Bapa kerja dimana ? beta kerja di kantor BAPAS ibu ? oh LAPAS ? bukan ibu, BAPAS ? oh, kantor apa itu ? Percakapan singkat ini cukup sering penulis alami ketika bertemu dengan masyarakat awam yang memang mungkin untuk pertama kalinya mendengar kantor BAPAS. Tidak dimunafikan bahwa Balai Pemasyarakatan (BAPAS) tidak sepopuler Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) untuk saat ini karena BAPAS memang tidak terlalu menjadi primadona bagi kalangan pencari berita. Bagi kalangan akademisi yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi dan mengambil jurusan ilmu hukum beberapa diantaranya juga kadang cukup asing mendengar BAPAS. Hal ini bisa saja dikarenakan dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) disebutkan bahwa komponen SPP adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan LAPAS, walaupun ada beberapa pendapat yang menyebukan bahwa komponen sistem peradilan pidana adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan namun lebih banyak pendapat menyebut “LAPAS” dibandingkan dengan “Pemasyarakatan” yang penulis temukan dalam buku maupun artikel-artikel bacaan tentang SPP. Sebagai contoh pendapat dari Romli Atmasasmita dalam bukunya yang berjudul Sistem Peradilan Pidana Indonesia disebutkan bahwa “ Sistem peradilan pidana disebut juga sebagai Criminal Justice Process yang dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di Lembaga Pemasyarakatan.

Selain itu Mardjono Reksodiputro dalam pidato penerimaan jabatan Guru Besar dalam ilmu hukum mengemukakan bahwa “ Empat komponen dalam sistem peradilan pidana adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan”. Tentunya jika menyebut “LAPAS” maka BAPAS tidak termaksud dalam komponen SPP namun lain halnya jika sebutannya adalah “Pemasyarakatan” maka BAPAS dapat dikategorikan sebagai komponen dalam SPP. Hal inilah yang menjadikan BAPAS tidak sepopuler LAPAS di beberapa kalangan, namun lain halnya bagi Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) yang tentunya sudah tidak asing mendengarnya karena dalam penanganan perkara Anak BAPAS melalui Pembimbing Kemasyarakatan terlibat pada proses penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di sidang pengadilan, bahkan hingga anak selesai menjalani pidana atau dapat dikatakan bahwa keterlibatan BAPAS dalam penanganan perkara yang dilakukan oleh seseorang yang berstatus Anak dimulai pada tahap pra adjudikasi, adjudikasi, hingga post adjudikasi.

Dalam perkara dewasa BAPAS juga memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dimana ketika seorang pelaku berstatus tahanan dan dititipkan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) maka mulai saat itulah BAPAS mengambil perannya. Seorang tahanan yang dititipkan di RUTAN, maka BAPAS melalui Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk merekomendasikan program perawatan yang dibutuhkan oleh tahanan tersebut. Setelah tahanan mendapatkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) berubah statusnya menjadi terpidana dan ketika dieksekusi oleh Jaksa maka berubah statusnya menjadi narapidana atau juga dikenal dengan sebutan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), maka pada tahap ini Pembimbing Kemasyarakatan kembali melakukan penelitian kemasyarakatan untuk merekomendasikan program pembinaan awal yang cocok untuk WBP. Hasil penelitian kemasyarakatan inilah yang kemudian dijadikan bahan dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Lapas/Rutan untuk dibahas guna menentukan program pembinaan yang cocok untuk WBP. Perlu diketahui bahwa LAPAS berbeda dengan istilah penjara yang menganut sistem pemenjaraan dimana LAPAS menjalankan fungsi pembinaan. Pembinaan yang diberikan oleh LAPAS terbagi dalam 3 tahapan yaitu : awal, lanjutan, dan akhir dimana pada setiap tahapan WBP diberikan program pembinaan yang sesuai dengan kebutuhannya guna menyiapkan WBP kembali ke masyarakat dengan kondisi siap diterima oleh lingkungan masyarakat. LAPAS dalam pemberian program pada ke 3 tahapan tersebut meminta kepada BAPAS untuk melakukan penelitian kemasyarakatan terhadap WBP guna merekomendasikan program yang cocok untuk kebutuhan WBP tersebut. Setelah merekomendasikan program pembinaan, peran BAPAS tidak berhenti sampai disitu karena BAPAS juga melakukan pengawasan terhadap program yang diberikan oleh LAPAS kepada WBP, dimana pengawasan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dampak program pembinaan yang diberikan kepada WBP dan tentunya dapat dilakukan evaluasi dalam bentuk rekomendasi kepada LAPAS yang tertuang dalam laporan hasil pengawasan.

BAPAS sendiri melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan mengemban fungsi Pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan. Yang dimaksud dengan pembimbingan adalah pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan. WBP yang mendapatkan program re-integrasi baik berupa Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB), maupun Cuti Menjelang Bebas (CMB) juga termaksud dalam kategori klien pemasyarakatan. Sama halnya seperti LAPAS dimana pembinaan yang diberikan kepada WBP dalam bentuk program maka pembimbingan yang diberikan kepada klien pemasyarakatan juga dalam bentuk program. Dapat penulis simpulkan bahwa program pembimbingan di BAPAS merupakan kelanjutan dari program pembinaan yang telah diberikan saat klien pemasyarakatan menjalani pidana di dalam LAPAS. Tentunya terhadap program pembimbingan yang diberikan juga harus dilakukan pengawasan guna mengetahui efektifitas dari program yang diberikan. Perlu juga diketahui bahwa khusus untuk klien pemasyarakatan yang memperoleh program Pembebasan Bersyarat pengawasannya juga dilakukan oleh Lembaga Kejaksaan sebagaimana tertera dalam pasal 15 ayat (3) juncto pasal 14 d ayat (1) KUHP dan juga Pasal 30 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Pemberian program pembinaan di LAPAS dan program Pembimbingan di BAPAS pada prinsipnya bertujuan untuk memberikan bekal. (La Ode Rinaldi Muchlis, SH, Pembimbing Kemasyarakatan Pertama Bapas Kelas II Ambon)