KODRAT umat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu dan pengetahuan. Semua, pribadi dan bangsa-bangsa akan tumbang tanpa itu. Melawan pada yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan’. (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia) Umat manusia terlahir dengan hasrat besar penaklukan dan pencarian jawaban atas setiap ketidakpastian. Hasrat yang melahirkan pertanyaan, kemudian tindakan penggerak sejarah pencapaian manusia. Tindakan yang melahirkan penemuan-penemuan teknologi sebagai alat untuk mencapai yang diinginkan.

Dalam sejarah kehidupan manusia, teknologi yang dipergunakan terus berkembang semakin cepat. Mulai penemuan cara dan alat bercocok tanam atau berburu sampai kecerdasan buatan dengan kemampuan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Pencarian jawaban dan penaklukan atas hal yang tak dipahami sebelumnya selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Keterpurukan karena perang, bencana alam, atau pandemi terbukti tidak lantas menyurutkan hasrat penaklukan manusia atas dunianya. Selalu saja, manusia mengupayakan cara terbaik untuk mengatasi tantangan yang dihadapinya.

Mesin-mesin manufaktur telah lama menggantikan beberapa pekerjaan yang sebelumnya harus dikerjakan tenaga fisik manusia. Selanjutnya, kemajuan teknologi internet memungkinkan banyak pekerjaan dilakukan dengan aktivitas dan mobilitas fisik yang lebih efektif. Pascaabad industri, informasi dan data menjadi kekuatan baru yang dianggap lebih penting jika dibandingkan dengan faktor tenaga kerja dan proses manufaktur dalam skema ekonomi berbasis pengetahuan. Transformasi digital menjadi faktor determinan dalam banyak ranah kehidupan manusia. Termasuk dalam ranah pendidikan.

Transformasi pendidikan Di ranah pendidikan, diskursus pentingnya digitalisasi pendidikan setidaknya semakin menguat sejak satu dasawarsa lalu, saat gagasan Revolusi Industri 4.0 mulai digulirkan. Gagasan Revolusi Industri 4.0–yang menekankan pada teknologi otomatisasi dan siber–menuntut berbagai penyesuaian dan perubahan respons dalam pendidikan. Proses pembelajaran dituntut mampu memenuhi kebutuhan masa depan yang berubah cepat rentan, tak pasti, rumit, dan membingungkan. Pemahaman dan penguasaan atas teknologi digital menjadi salah satu keniscayaan tak terelakkan. Dalam konteks pendidikan, digitalisasi–atau juga sering disebut sebagai transformasi digital–dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk mengubah berbagai aspek dan proses pendidikan ke dalam beragam varian digital. Proses digitalisasi akan berdampak pada berbagai proses dalam pendidikan, terutama perubahan dalam organisasi dan kepemimpinan transformatif (Bejinaru: 2019). Digitalisasi dipercaya sebagai salah satu jawaban yang tak terelakkan dan diperlukan untuk menjawab tantangan pendidikan di masa depan. Di Indonesia upaya dan inisiatif digitalisasi pendidikan telah cukup lama dimulai meskipun berjalan dengan lambat. Pandemi covid-19 yang melanda sejak awal 2020 semakin membuka banyak fakta tentang rendahnya kapasitas lembaga pendidikan dalam melakukan transformasi digital.

Proses dan skema digitalisasi dalam pendidikan di Indonesia masih menjadi privilese sedikit lembaga pendidikan. Persoalan umum yang dihadapi lembaga pendidikan di Indonesia terkait dengan faktor-faktor teknis seperti tersedianya infrastruktur dan teknologi yang mendukung proses perubahan. Namun, sesungguhnya terdapat faktor lain yang lebih penting; terkait dengan persepsi, kebutuhan, dan kemampuan adaptasi/adaptabilitas dalam merespons digitalisasi pendidikan. Pandemi mengubah proses pengelolaan pendidikan dalam banyak aspek. Salah satunya terkait dengan proses pembelajaran di sekolah/lembaga pendidikan yang harus beranjak dari tatap muka/luring menjadi daring. Dari beberapa survei terkait dengan pembelajaran daring selama masa pandemi yang dilakukan beberapa lembaga terkemuka terhadap murid, guru, dan orangtua, respons mayoritas menyatakan pembelajaran daring ialah masalah, menyulitkan, dan mahal (lihat hasil survei KPAI: 2020; SMRC: 2020 atau Arus Survei Indonesia: 2020).

Baca Juga: Perkembangan Terkini Mutasi B117

Beberapa faktor yang menyebabkan pembelajaran jarak jauh lebih menjadi masalah daripada solusi lebih banyak terkait dengan aspek teknis seperti tidak tersedianya jaringan internet (internet coverage) dan kuota atau gawai yang memadai. Sementara itu, diskusi tentang bangun mental yang membutuhkan keluwesan/adaptabilitas para pelaku pendidikan akan digitalisasi pendidikan, dalam konteks perubahan dan tuntutan zaman, tidak pernah mengemuka dengan gamblang.

Rencana aksi Perlu diakui bahwa keberhasilan upaya melakukan tranformasi digital dalam dunia pendidikan selalu terkait dengan respons dan tindakan para pelaku/lembaga pendidikan. Kesediaan berdamai dengan perubahan selalu melebihi persoalan kelangkaan fasilitas dan persoalan teknis lainnya. Dalam konteks Indonesia, memang harus diakui bahwa persoalan kelangkaan atas ketersediaan fasilitas dalam konteks transfomasi digital masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pengambil kebijakan/pemerintah. Selama hal ini belum teratasi dengan baik, transformasi digital yang paripurna tidak akan pernah terjadi. Namun, keluwesan dan penerimaan untuk perubahan ialah modal yang diperlukan dalam proses digitalisasi pendidikan. Pembelajaran daring yang berkualitas hanya merupakan salah satu dari sekian banyak aspek digitalisasi pendidikan. Dalam konteks digitalisasi pendidikan, pembelajaran jarak jauh/daring yang dilakukan banyak lembaga pendidikan–terutama di masa pandemi–lebih merupakan upaya emergency remote teaching, proses pembelajaran jarak jauh darurat yang dilakukan terpaksa untuk menjamin layanan pendidikan. Bukan sebuah skema yang memang disiapkan dengan baik. Karena itu, ia tak tampak sebagai respons terukur bagi kebutuhan pendidikan terkait dengan Revolusi Industri 4.0 (atau bagian pemenuhan pendidikan dan keterampilan abad ke-21).

Komitmen pemerintah melalui gagasan Merdeka Belajar/Kampus Merdeka dengan fokus pada digitalisasi pendidikan perlu didukung dengan kesediaan para pelaku pendidikan untuk mengubah cara pandang kebutuhan pendidikan, dengan bersama menelaah dan mengalkulasi secara menyeluruh tantangan masa depan. Bersembunyi pada kesulitan dan kelemahan praktik pembelajaran daring untuk menolak digitalisasi pendidikan, misalnya, bisa jadi merupakan refleksi terkecil dari ketakutan akan teknologi/digitalisasi (digital phobic) yang tak beralasan. Diperlukan rencana aksi serius bersama yang melibatkan seluruh pelaku pendidikan untuk membaca, menghitung dan mempersiapkan respons yang tepat nan cerdas bagi tantangan masa depan melalui transformasi digital di dunia pendidikan. Hal itu dapat dimulai dari upaya kecil di tingkat lembaga pendidikan; melatih diri, murid, guru, dan orangtua untuk merayakan perubahan yang terjadi dengan keluwesan respons dan kesadaran untuk menimbang bahwa kebutuhan digitalisasi pendidikan bukanlah sebuah ancaman, melainkan sebagai sebuah keharusan. Jika pengalaman sulit dalam pengelolaan pembelajaran di masa pandemi hanya menghasilkan ketakutan yang berujung penolakan tranformasi digital, mungkin kita harus bersiap–seperti dikatakan Miriam de la Croix kepada Mingke dalam Bumi Manusia   ‘menyerahkan diri pada maut dan kehinaan’. Padahal, menyerah dan membiarkan pendidikan kita dalam keterpurukan; sama sekali bukan pilihan.( Victor Yasadhana, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma)