AMBON,  Siwalimanews – Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Ambon. John Slarmanat diminta untuk tidak menutup mata terhadap persoalan dugaan retribusi ilegal di Pasar Waiheru, Kecamatan Baguala, Kota Ambon.

Pasalnya, hingga kini penanga­nan persoalan retribusi PKL di Pasar Waiheru belum ada kejelasannya. Bahkan kadis terkesan menghindar dan melemparkan tanggung jawab­nya kepada Pemerintah Desa Wai­heru.

Kepada Siwalima,  Ketua APKLI Kota Ambon, Sutan Marsida menga­takan, sikap cuci tangan yang terke­san dilakukan Kadisperindag itu ditunjukan melalui suratnya No : 510/236/Indag tertanggal 1 Juli 2021, dengan tembusannya Kepala Desa Waiheru dan melalui surat itulah Pemerintah Desa Waiheru menge­luarkan suratnya  No:002/PGG/DW/VII/2021, yang ditandatangani oleh Pjs Kepala Desa Waiheru, HJ. Siti Saoda Lasima untuk melakukan pertemuan membahas persoalan retribusi di Pasar Waiheru, di Kantor Desa Waiheru, Rabu (14/7).

“Dalam kurung 2 tahun lebih, publik dan  PKL dibohongi dengan aturan yang dibuat oleh oranì yang mengaku dirinya Kepala UPTD Pasar Waiheru, kata-katanya selalu mengatakan bahwa ini perintah kepala dinas dan kepala dinas saya orang hukum, tentunya perintahnya pun berdasar hukum,” tandas Mar­sida meniru ucapan Kepala UPTD Pasar Halong dan Passo, Mery Nanlohy.

Sementara faktanya, lanjut Mar­sida, penagihan lapangan dengan cara preman, yakni bukan ASN, tidak menggunakan karcis, besar tarifnya sesuai dengan keinginanya Rp 5000 sampai dengan Rp 20.000 untuk restribusi. Sedangkan untuk pajak per bulan Rp. 150 ribu sampai de­ngan Rp. 175 tanpa pelayan di kantor dan tanpa bukti pembayaran resmi. Hanya sebatas kwitansi biasa dan ditandatangani oleh preman atas Nama Izak Molle. Padahal Pasar Waiheru sampai saat ini pun belum diketahui masuk dalam pasar tipe berapa.

Baca Juga: Kadinkes: Vaksinasi Anak dan Remaja tak Secara Massal

“Sedangkan pertanyaan peda­gang atas pungli yang selama ini terjadi, orang yang mengatasnama­kan kepala UPTD, M. Nanlohy se­lalu meminta pengawalan dari Bab­hinkamtibmas dan Babinsa Desa Waiheru dan meminta Pjs Desa Waiheru untuk memediasi dan berlindung, bukan Pol PP. Padahal masalah ini ada masalah pajak daerah,” cetusnya.

Ditegaskan, apa yang dilakukan Merry Nanlohy dan Izack Molle serta kroni-kroninya adalah benar-benar melanggar hukum, tetapi kepala dinas benar-benar meredam hukum di Desa Waiheru.

Sebelumnya diberitakan, kegeli­sahan yang dialami para pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Perumnas Waiheru, Kecamatan Baguala, Kota Ambon akibat ulah Izack Molle, oknum preman penagih retribusi tanpa karcis itu ternyata ditanggapi serius oleh Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Kota Ambon.

Selaku organisasi yang menaungi PKL di Kota Ambon, APKLI yang dikomendai Sutan Marsida, saat ini sementara mengumpulkan bukti-bukti dugaan korupsi yang dilaku­kan oleh oknum Disperindag Kota Ambon.

Diduga oknum Disperindag Kota Ambon ini bekerja sama dengan Izack Molle untuk menggarap upeti dari PKL di Pasar Waiheru.

“Setelah kita menerima laporan dan melakukan investigasi ternyata ada dugaan korupsi yang dilakukan dengan menggarap retribusi dari PKL di Waiheru dan kita sementara siapkan bukti-bukti itu untuk dilaporkan ke Kejari Ambon,” tandas Ketua APKLI Kota Ambon, Sutan Marsida, kepada Siwalima, di Ambon, Kamis (15/7).

Disinggung soal bukti-bukti apa saja yang sementara disiapkan, Masida enggan membeberkannya.

“Saya belum bisa sampaikan ke publik, bukti apa saja yang semen­tara kami siapkan. Yang pasti, bukti-bukti ini akan segera kami sam­paikan ke Kejari,” cetusnya.

Masida menjelaskan, korupsi dana retribusi PKL di Pasar Perum­nas Waiheru ini diduga terjadi ka­rena pertama, retribusi yang ditagih dari 300 lebih PKL yang memiliki lapak dan kios tidak menggunakan karcis, maka patut dipertanyakan bentuk pertanggungjawabannya se­perti apa ?. Kedua, apakah benar retribusi yang ditarik dari PKL di Pasar Waiheru yang notabenenya tanpa karcis itu, seluruhnya disetor ke kas daerah ?, karena dari hasil investigasi yang telah dilakukan ternyata tidak disetor seluruhnya tetapi masuk ke kantong oknum pegawai Disperindag Kota Ambon dan bukti-bukti itu telah kami kumpulkan.

“Kami berharap Kadis Perindag Kota Ambon tidak menutup mata dengan persoalan ini, kami minta oknum-oknum pegawai Disperidag yang ditugaskan untuk mengontrol dan melakukan pengawasan di Pasar Waiheru ini dievaluasi kinerjanya,” pinta Masida.  

Sebelumnya diberitakan, retribusi yang ditagih dari PKL di Pasar Wai­heru,  Kecamatan Baguala Kota Ambon diduga ilegal.

Pasalnya,  retribusi yang ditarik oleh oknum Izack Molle tidak diba­rengi dengan pemberian karcis.

Sikap dan tindakan Molle yang bertingkah preman ini sangat  meresahkan para PKL.

Sebanyak 300 lebih PKL yang memiliki lapak dan kios di Pasar Perumnas Waiheru itu diwajibkan membayar retribusi tanpa diberikan bukti pembayaran berupa karcis.

Ilham,  pedagang sembako menga­ku,  selama dua tahun lebih,  tagihan retribusi dilakukan namun tidak per­nah diberikan karcis bahkan untuk pembayaran pajak set iap bulannya,  hanya diberikan kwitansi tanpa cap.

“Kita hanya diberikan kwitansi untuk pembayaran pajak sebesar Rp 174 ribu per bulan tanpa cap bahkan tanda tangannya pun berbeda-beda setiap bulan tanpa ditulis nama penerima.

Sementara pembayaran  retribusi­nya sebesar Rp 5000 per hari tidak diberikan karcis,” tandas Ilham,  kepada Siwalima,  Rabu (14/7).

Menurut  Ilham,  Molle itu orang dinas, kenapa tidak pakai pakaian dinas bahkan saat lakukan tagihan hanya memakai sendal, kacamata yang diletakan diatas kepala dan menggunakan celana pendek.

“Saat  tagihan, dia juga mencatut  nama kepala dinas dan dia orang suruhan dari dinas,” ujarnya.

Senada dengan itu Cilo, pedagang kentang dan wortel mengatalan,  ulah Izack Molle ini sangat mere­sahkan pihaknya, pasalnya Molle dalam melakukan penagihan retrti­busi bertingkah preman bahkan ter­kesan melakukan intimidasi apalagi saat  PKL t idak berjual tapi tetap ditarik retribusi.

“Masa katong tidak bajual tapi dita­rik retribusi,  inikan aneh ? Kalau kemana uang-uang itu,” cetusnya.

Ia mencontohkan, untuk liburan Idul Fitri misalnya, walaupun tidak ber­jualan namun tetap ditarik retri­busi padahalkan kita libur karena hari raya.

Selain itu,  Yano,  pedagang kelapa dan sayur mengaku setiap harinya harus membayar retribusi Rp 18 ribu tanpa diberikan karcis.

Begitu juga dengan Arfin, peda­gang sembako.

Arifin menuturkan,  pada awal Pasar Waiheru mulai beroperasi April 2019 lalu,  PKL membayar

retribusi untuk Pemkot  Ambon Rp 2000,  sampah Rp 2000,  keama­nan Rp 2000 kemudian ada kenaikan dari Disperindag Kota Ambon melalui UPTD menurut  Izack Molle.

“Yang menjadi keluhan kita bahwa telah dilakukan kenaikan retribusi untuk Pemkot Rp 5000, sampah 2000 dan keamanan Rp 2000 tanpa dila­kukan sosialisasi tapi langsung dinai­kan sepihak. Lalu kata Izack Molle, itu aturannya dari dinas, itu instruksi dari kepala dinas semen­tara kita sampai sekarang ini belum pernah ketemu dengan dinas,  apa­lagi sampai saat ini Pasar Waiheru belum diresmikan,” tandasnya.

Arifin juga mempertanyakan kapa­sitas Izack Molle untuk menangih ret­ribusi dari para pedagang.

“Kita heran kenapa penagihan retri­busi itu harus dilakukan oleh Izack Molle,  kapasitas dia itu apa ? kita bayar retribusi setiap hari tapi tidak ada karcis.  Contoh saja,  kalau kita mau beli tiket kan diberikan bukti tiket  tapi ini tidak ada,  sehingga ka­mi pertanyakan kemana uang-uang retribusi yang telah ditagih itu,“  ujarnya.

Selain itu,  kata dia,  menurut  Izack Molle, untuk ukuran kios ukuran 2×2,5 meter maka pajak yang harus  dibayar set iap bulan itu Rp 155 ribu,  sementara untuk kios ukuran 2×2 meter bayarnya Rp 102 ribu.

“Yang sangat  disayangkan kalau pedagang tidak membuka lapak atau kios, tetap retribusi dibayar. Tidak per­­nah disosialisasi sebelumnya kepada para PKL,”  terangnya. (S-16)