Pengantar:  Tak mudah menulis figur Kapitan Jonker yang hidup pada abad 17 atau sekitar empat abad silam. Artikel ini merujuk kepada sejumlah sumber referensi, terutama “Kapitein Jonker 1630-1689 karya Mr. J.A. van der Chijs yang terbit tahun 1850; Oud en Nieuwe Oost-Indie karya Francois Valen­tijn terbit tahun 1726 dan Geschiedenis der Neder­landers op Java of in den Nederlandsch Oost-Indischen Archipel karya J. Rijnenberg, terbit tahun 1867.

Makam Kapitan Jonker masih ada sampai saat ini di Ma­runda, Jakarta. Pada masa lalu wilayahnya dikenal sebagai Kam­pung Pejonkeran dan juga ada “Soemoer Penjokeran” yang sangat jelas mengacu kepada nama Kapitan Jonker. Dia meninggal tahun 1689, tetapi tidak ada catatan pasti mengenai tanggal kelahiran Jonker. Namun, Jonker lahir di Pulau Ma­nipa, Seram Bagian Barat, Maluku. Ayahnya, Sangaji Kawasa merupakan orang terkemuka di Negeri Tumalehu, Pulau Manipa. Kapitan Jonker terlahir dan meninggal sebagai Muslim, memiliki dua orang anak, Pattij Lima Simar dan Seicon atau Sjakon.

Semula Manipa berada di bawah Sultan Ternate, namun ber­dasarkan kontrak tahun 1622, menye­babkan Manipa berada dibawa VOC (Kompeni). Kemudiaan, Manipa kembali di bawah Ternate melalui kontrak pada Februari 1638.

Persoalan serius di Manipa muncul pada tahun 1651, masa Gubernur Maluku (Vereenigde Oost Indische Compagnie/VOC), Arnold de Vlaming van Outshoorn, ketika Sengaji Kawasa dan rekan-rekannya menyerbu Benteng Wantrouw di Tuma­lehu, Manipa. Serbuan itu menewaskan Onderkoopman (wakil dagang) Gerard Bonser, isteri Koopman Comans dan peng­huni benteng lainnya, kecuali dua anak Comans yang selamat.

Peristiwa ini menimbulkan serangan balasan Gubernur Vlaming yang menghancurkan Manipa dan menyebabkan banyak warga lari keluar dari Manipa. Sangaji Kawasa dan kawan-kawan melakukan perlawanan, tetapi berakhir dengan kekalahan. Selain perlawanan di Manipa, (VOC) juga harus menghadapi serangan di berbagai tempat di Maluku, termasuk dari Makasar.

Baca Juga: Meretas Jalan Menuju Papua Damai

Untuk itu, Sangaji Kawasa dan kawan-kawan belum diberikan sanksi, sehingga anak-anak mereka menjadi jaminan. Setelah perlawanan terhadap VOC di Kepulauan Maluku berakhir, Gubernur Vlaming hanya membawa Sengaji Kawasa dan puteranya Jonker ke Ambon yang ditempatkan di Rooden Berg (Batu Merah). Warga diperbolehkan untuk kembali ke Manipa.

Pada Maret 1656, Gubernur Vlaming dan rombo­ngan mengunjungi Pulau Manipa, yang juga diikuti Sangaji Kawasa dan Jonker. Ketika kembali dari Manipa di akhir Maret, Gubernur Vlaming membawa 30 anak muda dari Manipa yang dijadikan satu Kompi dibawa pimpinan Kapitan Raja Tahalile. Ekspedisi pertama mengarah ke Amarasi, Pulau Timor, karena perebutan pengaruh dengan Portugis atas Kupang (Benteng Concordia) dan Pulau Solor (Benteng Henricus).

Ekspedisi ini didukung 600 orang yang terbagi dalam 12 Kompi bersenjata. Tapi, armada Kapal “De Haring” yang dinaiki Kompi Raja Tahalile dihantam badai, sehingga hancur setelah menghantam tebing saat hendak keluar dari Teluk Ambon. Mereka berpindah ke Kapal Amsterdam.

Setelah membantu kekuatan dalam dua kali ekspe­disi di pedalaman Pulau Timor, Vlaming memutuskan untuk kembali ke Timor untuk meneruskan perjalanan ke Batavia (Jakarta). Tapi, sekitar 300 anggotanya tinggal untuk mendukung kekuatan di Timor. Vlaming memang harus kembali ke Batavia, karena posisinya di Maluku telah digantikan Gubernur Jacob Hustaart.

Satu hari setelah tiba di Batavia, Ekspedisi Vlaming ini mendapat sambutan Pemerintah VOC di Batavia pada 15 Agustus 1656. Saat itu Gubernur Jenderal VOC dijabat Joan Maetsuycker. Kompi Tahalile dan Jonker mendapat apresiasi setelah menda­patkan laporan Vlaming mengenai ekspedisi di Pulau Timor. Tapi, rupanya pertempuran kedua bagi Kompi Tahalile sudah di depan mata, karena Banten selalu mengganggu VOC di sepanjang Tanjung Priok dan Untung Jawa, Marunda, serta Krukut. Kedatangan Pasukan Vlaming menyebabkan, Pemerintah Batavia memutuskan serangan ke Banten. Pertempuran selama satu bulan tak ter­hindarkan. Kekuatan besar bersenjata di bawah Komando Vlaming ini menyebabkan Banten harus mengakui keunggulan lawan.

Tidak lama setelah itu, Vlaming mendapat tugas baru lagi ekspedisi di perbatasan VOC dan Mataran di sekitar Karawang. Kompi Tahalile juga ikut mengambil bagian dalam ekspedisi ini, tapi ekspedisi ini mengalami kegagalan, sehingga kembali ke Batavia. Setelah itu, Kompi Tahalile bisa bernafas lega, karena sampai dengan medio 1657, tidak ada pertempuran.

Namun, pada Agustus 1657, Kompi Tahalile dengan kekuatan 80 orang ditugaskan untuk ikut dalam Ekspedisi Rijklof van Goens (nanti menjadi Gubernur Jenderal VOC 1678-1681) ke India dan Ceylon (Sri Lanka) untuk mengusir Portugis. Ekspedisi ini selain didukung kapal besar dan kecil, juga diperkuat 11 Kompi tentara Eropa. Ekspedisi ini berhasil mencapai Goa yang sebagian dikuasai Belanda.

Di awal 1658, pasukan Van Goens berhasil merebut Tutukorin, yang dilanjutkan dengan keberhasilan merebut Pulau Manaar dekat Sri Lanka. Dari sini, mereka merangsek ke Jafnapatnam yang ditalkukkan pada pertengan 1658. Namun, Jonker terkena tembakan di tangan kiri. Selain itu, mereka juga menaklukkan Nagapatnam. Pertempuran di Sri Lanka ini melahirkan perjanjian dengan Raja Vijaya Nayakkar dari Thanjavur tahun 1658, dimana 10 wilayah dialihkan dari Portugis ke VOC.

Setelah kembali dari Ekspedisi di Sri Lanka ini, Kapitan Raja Tahalile tidak lagi muncul. Sangat mungkin Kapitan Tahalile menjadi korban dalam pertempuran, sehingga perannya digantikan Jonker, karena sejak saat itu gelar kapitan dikenakan Jonker setelah kembali dari Sri Lanka pada 1659. Bisa jadi, kapitan ini disematkan di Sri Lanka.

Setelah ekspedisi Van Goens ini, Kapitan Jonker dikabar minta izin pulang  ke Ambon, tetapi mungkin saja tidak jadi, karena pada awal 1660, Kapitan Jonker muncul di rapat Dewan Hindia untuk meminta kompensasi atas cedera tangan kirinya, yang dikabulkan Pemerintah Tinggi (hooge regering) VOC. Setelah itu, tidak ada kabar mengenai Kapitan Jonker sampai dengan pengangkatannya sebagai pimpinan orang Ambon di Batavia pada tahun 1665, yang difasilitasi pemerintah di Batavia.

Selain itu, Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker dalam rapat Dewan Hindia (Rade van Indie) pada April 1666, menyampaikan ketidaknyamanan dalam memasok bekal bagi pasukan yang menduduki pos di Sungai Bekasi, Marunda dan Angke. Untuk itu, dia mengusulkan agar pos itu diduduki pasukan Ambon. Dewan Hindia merespon usulan itu dengan menugaskan Laurens Pit untuk berbicara dengan Kapitan Jonker, yang disambut baik Kapitan Jonker untuk menempati kawasan Marunda yang tentu sangat sepi pada masanya.

Kapitan Jonker belum puas menikmati daerah baru yang ditempati itu, saat Kapitan Jonker dan pasukannya menerima tugas ekspedisi di Pantai Barat Sumatera. Ekspedisi ini juga menyatukan Aru Palaka (Raja Bone) dan Kapitan Jonker.

Penyebab ekspedisi ini, orang Pau (Pauh) yang tidak jauh dari Padang melakukan serangan ke VOC, yang menimbulkan korban jiwa di pihak VOC tahun 1666. Peristiwa ini juga tercatat dalam sejarah Kota Padang yang dirilis di website resminya saat ini.

Untuk memulihkan situasi, Pemerintah Batavia mengirim ekspedisi di bawah Komando Kapten Christian Poolman.

Ekspedisi ini didukung 300 tentara Eropa yang dibagi dalam lima kompi, tentara pribumi Bugis dan Ambon. Kompi Bugis dipimpin Raja Palaka (Aru Palaka), sedangkan Kompi Ambon dipimpin Kapitan Jonker. Setidaknya, ada 600 prajurit yang terlibat dan disokong dengan beberapa kapal.

Ekspedisi ini tiba di Padang pada September 1666, Pauh segera menjadi target utama, yang menyebabkan Pauh luluh lantak, yang juga diikuti dengan pembakaran. Raja Pauh dan puteranya juga jadi korban dalam peristiwa ini. Setelah itu Tiku, Pariaman dan Pulau Chingko (Cingkuak) berhasil ditaklukkan.

Hal ini menyebabkan, Orang Kaya Kecil mengusulkan agar Aru Palaka menjadi Raja Ulakan dan Kapitan Jonker menjadi Panglima Pariaman. Tapi ini tidak pernah menjadi kenyataan, sebab setelah ekspedisi selesai, Kapitan Jonker dan Aru Palaka kembali ke Batavia.

Ekspedisi Poolman ini dianggap sukses sehingga mendapat apresiasi dari Gubernur Jenderal ketika tiba di Batavia. Bahkan, ada pimpinan pasukan yang membawa tawanan dari Sumatera Barat, dimana setiap tawanan memiliki harga. Tetapi, Kapitan Jonker tidak setuju dengan adanya tawanan perang itu.

Kehidupan Kapitan Jonker dan pasukan Ambonnya seolah “ditakdirkan” untuk perang, karena belum sebulan di Batavia, pada November 1666, Kapitan Jonker dan Aru Palaka ditugaskan untuk ikut dalam ekspedisi Cornelis Speelman (nanti menjai Gubernur Jenderal 1681-1684) ke Makassar. Ekspedisi ini tentu tidak mudah, karena kekuatan Makassar sangat tangguh dan mampu memperluas kekuasaan. Tetapi, bagi Aru Palaka ini juga menjadi kesempatan untuk memperoleh kembali haknya sebagai pewaris Kerajaan Bone.

Perang berjalan hampir satu tahun, setelah dicapai kese­pa­katan melalui Perjanjian Bongaya di Gowa, pada 18 November 1667. Namun, sebelum prjanjian itu, Speelman menggunakan waktu untuk berlayar ke Ternate, Banda dan Ambon. “Anak kesayangan” Speelman, Kapitan Jonker ikut bersama dalam pelayaran ini. Akibat perjanjian Bongaya ini menyebabkan penyerahan benteng kepada VOC. Speelman menamai Benteng Rotterdam sesuai kota asal Speelman di Belanda.

Rombongan Speelman akhirnya bertolak ke Batavia pada 28 Oktober 1669. Setidaknya ada 1000 orang, termasuk para bangsaan Gowa dan Tallo, untuk berbagai urusan termasuk ratifikasi perjanjian Bongaya. Ketika tiba di Batavia, Speelman didamping Kapitan Jonker dan Aru Palaka diterima Gubernur Jenderal. Speelman mengakui, tanpa dukungan Kapitan Jonker dan Aru Palaka akan sangat sulit untuk mengalahkan Makassar.

Pasukan Ambon juga mendapat gaji lebih tinggi dari pasukan pribumi lain, karena dianggap lebih cakap dan memiliki kemampuan yang lebih baik. Pasukan Ambon sama seperti pasukan pribumi lainnya, ada dari Jawa, Bugis, Buton, Bali, Melayu dan sebagainya.

Pada tahun 1678, Kapitan Jonker meminta izin pulang ke Manipa, untuk urusan pribadi. Dengan syarat, Jonker masih terikat dengan VOC dan kalau dibutuhkan segera kembali ke Batavia. Tapi, pada 1676, sebenarnya Pemerintah Batavia sudah mengirim ekspedisi kecil ke Jawa Timur, tapi ternyata persoalan semakin membesar, sehingga dikirim ekspedisi yang lebih besar di bawah Cornelis Speelman. Kapitan Jonker tidak ikut dalam ekspedisi ini, mungkin karena kepentingan untuk pulang ke Manipa.

Kapitan Jonker pulang ke Batavia pada tahun 1679. Dia diminta menyiapkan satu Kompi dengan kekuatan 75 orang Ambon dan segera ditugaskan ke Jawa Timur dalam peperangan yang dimulai tathun 1676. Sebelum berangkat ke Jawa Timur, Jonker masih sempat menghadiri pesta yang digelar Aru Palaka karena telah menjadi Raja Bone. Pesta ini dihadiri para petinggi di Batavia.

Pada Juli 1676, ekspedisi ke Jawa Timur ini berangkat dengan kekuatan sekitar 4.000 orang di bawah Komando Panglima J. Couper, selain tentara Eropa, juga ada Bali, Melayu, pasukan Jonker dan Aru Palaka.

Peperangan di Jawa Timur sebenarnya, antara Raja Mataram Susuhunan Amang­kurat II dengan Truno Joyo yang mendapat dukungan dari Kraeng Galessong dari Makassar yang bergeser ke Jawa Timur karena hantaman VOC di Makassar. Di laut pasukan Truno Joyo berhadapan dengan pasukan Aru Palaka, sedangkan operasi di darat mengandalkan Kapitan Jonker. Akhirnya, Truno Joyo terdesak dan mundur di lereng Gunung Kelud. Pasukan Jonker terus melakukan pengejaran dan menge­pung Truno Joyo, sehingga mustahil untuk lolos, karena pasukan Truno Joyo juga mengalami keterbatasan bahan maka­nan. Apalagi, Jonker mendapat dukungan tambahan pasukan dari Susuhunan Amangkurat.

Truno Joyo turun dari lereng gunung dan menyerahkan diri ke Kapitan Jonker pada akhir Desember 1679. Setidaknya, ada 400 orang yang bersama Truno Joyo se­hingga Couper mengirimkan pasukan pengawal tambahan. Jonker menyerahkan Truno Joyo tanpa menyakiti sedikitpun kepada J. Couper. Namun, Susuhunan meminta Truno Joyo diserahkan kepada­nya, dengan perjanjian membiarkan Truno Joyo hidup karena akan dibawa ke Batavia. Tetapi, kenyataan lain yang terjadi, karena Truno Joyo dibunuh dengan keris ketika menemui Susuhunan Amang­kurat II yang berada di Payak pada 2 Januari 1680.

Setelah tiba kembali di Batavia, Kapitan Jonker menyurati Gubernur Jenderal VOC untuk menyampaikan terima kasih, tetapi secara tersirat menyampaikan pesan soal penghargaan dari VOC atas peperangan di Jawa Timur. Kapitan Jonker memiliki juru tulis bernama Aboe Bakir (Abubakar?).

Hanya saja, apresiasi yang diharapkan tidak kunjung terealiasi. Setelah satu tahun berlalu (1681), barulah muncul keputusan kalau 77 anggota pasukan di bawah Jonker tetap bertugas di Kompeni, sedangkan 52 orang diberhentikan ka­rena permintaan sendiri, dengan catatan siap menerima tugas kalau diperlukan. Keputusan ini disertai dengan kom­pensasi pembiayaan.

Namun, pada 23 April 1681, Kapitan Jonker mendapat kehormatan penyema­tan rantai dan medali emas di Kastil Batavia. Acara yang khusus pemberian penghargaan itu dihadiri Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens, Dewan Hindia dan semua petinggi di Batavia. Peng­hargaan VOC itu berbagai jasa Kapitan Jonker dalam berbagai ekspedisi VOC di berbagai tempat.

Kepercayaan VOC kepada Jonker se­makin besar tampak dari ekspedisi yang dilakukan di Palembang, Jambi dan Johor. Dalam urusan dagang Pemerintah Batavia mengutus Kapten F. Tack pada April 1681, disertai Koopman, Onderkoopman, bebe­rapa staf dan Kapitan Jonker sebagai kepala tentara pribumi (jabatan orang kedua di bawah Kapten F Tack). Ini jabatan yang tertinggi yang diemban Jonker dalam berbagai ekspedisi. Dalam ekspe­disi ini, Jonker didampingi sepupunya, Zakarias Sawarga (putera Kakak Sangaji Kawasa). Zakarias masuk Kristen di Ambon. Dia dibawa ke Batavia oleh pedagang P. de Cock pada Mei 1671 dan dididik Cornelis Speelman. Karakter Zakarias yang baik dan rendah hati menyebabkan Speelman menyekolahkan atas sepenge­tahuan Pemerintah Tinggi. Zakarias terampil membaca, menulis  Bahasa Belanda dan melukis.

Misi Kapten Tack, yakni  mengunjungi Markas Kompeni di Palembang dan Jambi;  menyelesaikan kerusuhan di perairan antara Palembang, Jambi, dan Johor; memastikan kepentingan kompeni; dan mengatasi persenjataan Johor. Tugas ini berjalan baik, karena dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Pada 25 November 1681, terjadi serah terima jabatan Gubernur Jenderal dari Van Goens kepada Cornelis Speelman. Hal ini mempengaruhi pamor Kapitan Jonker karena kedekatannya dengan Speelman, baik ekspedisi di Makassar maupun di Jawa Timur. Kapitan Jonker juga meng­hadiri acara serah terima ini bersama para petinggi VOC di Batavia.

Namun, pada Mei 1680, tidak jauh dari Batavia, di Banten ada peristiwa per­gantian Sultan Banten. Sultan Ageng Tirta­yasa berkuasa di Kesultanan Banten pada yang berkuasa sejak 1651, tidak bersa­habat dengan VOC, justru sering menjadi lawan VOC. Perebutan tahta ini memicu konflik pada awal 1682, karena puteranya hendak menggantikan ayahnya. Keliha­tannya, Sultan Haji memahami “lawannya musuh adalah kawan”. Dia meminta ban­tuan VOC untuk melawan ayahnya sendiri.

VOC memutuskan memberikan ban­tuan dengan menunjuk  Mayor Isaak de Saint Martin sebagai Panglima Ekspedisi ke Banten. Namun, Saint Martin ternyata tidak cakap, karena persoalan di lapangan tidak tertangani dengan baik. Sementara Sultan Ageng Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten). Ketidakmampuan Saint Martin membebaskan Sultan Haji ini sampai ke Batavia.

Hal ini direspon dengan mengirim Kap­ten F. Tack ke Banten pada April 1682. Tack memiliki otoritas yang sama dengan Saint Martin, meski memiliki pangkat yang lebih rendah. Selain itu, pada pertengahan April, Kapitan Jonker diminta untuk mempersiapkan kompi yang akan dikirim ke Banten. Tack dan Jonker tidak asing, karena mereka belum bertugas bersama ke Palembang, Jambi dan Johor, sehingga tidak mengherankan kalau pasukan Jonker berada di bawah Kapten Tack.

Pada medio Mei 1682, pasukan Jonker tiba di Banten dengan sekitar 400 orang pasukan, yang dibagi menjadi enam kompi. Hanya saja, Kapten Tack tidak lama berada di Banten, karena merasa dile­matis dengan adanya dua orang koman­dan, sehingga meminta pulang ke Batavia. Tapi, persoalan tidak segera membaik, justru persoalan di lapangan makin memburuk. Bahkan, Jonker sempat men­de­rita sakit, sehingga meminta isterinya datang ke Banten untuk merawatnya.

Berbagai persoalan di lapangan ini, ke­lihatannya Jonker menyampaikan ke Bata­via, karena bisa dipahami dari kede­ka­tan dengan Gubernur Jenderal Speel­man.

Pada Juni 1682, Sultan Haji ingin menyerang posisi ayahnya di benteng yang baru dibuat. Namun, hal ini tidak dila­kukan. Akibatnya, posisi Sultan Tirtayasa semakin kuat. Pada akhir tahun 1682, VOC dan Sultan Haji membutuhkan dua kali lipat kekuatan untuk bisa menga­lahkan Sultan Tirtayasa.

Hal ini juga yang menyebabkan keke­cewaan Jonker yang sangat berpenga­laman di medan perang, karena Saint Martin dianggap terlalu lambat dalam bertindak, sehingga situasi makin sulit. Apalagi, ada pasukan yang sudah mem­belot mendukung Sultan Tirtayasa.

Pada awal Desember 1682, Peme­rintah Batavia meminta Saint Martin ke Batavia karena perlu bicara lisan, tapi hampir bersamaan dengan itu Kapten Tack ditunjuk menggantikan Saint Martin. Jadi, Saint Martin belum tahu kalau pema­nggilan itu merupakan pergantian Panglima Ekspedisi.

Bisa jadi, Mayor Saint Martin marah dan kecewa. Untuk itu dia memberikan klarifikasi kepada Pemerintah Tinggi. Dia mengundurkan diri dan kembali ke Belanda. Namun, Saint Martin hanya dua tahun di Belanda sebelum kembali ke Batavia sebagai anggota Rade van Indie.  Apakah Saint Martin marah, kebencian, dengki terhadap Kapitan Jonker?

Kolaborasi Pasukan Kapten Tack dan Kapitan Jonker tidak membutuhkan waktu lama untuk menyergap Sultan Tirtayasa, karena hanya butuh waktu sekitar satu pekan untuk menduduki markas Sultan Tirtayasa, sehingga Sultan menghindari ke wilayah Pandeglang. Pada tahun 1692, Sultan Tirtayasa ditangkap dan meninggal di Batavia.

Kekalahan Sultan Tirtayasa menyebab­kan, pendukungnya berbalik badan. Salah satunya, Kiai Demang Singa Wilodra alias Buleleng bersama dengan pendukungnya mendatangi Kapitan Jonker dan menerima perlakuan yang baik. Sementara Jonker dan pasukannya kembali ke Batavia pada Februari 1683 dengan semangat keme­nangan.

Tetapi roda cepat berputar.  Sebab, tidak sampai satu tahun dari kemenangan itu, Gubernur Jenderal Cornelis Speelman meninggal pada 11 Januari 1684. Jonker kehilangan pegangan. Tidak cukup di situ, Kapitan F Tack juga segera menyusul Speelman, meninggal dunia.

Situasi berubah drastis, karena Kapitan Jonker dan Pasukan Ambonnya mulai terlupakan. Jasa besar Kapitan Jonker seolah tidak berbekas. Apalagi, pengganti Speelman, Gubernur Jenderal Johannes Champuys tidak memiliki hubunngan dengan Kapitan Jonker dan mungkin tidak mengetahui jasa Kapitan Jonker bagi Kompeni.

Nama jonker mulai dihilangkan, baik di Pemerintah Tinggi maupun catatan harian Kastil Batavia. Begitu juga pasukan Ambon tidak muncul lagi dalam berbagai dokumen, meski pasukan pribumi lain masih tetap tercatat. Kapitan Jonker tidak pernah lagi muncul, selain selama beberapa tahun tidak ada ekspedisi dari Batavia.

Tapi dendam, kebencian, intrik dan fitnah mengarah Kapitan Jonker. Hal itu memunculkan kecurigaan terhadap Saint Martin yang menjabat sebagai anggota Dewan Hindia, sekaligus Panglima Angkatan Darat. Belum lama, Saint Martin dianggap gagal di Banten, tetapi kini memiliki kekuasaan. Yang kedua adalah rekan Saint Martin, J. van Hoorn yang bertugas mengelola Urusan Pribumi dalam wilayah Batavia. Dan satu nama yang mungkin tidak dibayangkan, orang yang mendapat pengasihan Kapitan Jonker dalam perang Banten, Kiai Demang Wilodra alias Buleleng.

Kiai Demang mendapat tugas untuk memberantas pasukan pribumi yang dicap penjahat, dan mungkin hanya untuk menyasar Kapitan Jonker.  Hal ini sampai ke telinga Jonker dan sangat marah kepada Kiai Demang. Tapi, gossip dan desas-desus berhembus kencang di pusat kekuasaan, seolah Kapitan Jonker sedang menyiapkan pasukan untuk menyerang kastil. Semua informasi sengaja dibuat bias. Sebab, sangat mudah untuk mema­nggil Jonker dan mendengarkan informasi langsung darinya. Tetapi, tidak ada yang melakukan itu. Lama-lama kebohongan diyakini sebagai kebenaran.

Semua rencana serangan dan detail peta muncul di pusaran kekuasaan, yang mungkin saja Kapitan Jonker tidak tahu-menahu dengan semua itu. Pasukan disiapkan untuk menyerang Kapitan Jonker di Marunda, yang dipimpin Panglima van Sloot dan Wanderpoel.

Wanderpoel bertugas di dekat Marun­da, tetapi Kapitan Jonker sudah pergi dari Marunda untuk berjumpa dengan Joan Albert van Sloot, sehingga Wanderpoel segera bergabung dengan Panglima Sloot. Mungkinkah Sloot mengajak Jonker bertemu?

Namun, di satu sisi, Kapitan Jonker meski datang dengan pasukannya tetapi tidak menunjukkan persiapan untuk berperang. Tetapi, ketika berjumpa Letnan Holscher spontan menyerang Kapitan Jonker. Jonker menghembuskan napas terakhir pada 24 Agustus 1689.

“Tindakan tersebut, yang disebabkan oleh semua rumor yang benar, setengah benar, dan salah tentang Jonker”. Begitu tulisan Mr. J.A. van der Chijs setelah meme­riksa semua informasi mengenai Kapitan Jonker.

Dua hari setelah kematian Kapitan Jonker, Saint Martin dan J. van Hoorn mengundurkan diri sebagai Komisaris Urusan Negara Pribumi. Permintaan serupa diulang lagi pada 13 September 1689, tapi juga tidak dikabulkan.

Kapitan Jonker van Manipa dima­kamkan di Marunda, Jakarta. Tentu, Kapitan Jonker dan Raja Palaka dari Bone merupakan figur abad 17. Sudut pandang menentukan kesimpulan. Jadi, bagaimana menempatkan pelaku sejarah pada masa lalu, tergantung “kacamata” mana yang digunakan. Terima kasih. (Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina Direktur Archipelago Solidarity Foundation)