AMBON, Siwalimanews – Tindakan yang dilakukan karteker Bupati Seram Bagian Barat Andri Chandra As’aduddin yang dinilai mencederai tolerasi di Maluku, membuat sejumlah kalangan mengecamnya.

Desakan pencopotan Karteker Bupati Seram Bagian Barat yang dinilai menciderai toleransi ber­agama di Maluku, ramai disuara­kan berbagai komponen masya­rakat.

Mereka bahkan meminta Men­teri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian, segera mencopot mantan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Provinsi Sulawesi Tengah ini dari jabatannya se­bagai Karteker SBB.

As’aduddin yang baru men­jabat lima bulan sejak dilantik Gubernur Maluku, pada 24 Mei lalu, dinilai tidak memahami kultur dan budaya masyarakat Maluku dan mencederai toleransi beraga­ma di Kabupaten Berjuluk Saka Mese Nusa tersebut.

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Ambon dan Perhim­punan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Ambon, akade­misi, dan anggota DPRD serta tokoh masyarakat SBB, rame-rame meminta agar Mendagri mengevaluasi Andri Chandra As’aduddin dari jabatan­nya sebagai Karteker Bupati SBB dan jika perlu dicopot dari jabatannya.

Baca Juga: Marasabessy Diminta Selesaikan Masalah Tapal Batas

Presidium hubungan masyarakat katolik demisioner PMKRI Cabang Ambon, Leonardo Balia mengung­kap­­kan, PMKRI Cabang Ambon tidak setuju dengan tindakan dan kebijakan penjabat Bupati SBB yang menarik alat transportasi dari tokoh agama dan jadwal pertemuan tokoh agama.

“Sesuai dengan sumber informasi PMKRI Cabang Ambon yang dite­rima langsung dari tokoh agama SBB terhadap sikap dan tindakan yang dilakukan oleh Penjabat Bupati, tidak pantas terhadap tokoh-tokoh agama, yaitu menarik aset negara yang diberikan kepada tokoh agama berupa alat transportasi dan juga jadwal pertemuan antara tokoh agama, Kristen Protestan, Katolik dan juga MUI yang tidak diberikan kesempatan untuk bertemu dengan beliau,” ujarnya dalam rilis yang disampaikan ke redaksi Siwalima, Rabu (14/9).

PMKRI meminta Gubernur Ma­luku, Mendagri dan Presiden men­copot penjabat Bupati SBB karena dinilai melakukan pelanggaran berat.

“Kami PMKRI Cabang Ambon mo­hon tuntutan kepada gubernur, Men­dagri dan Presiden segera men­copot As’aduddin sebagai penjabat bupati, karena ini merupakan pela­nggaran berat yang dilakukan dan ia tidak mengerti budaya Maluku,” katanya.

As’aduddin kata dia, harus belajar dari mantan Bupati Kabupaten Ke­pulauan Tanimbar, Petrus Fatlolon dimana sebagai umat Katolik yang mendukung penuh dan menyuk­seskan kegiatan MTQ di Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

Dikatakan, jika anggaran sudah dicairkan sesuai kebutuhan yang diharapkan dari umat atau jemaat, maka pihaknya sangat mengapre­siasi. tetapi PMKRI menuntut per­lakuan dan tindakan yang dilakukan oleh Penjabat Bupati SBB.

“Atas dasar keresahan bersama dan perasaan bersama, kami PMKRI Cabang Ambon yang merupakan pilar Gereja Katolik dan juga ber­patokan terhadap visi PMKRI ber­juang dengan terlibat dan berpihak pada kaum yang tertindas. Maka kami akan menindak lanjuti tindakan dan kebijakan yang di lakukan oleh Penjabat Bupati SBB dan mendu­kung penuh apa yang disampaikan oleh Uskup Keuskupan Amboina, Mgr Seno Ngutra dan Tokoh Agama di Maluku.

PMKRI Cabang Ambon juga me­ngecam tindakan dan kebijakan yang dilakukan oleh Penjabat SBB yang tidak tuntas dalam tugas dan ta­nggungjawab yang sedang dijabat.

Menurut PMKRI, penjabat harus mengetahui bahwa, Pesparawi, MTQ dan Pesparani serta hajatan umat beragama lainnya merupakan haja­tan negara. Mengingat bahwa dalam SK Menteri Agama untuk Lembaga Pembinaan Pengembangan Pespa­rani Nasional sudah ditetapkan dalam aturan. Seharusnya sebagai penjabat dan juga sebagai petinggi TNI men­dukung penuh program negara atau program pemerintah pusat.

“Kami PMKRI Cabang Ambon meminta untuk Penjabat Bupati SBB segera membuat sikap pernyataan maaf. Dan kami PMKRI Cabang Ambon mohon tuntutan kepada Gubernur, Menteri dalam Negeri dan Presiden segera mencopot jabatan­nya,” tegasnya.

Juga Desak Copot

Ketua GMKI Cabang Ambon, Jo­sias Tiven mengungkapkan, Maluku dikenal sebagai provinsi yang tole­ran. Keharmonisan dan kehidupan orang sudara itu tercermin lewat sikap saling menerima antar sesama agama yang ada.

“Misalnya dalam event keagama­an biasanya ada partisipasi dari aga­ma lain untuk menyukseskan kegia­tan tersebut. Hal ini telah menjadi tradisi yang merekatkan hubungan dan relasi sosial masyarakat Malu­ku,” ujarnya kepada Siwalima mela­lui pesan whatsapp, Rabu (14/9).

Dikatakan, pemerintah sebagai pelayan umat mestinya menyadiri tugasnya dalam menunjang  hal-hal positif yang telah membudaya dalam kehiduan antar umat beragama. Partisipasi pemerintah meresponi dan mendukung suksesnya kegia­tan-kegiatan keagamaan itu meru­pakan hal wajib dan prinsipil. “Hubungan dialogis antara peme­rin­tah dan tokoh-tokoh agama itu ha­rus dibangun secara rutin, bukan se­ba­liknya membiarkan para tokoh aga­ma menunggu berjam-jam, tambahnya.

Tokoh agama, kata dia, simbol representatif dari agama-agama yang ada di Maluku, sehingga perlu mendapatkan penghargaan dari pemerintah, bukan sebaliknya.

GMKI menilai, sikap yang dilaku­kan oleh Penjabat Bupati SBB me­rupakan suatu tindakan yang telah mencederai hakekat kehidupan orang basudara dalam bingkai keaga­maan di Maluku. Tindakan ini harus diberikan teguran keras kalau perlu dicopot saja dari jabatannya. Agar jangan memberikan dampak buruk dalam kehidupan beragama di Maluku yang telah dibangun di atas dasar persaudaraan.

Sebagai lembaga kemahasiswaan yang adalah bagian integral dari masyarakat Maluku, dirinya berha­rap, pemerintah pusat dalam hal ini mendagri dapat merespons serius tindakan fatal yang dilakukan oleh Penjabat Bupati SBB, yang telah mencederai hakekat persaudaraan dalam bingkai keagamaan di Maluku.

Dikritik Akademisi

Akademisi Unidar, Rauf Pelu mengungkapkan, peran tokoh-tokoh agama atau pimpinan umat dalam rangka membangun keberagaman dan toleransi di Maluku sangatlah besar.

Dia menilai, langkah dan kebijakan karteker Bupati SBB dinilai pimpinan umat mencederai toleransi atas data dan fakta yang terjadi di lapangan, karena itu para pemimpin umat akan melaporkannya ke Menteri Dalam Negeri merupakan sebuah kebijakan yang harus disikapi secara serius oleh penjabat bupati, dan ini sah-sah saja jika langkah itu dilakukan. Bisa dibilang ini sebuah hal yang luar biasa terjadi bahwa ada fakta yang terjadi yang membuat para pemimpin umat bertindak. Ini hal yang luar biasa.

Kata Pelu, penjabat Bupati SBB bukanlah orang Maluku, sehingga kondisi kearifan lokal di wilayah SBB tidak diketahui. Karena itu, para Forkopimda dan pimpinan-pimpinan organisasi perangkat daerah di lingkup Pemerintahan Kabupaten SBB harus­nya menyampaikan kepada penjabat.

“Penjabat bupati juga bukan Orang Maluku, sehingga kondisi keari­fan lokal tidak diketahui terutama toleransi umat beragama di Maluku hubungan pela gandong dan lain sebagainya. Ini  harus dijaga beliau kurang memahami betul, sehingga kepala dinas atau pimpinan-pimpi­nan OPD di Kabupaten SBB harus­nya memberitahukan itu kepada beliau,” ujar Pelu.

Kata dia, organisasi keagamaan itu dilindungi oleh negara berdasar­kan amanat undang-undang, sehi­ngga negara wajib memberikan duku­ngan dengan fasilitasi kenderaan itu.

“Pemberian mobil operasional kepada pemimpin umat di Kabu­paten SBB ini merupakan bagian dari negara memfasilitasi,” ujarnya.

Forkopimda atau juga pimpinan OPD kata Pelu, seharusnya mem­berikan pendekatan dan pembica­raan dengan penjabat bupati, terkait dengan kondisi Maluku yang kental dengan hubungan pela gandong, tolaransi umat beragama, dimana penjabat dalam tugasnya itu melekat semua agama. “Penjabat bupati itu milik semua agama, bukan satu agama saja dan juga harus menjaga hubu­ngan keharmonisan umat beragama di Maluku,” tuturnya.

Dikaji Ulang

Terpisah, Akademisi Fisip Un­patti, Paulus Koritelu mengatakan, persolaan yang terjadi sungguh-sungguh merupakan kejadian luar biasa, karena satu era pemerintahan baru yang sifatnya hanya penjabat, tetapi melakukan suatu gebrakan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat sensitif karena itu Mendagri harus kaji ulang jabatan yang diberikan kepada yang ber­sangkutan.

“Saya tidak tahu pola kepemim­pinan seperti apa, tetapi sebaliknya dikaji ulang kebijakan yang dila­kukan,” tegasnya.

Bagi konteks Maluku, kata Kori­telu persoalan agama bukanlah per­soalan yang main-main sebab ber­ulang kali Maluku diterpa dengan badai kemanusiaan karena persoalan agama. “Terlepas dari kurang dan lebihnya seorang mantan Bupati SBB sebelumnya, tetapi kebijakan yang ditekan dilakukan tetap harus dihargai,” ujar Koritelu.

Dikatakan, jika penjabat merasa pemberian mobil operasional bagi para pemimpin umat di Kabupaten SBB tidak prosedural, maka dapat diajukan keberatan dan memeriksa tetapi bukan dengan cara yang di­lakukan saat ini dengan memerintah satpol PP menarik langsung.

Sehingga, lanjut dia, para tokoh agama bereaksi maka itu masalah, karena tanpa disadari tokoh agama sa­ngat berkontribusi dalam meng­aman­kan bangsa, sebab ketika umat disuarakan oleh tokoh agama melalui mimbar akan sangat efektif untuk meneguhkan pemahaman umat.

Menurutnya, ketika tokoh agama telah menyurati Mendagri maka Mendagri memiliki hak, kewenangan terasuk kewajiban untuk merespon setiap keluhan yang disampaikan.

Desak Mundur

Tokoh masyarakat SBB yang juga mantan anggota DPRD Maluku, Evert Kermite mendesak penjabat Bupati SBB untuk mundur jika tidak lagi ingin memerintah di kabupaten itu.

Saat menghubungi Siwalima mela­lui sambungan seluler, Kamis (14/9) siang, Kermite mengecam tindakan dan kebijakan As’aduddin yang mem­buat tokoh agama menjadi kecewa.

Kermite mengatakan, jika langkah tokoh agama yang melaporkan ke Mendagri merupakan salah satu bentuk sikap yang harus disikapi.

“Jika ingin tetap menjabat maka harus perbaikilah, karena saya seba­gai tokoh masyarakat Kabupaten SBB tidak setuju dengan langkah penjabat. Jadi kalau mau menjabat perbaikilah sikap,” tuturnya.

Dia meminta, penjabat harus per­baiki sikap dan kebijakannya bila perlu mundur karena hubungan toleransi ini harus dijaga, dan jangan dicederai.

Responsif

Sementara itu, Wakil ketua Komisi I DPRD Provinsi Maluku, Jantje Wenno meminta Mendagri Tito Kar­navian untuk lebih bersikap res­ponsif terhadap tuntutan sejumlah pemimpin umat.

Demikian disampaikan wakil ketua Komisi yang membidangi hukum dan pemerintahan ini merespon per­soalan yang melibatkan Penjabat Bupati SBB, Andi Candra Sa’adud­din yang dianggap menciderai tole­ransi antar umat beragama.

Dikatakan, persoalan yang terjadi di Kabupaten SBB merupakan akibat dari penunjukan penjabat kepala dae­rah yang tidak memahami kultur, bu­daya, adat istiadat serta hubungan per­saudaraan dari masyarakat di Maluku.

“Ini akibat dari penunjukan pen­jabat kepala daerah yang tidak me­mahami kultur dan adat istiadat sehi­ngga terjadi miskomunikasi yang da­lam antar masyarakat dan penjabat bupati,” ungkap Wenno sebagai­mana dilansir Siwalimanews melalui pesan WhatsApp, Rabu (14/9).

Sebagai seorang pejabat publik, ujar Wenno, penjabat Bupati harus memahami tugas pokok dan fungsi sebagai pelayan masyarakat bukan sebagai penguasa yang dapat bertin­dak sesuka hati. Olehnya persolaan yang terjadi antara masyarakat dan Penjabat Bupati SBB harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi kerika menetapkan seorang penjabat Bupati.

Lapor Mendagri

Pemerintah pusat dalam hal ini Mendagri, diminta untuk segera me­narik Karteker Bupati Seram Bagian Barat Andri Chandra As’aduddin.

Pemimpin umat beragama di Maluku mengambil langkah tegas, dengan menyurati Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, menolak A’aduddin untuk terus menjadi penjabat di SBB.

Mereka menganggap As’aduddin bertidak  over acting dan mencede­rai toleransi umat beragama di kabu­paten berjuluk Saka Mese Nusa itu.

As’aduddin yang baru bertugas lima bulan di Kabupaten SBB, sejak dilantik Gubernur Maluku, Murad Imail 24 Mei 2022 lalu, dinilai telah mencederai toleransi umat beragama di Maluku dengan tindakan dan kebijakannya.

Demikian diungkapkan, Uskup Diosis Amboina Mgr Seno Ngutra, kepada wartawan di ruang kerja­nya, Selasa (13/9) pagi.

Kata Uskup, langkah tegas ini diam­bil pemimpin umat beragama di Ma­luku, meliputi agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha karena ada beberapa fakta yang dilakukan oleh penjabat Bupati SBB. Selain menyurati Mendagri, tembusan surat penolakan terhadap Penjabat Bupati SBB itu juga tembusannya disampaikan kepada Presiden Joko Widodo serta Menteri Sekretaris Negara.

Uskup menegaskan, para pemim­pin umat juga sudah bertemu lang­sung dengan Gubernur Maluku, Murad Ismail dan menyampaikan berbagai keluhan terkait dengan tindakan yang dilakukan penjabat Bupati SBB yang dinilai mencederai toleransi di Maluku.

Adapun sejumlah fakta diungkap­kan Uskup yaitu, pertama, pihak GPM mengajukan permohonan untuk pem­bukaan jalan di Desa Kaibobu, menjelang kegiatan AMGPM di sana, tetapi penjabat bupati menolak itu.

Akhirnya melalui Ketua Sinode menyampaikan ke gubernur dan direspon sehingga jalan tersebut bisa dibangun.

Kedua, saat para pimpinan agama di SBB ingin bertemu penjabat bupati, tak diberi ruang dan waktu untuk bertemu. Pimpinan umat ini menunggu daripukul 08.00 WIT hingga pukul 1900 WIT, namun penjabat bupati tidak juga menemui mereka.

Ketiga, yang paling meresahkan ykni penjabat bupati memperta­nyakan keabsahan lembaga Pespa­rani.  alaupun anggarannya telah dicair­kan kata Uskup, yang membuat diri­nya marah yakni seorang penjabat bupati mempertanyakan keabsahan Pesparani, padahal itu merupakan keiatan keagamaan yang sesuai dengan Permenag.

karenanya kata Uskup, seorang pjabat siapapun tidak bisa menga­taan bahwa ini tidak sah, apalagi pen­jabat mempermasalahkan SK yang diberikan oleh almarhum mantan Bu­pa­ti Yasin Payapo kepada lembaga itu, baha SK itu tidak berlaku lagi, sebab mantan bupati telah meninggal dunia.

Berdasarkan kejadian-kejadian ini, jeas Uskup, maka kelima pe­mim­pin agma di Maluku telah menye­pakati akan menempuh cara-cara yang legal untuk menyatakan kere­sa­han umat terhadap Penjabat Bu­pati SBB kepada Mendagri dengan menulis surat mosi tidak percaya atau penolakan terhadap penjabat Bupati SBB kepada Menda­gri dan tembusannya akan disampai­kan ke Presiden dan Mensesneg.

Lagi kata Uskup, tindakan ini diambil para pemimpin umat di Maluku, sebab kerjasama antara pemerintah dan para pemimpin agama di Maluku yang selama ini sudah sangat bagus terjalin, maka tidak ingin seorang penjabat menciderai moder­nasi dan toleransi antar umat beragama yang sudah terbina dengan baik.

Berikutnya lanjut Uskup,  penjabat bupati juga telah menarik semua mobil operasional dari para pemim­pin umat beragama di Kabupaten SBB, yang diberikan oleh para bu­pati terlebih dahulu dengan alasan ada penataan aset serta penertiban dari KPK.

Katanya, cara penarikan mobil ope­rasional tersebut dinilai tidak beretika, dimana penjabat mengirimkan petu­gas Satpol PP dengan seragam leng­kap turun ke Kantor MUI, Klasis dan Pastor dengan membawa berbagai surat, kemudian diperintahkan untuk ditandatangani dan setelah itu kendaraan operasional tersebut ditarik Satpol PP ke Kantor Bupati.

Ditambahkan, para pemimpin umat bersepakat tidak tergantung dari ken­daraan-kenderaan itu tetapi tindakan dan kebijakan yang dilakukan penja­bat Bupati SBB ini sama saja dengan tidak menghargai para pemimpin umat khususnya di SBB.

Bantahan

Penjabat Bupati SBB, Andri Chan­dra As’aduddin yang dikonfirmasi Siwalima membantah adanya tinda­kan dan kebijakan yang mencederai toleransi di Maluku.

Melalui pesan Whatsapp kepada Siwalima, Selasa (13/9) malam, man­tan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (BINDA) Provinsi Sulawesi Tengah ini mengungkapkan, pihak­nya mendukung penyelenggaraan Pesparani dengan anggaran sebesar Rp200 juta.

Kata penjabat, dirinya memper­tanyakan mengapa hanya dianggar­kan 200 juta di APBD, sedangkan proposal yang diajukan Rp650 juta.

Pencairan anggaran Rp200 juta itu, lanjut dia, bukan karena dipre­sure, tetapi sudah mendapatkan jawaban bahwa Pesparani sama dengan organisasi masyarakat yang lain, dimana kegiatan mereka bisa berjalan tanpa bantuan pemda.  Dimana bantuan pemda itu hanya bersifat memudahkan atau meri­ngan­kan dan bukan menanggung penuh.

“Pesparani didukung 200 juta, beta terus tanya kenapa hanya dianggarkan 200 juta di APBD, sedangkan proposal yg diajukan ada 650 juta. Cairnya dana 200 juta bukan karena dipresure, tapi beta sudah dapat jawaban bahwa Pespa­rani sama dengan ormas yang lain, kegiatan mereka seharusnya bisa berjalan tanpa bantuan pemda, ban­tuan dari Pemda bersifat memu­dahkan atau meringankan, bukan menanggung full 100% seluruh kebutuhan Pesparani. Makanya di APBD hanya di anggarkan 200 juta di APBD 2022, penetapan ini ditetapkan oleh mantan  bupati,” jelad penjabat.

Menyangkut SK mantan Bupati Yasin Payapo tentang terbentuknya lembaga Pesparani, bukan mengikuti setiap event Perparani, sehingga SK itu seharusnya dievaluasi sesuai dengan kondisi yang berkembang.

Terkait dengan mobil operasional yang dipakai pemimpin beragama, ungkap penjabat, tidak ada dokumen yang menunjukkan bahwa ada mobil operasional keagamaan, bahkan berita acara pinjam pakai saja tidak ada. pajak kenderaanpun tidak dibayar oleh pemakai.

Dirinya menertibkan itu karena tidak ada lagi temuan terkait dengan tata kelola aset mesin pemda.

Terkait dengan masalah jalan Kai­bobi-Waisar dibangun dengan kons­truksi hotmix, tetapi nyatanya diba­ngun dengan lapen, sehingga tidak tepat jika dirinya persoalkan hal itu.

Selanjutnya menyangkut dengan menerima tamu hingga pukul 21.00 WIT, dirinya membantah hal ini karena tidak pernah ada tamu yang ditunggu yang dimulai pukul 09.00 WIT.

Dia menambahkan, sama sekali tidak merasa mencederai toleransi beragama, karena setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan salam pembukaan sambutan selalu diungkapkan. (S-25/S-20)