan angka positif. Indikator kinerja APBN yang dinilai dari besaran penyerapan anggaran belanja dan pelampauan target APBN serta keseimbangan primer sepintas menunjukkan suatu keberhasilan. Sayangnya, prestasi yang dibanggakan tersebut hanya menghasilkan kinerja APBN secara formal berupa capaian target APBN belaka, tetapi mengabaikan kinerja substansi APBN sesungguhnya, yaitu pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan kese­jahteraan masyarakat.

ADVERTISEMENT ADVERTISEMENT Faktanya, pencairan belanja APBN 2023 yang tertinggi selama ini tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi sama dengan tahun sebelumnya. Sebaliknya, kinerja APBN tahun ini ternyata juga menyisakan sisi buram karena realisasi belanja APBN melampaui anggaran dan pembayaran melebihi fisik pekerjaan yang berpotensi mencederai prestasi yang diraih selama ini.   Kejar tayang pengeluaran APBN Peng­gelontoran belanja APBN ba­gaikan air bah dalam kurun waktu 17 hari pada Desember 2023 sebesar Rp533,7 triliun merupakan realisasi belanja terbanyak dalam sejarah republik ini. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp155,1 triliun ternyata dicairkan pada 29-31 Desember 2023, termasuk hari libur, suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Pencairan anggaran sesingkat itu ditengarai tidak sesuai tata kelola keuangan negara yang baik, antara lain tersedianya dokumen anggaran, dokumen komitmen perikatan, dan berita acara penyerahan pekerjaan. Faktanya, ternyata juga terjadi pencairan dana untuk keperluan belanja negara yang belum dianggarkan sebelumnya. Pasal 3 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendahaaran Negara menyatakan larangan melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia. Kontroversi terjadi karena anggaran belanja APBN 2023 untuk kementerian dan lembaga negara (K/L) sebesar Rp1.000,8 triliun sesuai UU Nomor 28 Tahun 2022 tentang APBN 2023 dan Perpres Nomor 75 Tahun 2023 yang mengatur rincian APBN 2023 direalisasikan sebesar Rp1.153,5 triliun. Anggaran belanja K/L tersebut terdiri atas belanja pegawai sebesar Rp272,9 triliun, belanja barang dan modal sebesar Rp584,4 triliun, serta belanja sosial sebesar Rp143,5 triliun.

Realisasi belanja barang dan modal sebesar Rp733 triliun melampaui anggaran Rp148,6 triliun dan realisasi belanja sosial sebesar Rp159,6 triliun melampaui anggaran Rp16,1 triliun. Sementara itu, belanja pegawai direalisasikan sebesar Rp260,9 triliun atau Rp12 triliun di bawah anggaran. Ketika realisasi belanja melebihi anggaran, tindakan tersebut berpotensi melanggar konstitusi. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan setiap pengeluaran harus berdasarkan anggaran. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengajukan perubahan APBN. Selain itu, terjadi pembayaran atas pekerjaan yang belum selesai sampai akhir 2023. Pendanaan belanja dicairkan sebagai realisasi APBN, tetapi uang tersebut disimpan terlebih dahulu pada rekening penampungan akhir tahun anggaran (RPATA). Sesuai PMK Nomor 109 Tahun 2023 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran atas Pekerjaan yang belum Diselesaikan pada Akhir Tahun Anggaran, RPATA merupakan rekening lain-lain milik bendahara umum negara untuk menampung dana dicairkan sebelum 31 Desember atas pekerjaan yang belum selesai sampai dengan akhir tahun anggaran.

Baca Juga: Menyoal Pesawat Tempur Rongsokan & Ekonomi Pertahanan

Kebijakan itu memberikan kelonggaran kepada rekanan untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud pada tahun anggaran berikutnya paling lama 90 hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan sesuai kontrak awal. PMK Nomor 109 Tahun 2023 it secara subtansial bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan pembayaran atas beban APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima.

Adanya kebutuhan mencairkan dana untuk kebutuhan proyek stategis nasional (PSN) dan kebutuhan Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak menjadi alasan melakukan pelanggaran terhadap UU Nomor 1 Tahun 2004 yang menyebab­kan tidak tertibnya pelaksanaan APBN. Kesemra­wutan itu buah dari ambisi Jokowi mengejar penyelesaian proyek infrastruktur sesuai janjinya. Tambahan belanja untuk pem­bayaran keperluan IKN dan PSN menunjukkan kemungkinan adanya kontrak pekerjaan yang dilakukan sebelum APBN tersedia. Pasalnya, PMK Nomor 109 Tahun 2023 masih mem­perkenankan penandatanganan kontrak sampai akhir November 2023 untuk dilanjutkan ke tahun 2024. Hal itu tentu tidak sesuai dengan ketentuan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, penandatanganan kontrak setelah tersedianya anggaran.    Kualitas belanja dan pembiayaan APBN Besarnya realisasi dan penyerapan belanja serta keseimbangan primer positif yang tercapai setelah kurun waktu 11 tahun terakhir ini tidak dapat dijadikan ukuran mem­baiknya kualitas belanja dan pembiayaan APBN 2023.  Ada lima indikator kinerja terkait kualitas belanja dan pembiayaan APBN yang perlu dipertanggung­jawabkan pemerintah secara transparan atas pengelolaan APBN 2023.

Pertama, pengeluaran APBN untuk belanja bunga sebesar Rp439,8 triliun atau 14,09% dari total belanja APBN merupakan pengeluaran tertinggi di antara jenis belanja APBN untuk pertama kalinya. Porsi belanja bunga tertinggi berlanjut pada APBN 2024 sebesar Rp497,3 triliun melebihi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, dan belanja bantuan sosial. Kenaikan belanja bunga tersebut dipenga­ruhi penambahan utang secara signifikan setiap tahunnya. Kedua, pencairan belanja APBN dari 13-31 Desember 2023 ternyata ditujukan untuk belanja bantuan sosial, belanja bunga, dan belanja transfer ke daerah. Ketiga jenis belanja tersebut tidak signifikan menggenjot perekonomian daerah dan pendapatan masyarakat. Ketiga, realisasi belanja untuk pekerjaan yang belum selesai sampai akhir Desember 2023 tidak diikuti dengan pencairan dana ke pihak rekanan, tapi masih tersimpan pada rekening tersendiri yang dikuasai bendahara umum negara sehingga tidak termanfaatkan dalam menggerakkan perekono­mian negara dan masyarakat pada 2023.  Keempat, alasan keterlambatan pencairan pe­nyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN pada akhir 2023 karena tidak memenuhi legal formal PMN kurang masuk akal sebab proses penganggaran PMN telah diatur PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara.

Pertanyaannya, apakah realisasi PMN sudah dianggarkan pada APBN dan sudah ditetapkan dengan peraturan pemerintah tersendiri. Kelima, porsi belanja modal terhadap total belanja APBN 2023 sebesar Rp210,32 triliun atau 9,36% merupakan jenis belanja K/L terendah, kontradiktif dengan obsesi Jokowi menggenjot infrastruktur di Tanah Air. Melihat performa pendapatan APBN 2023 yang mencapai Rp2.774,3 triliun melebihi target sebesar 112,6%, kesempatan terbaik mengurangi ketergan­tungan utang. Ironisnya, sepan­jang 2023 terjadi penambahan utang baru sehingga posisi utang per 31 Desember sebesar Rp8.068,2 triliun. Pengendalian terhadap penerimaan utang perlu dilakukan dengan memperhatikan kemampuan penyerapan APBN dan saldo kas negara yang tersedia. Penerbitan surat utang negara tidak perlu dilakukan dalam posisi penyerapan angga­ran relatif rendah dan saldo kas negara cukup memadai. Seba­liknya, menggelontorkan belanja APBN yang tidak terencana sebelumnya dan tidak dianggar­kan dalam APBN merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip good governance. Oleh:Hamdani Akademisi Departemen Akuntansi FEB Universitas Andalas, pakar keuangan negara dan daerah.(*)