KONFLIK Rusia-Ukraina masih tak kunjung usai dan telah menyebabkan ribuan korban jiwa dari setiap pihak. Badan Pengungsi PBB juga menye­butkan, bahwa lebih dari 7,8 juta warga Ukraina telah menjadi pengungsi dan pindah ke negara tetangga. Lamanya konflik ini terjadi, telah menimbulkan begitu banyak pertanyaan, yang bermuara pada satu pertanyaan penting yaitu kapan konflik ini akan berakhir?

Leaders’ declaration

Negara-Negara di dunia telah menggunakan ber­bagai upaya untuk membantu kedua negara agar dapat menyelesaikan konflik. Upaya tersebut, juga terli­hat dalam kegiatan KTT G-20 yang diadakan be­berapa waktu yang lalu meskipun G-20 adalah forum ekonomi dan bukanlah forum untuk menye­lesaikan masalah keamanan, mayoritas pemimpin negara yang tergabung dalam G-20 sepakat untuk memberikan perhatian pada isu tersebut.

Hal ini disebabkan karena konflik Rusia-Ukraina dianggap telah mengganggu keamanan global yang memiliki implikasi yang besar dan signifikan bagi ekonomi dunia, dan dapat menghambat pertum­buhan, meningkatkan inflasi, mengganggu rantai pa­so­kan, meningkatkan kerawanan energi dan pa­ngan, serta meningkatkan risiko stabilitas keuangan dunia.

Dalam kesimpulannya yang tertuang dalam Leaders’ Declaration, mayoritas pemimpin negara G-20 Sepakat bahwa perang di Ukraina harus di akhiri. Akan tetapi perlu diingat, bahwa Leaders’ Declaration tersebut hanya bersifat diplomatis. Dengan kata lain, Leader’s Declaration hanya akan menjadi seruan atau himbauan bagi Rusia-Ukraina untuk dapat segera mewujudkan perdamaian.

Baca Juga: Kesetaraan Hak Berkota Kaum Difabel

Sehingga nasib Leaders’ Declaration itu tam­paknya akan sama dengan Resolusi No ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022, yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB yang isinya mengecam keras serangan Rusia ke Ukraina, dan menuntut Rusia untuk segera menghentikan serangannya tersebut, serta melaku­kan penarikan penuh pasukan militernya dengan tanpa syarat dari wilayah Ukraina. Karena sifatnya rekomendasi, maka penyelesaian konflik Rusia-Ukraina tampaknya akan kembali digantungkan pada ada tidaknya kesepakatan dari kedua negara.

Celah hukum

Perlu diingat sekali lagi, bahwa serangan Rusia ke wilayah Ukraina sama sekali tidak dapat dibe­narkan. Karena, apa yang dilakukan Rusia telah jelas melanggar Prinsip-Prinsip Hukum Internasional, Aturan Hukum Internasional, Hukum HAM Inter­nasional dan Hukum Humaniter Internasional.

Serangan Rusia terhadap integritas wilayah Ukraina itu merupakan pelanggaran nyata terhadap pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang telah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional. Pasal tersebut, melarang Rusia menggunakan kekerasan atau kekuatan bersenjata, untuk menyerang integritas teritorial atau kemerdekaan politik Ukraina.

Meskipun telah jelas melanggar hukum Interna­sional, Dewan Keamanan PBB yang memiliki tugas dan fungsi utama untuk dapat mengambil tindakan dalam rangka menjaga perdamaian, dan keamanan internasional tidak dapat berbuat apa-apa. Hal itu, disebabkan Karena Rusia merupakan salah satu dari 5 negara Anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki Hak Veto, yang dapat menggagalkan segala Rancangan Resolusi yang ditujukan untuk “meng­hukum” Rusia. Sistem Veto itu, merupakan ‘celah’ dalam Hukum Internasional, yang telah berulang kali menghambat terciptanya perdamaian. Dengan kata lain PBB jelas mengalami kebuntuan.

Tiga kemungkinan

Selanjutnya, banyak juga pihak yang mengharapkan adanya intervensi Amerika dan NATO secara langsung dalam Pusaran Konflik Rusia-Ukraina ini. Akan tetapi, Penulis melihat bahwa Amerika dan Sekutunya tidak akan terseret pada solusi militer seperti itu. Tetapi, hanya sebatas pada intervensi secara tidak langsung melalui bantuan persenjataan, yang dapat melahirkan dua keadaan, yaitu bantuan persenjataan tersebut dapat membuat Ukraina memenangkan perang, atau justru memperpanjang perang.

Intervensi Langsung dari Amerika dan sekutunya, akan berpotensi menimbulkan risiko konflik global yang jauh lebih serius. Hal itu tidak hanya akan membahayakan dan mengancam keamanan kawasan Amerika-Eropa. Tetapi, juga dapat mengakhiri peradaban manusia. Ancaman akan adanya perang nuklir akan semakin nyata dan bukan tidak mungkin hal tersebut akan terjadi.

Kembali kepada pertanyaan awal, kapan konflik Rusia-Ukraina ini akan berakhir? Maka akan sulit untuk menjawabnya. Pada satu sisi, Rusia tampaknya sangat termotivasi untuk melengserkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky karena hal tersebut dianggap dapat mengubah arah kebijakan politik luar Negeri Ukraina, untuk tetap menjadi zona Netral dan wilayah ‘independen’ yang tidak berhubungan Khusus dengan Amerika dan Sekutunya.

Pada sisi lainnya, Ukraina tampaknya juga akan terus memperjuangkan statusnya sebagai negara Merdeka, yang memiliki hak atas integritas wilayahnya, dan kebebasan dalam menentukan nasib politiknya berdasarkan aturan hukum Internasional. Baik secara moral dan politik, Ukraina tampaknya tidak akan menyerah dan melepaskan wilayahnya.

Pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan atas per­tanyaan di awal, bahwa tidak ada cara yang realistis yang dapat dilakukan untuk segera mengakhiri konflik, dan tampaknya konflik ini akan berlangsung lama. Namun, pada waktunya nanti, konflik ini akan berakhir dengan tiga kemungkinan keadaan. Pertama, adanya kesepakatan di antara kedua negara. Kedua, Ukraina ‘jatuh’ dan Rusia berhasil membuat Zelensky melepaskan jabatan dan wilayahnya, dan kemudian Rusia membangun pemerintahan boneka di Kyiv. Skenario terakhir, yang paling kecil kemungkinannya, ialah de-putinisasi, yaitu Ukraina berhasil menang dan menggulingkan Putin. Oleh: Ogiandhafiz Juanda  Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum Internasional Universitas Nasional (UNAS), Direktur Treas Constituendum Institute (*)