AMBON, Siwalimanews – DPD Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDI-P) Maluku menilai pernyataan “tedong” yang dituju­kan kepada kader PDI-P di Maluku  merupakan pendapat pribadi mantan Sekretaris DPD PDI-P Maluku, Bit­sael Silvester Temmar.

Pendapat pribadi seorang Bitto Temmar terhadap politisi dan kader PDIP itu sebagai tudingan yang tidak mendasar. Penegasan ini di­sampaikan Wakil Ketua Bidang Politik DPD PDIP Maluku, Hendrik Sahureka kepada Siwalima Kamis (14/10).

Sahureka mengatakan, DPD PDI-P Maluku menghargai pendapat seorang Bitto Temmar karena pernah membesarkan partai. Namun sa­yang­nya, apa yang disampaikan Bitto tidak sesuai dengan fakta

“Itu pandangan pak Bitto saja sebagai orang yang pernah mem­besarkan partai dan kita menghargai itu. Tetapi yang disampaikan beliau itu tidak sesuai dengan fakta, sebab hari ini kita bukan tedong. Olehnya tudingan itu tidak berdasar karena melalui dasar pikir pribadi pak Bitto,” tegas Sahureka.

Menurutnya, PDIP di Maluku tidak merasa tersinggung dengan pernyataan tersebut lantaran seba­gai kader yang sudah malang me­lintang di partai, telah melakukan segala tugas kepartaian sesuai dengan aturan dan ideologi partai.

Baca Juga: Ada Standar Ganda di Pansel Sekot

Sahureka bahkan menegaskan per­soalan penolakan warga Waai ter­hadap pembangunan proyek strategis nasional berkaitan dengan ganti rugi lahan, bukan menjadi urusan pemerintah daerah, sebab pemerintah daerah hanya memfa­silitasi.

“Ambon New Port itu urusan Kementerian Perhubungan dan Lumbung Ikan Nasional itu urusan Kementrian Kelautan dan Perikanan. Artinya itu urusan pemerintah pusat, karena pemerintah daerah hanya memfasilitasi,” ujarnya.

Ia juga menambahkan tidak ada sangkut pautnya dengan PDIP, artinya pemerintah pusat telah memberikan Ambon New Port dan Lumbung Ikan Nasional untuk Maluku sehingga itu bagian dari memperjuangkan kepentingan rak­yat Maluku.

“PDIP telah berjuang untuk ke­pentingan rakyat Maluku,” cetus­nya.

Ketua DPC PDIP Kabupaten Seram Bagian Barat, Zeth Maryate mengatakan, pernyataan “tedong” yang disampaikan Bitto Temmar merupakan perspektif yang ber­sangkutan. “Bagi beta itu prespektif beliau. Tapi menurut beta kritik dan otokritik kan tidak harus disampai­kan ke media, tetapi secara internal PDI-P juga bisa melakukan otokritik. Khusus untuk Ketua DPD, saya kira kritik dan otokritik terhadap kebija­kan beliau bisa saja terjadi di dalam internal partai. Hanya saja dalam konteks penyelenggaraan pemerin­ta­han, memang posisi kita di DPC kita tidak bisa berbicara jauh karena itu domainnya DPD. Setahu saya kritik dan otokritik itu ada. Tetapi kita juga menjaga soliditas dan etika partai. Sehingga proses otokritik juga tidak harus disampaikan ke publik. Kalau soal takut, saya kira kita objektiflah. Siapa bilang kita takut. Bahwa ada kelemahan dan kekurangan pak Murad selaku gu­bernur, proses kritik dan otokritik masukan dan saran secara internal itu juga kita sampaikan. Itu bagian dari mekanisme internal partai,” jelas Maryate.

PDIP Terpuruk

Seperti diberitakan sebelumnya, mantan Sekretaris PDIP Maluku, Bitsael Silvester Temmar, mengaku sangat prihatin dengan kondisi internal di tubuh PDIP Maluku saat ini. Menurutnya, situasi PDIP Ma­luku saat ini semakin buruk, dimana kader-kader tidak lebih baik dari tedong.

Temmar mengatakan hal itu karena punya alasan. Menurutnya situasi internal PDIP Maluku terpuruk lan­taran tidak ada otokritik dari kader. Bagi Bupati KKT dua periode ini sebagai sesuatu yang sangat miris.

“Karena yang saya dengar itu situasi PDIP sudah semakin buruk. Maaf ya, kita dulu yang habis-habi­san memperjuangkan partai ini sampai menjadi besar, yang kita miliki pada saat itu ialah kebebasan dan kemerdekaan. Hari ini, kader-kader PDIP itu tidak lebih baik dari tedong. Mohon maaf tidak lebih baik dari kerbau, yang dicucuk hidung­nya dan ditarik dan dibawa ke mana aja. Saya menilai begitu,  karena tidak ada, otokritik daripada kadernya. Ini kan  sesuatu yang sangat  miris se­kali,” ungkap Temmar kepada Siwa­lima di Ambon Rabu (13/10).

Dikatakan, tidak adanya otokritik sebagai akibat dari ketakutan yang berlebihan dari kader terhadap pemimpinnya.

“Kalau sudah takut mau jadi apa. Ini kan sudah jadi tedong. Sangat disayangkan kalau semua orang jadi tedong. Tapi saya bersyukur, saya dikeluarkan sehingga saya bukan tedong lagi. Saya dikeluaran dengan cara yang sangat kasar, tapi saya bersyukur karena saya tidak bisa jadi tedong,” ujarnya.

Temmar mengatakan, hasil survei sejumlah lembaga survei membukti­kan, PDIP di Maluku turun kelas. Ia mengaku lebih senang kalau partai berlambang banteng kekar moncong putih itu turun kelas.

“Sebagai orang yang setia secara ideologis terhadap ideologis PDIP saya menyesal. Saya pikir bahwa de­ngan saya dikeluarkan dengan cara yang tidak terhormat, lalu dibelakang  itu ada perbaikan. Ternyata hari ini, coba perhatikan saja fraksi-fraksi yang ada di PDIP itu hancur be­rantakan itu. Coba diperhatikan saja petugas-petugas PDIP itu han­cur berantakan semua, padahal ini partai ideologi yang dulu kita perjuangkan habis-habisan. Hari ini orang duduk di PDIP itu enak-enak. Dulu itu kita ini dianggap seperti kambing. Kita dikejar-kejar di mana-mana. Saya pikir setelah saya diberhentikan, PDIP itu akan lebih baik. Ternyata hari ini, ya tadi seperti tedong itu. Jadi banteng berubah watak menjadi tedong,” jelasnya.

Mantan Ketua Fraksi PDIP di DPRD Maluku juga menyangsikan Ketua DPRD Maluku, Lucky Watti­mury mampu mengkritik Gubernur Maluku, Murad Ismail.

Harusnya tambah Temmar, poli­tikus PDIP di DPRD berani  meng­kritik pemerintah dan bukan berjiwa penakut.

“Coba tanya Ketua DPRD Maluku apa dia berani kritik Gubernur Ma­luku. Tidak mungkin itu, karena men­talitas tedong sedang diintroduksi di dalam internal PDIP. Saya di luar PDIP saya senang-senang aja. Saya katakan saya tidak mungkin lupakan PDIP. Kita ini  bukan masuk PDIP itu saat partai itu dia enak-enak. Kita masuk itu pada saat PDIP teraniaya. Kita dikejar dimana-mana. Tapi saya tegaskan, mau balik lagi maaf. Saya tidak mau. Saya kritik ini karena ada keterkaitan ideologi yang saya anut dengan yang ada pada PDIP,” tegas Temmar.

Menyikapi situasi internal PDIP yang menghendaki Murad Ismail turun, Temmar berpendapat, per­gantian kepemimpinan di tubuh PDIP Maluku tidak akan menjamin partai itu akan lebih baik.

“Kalau atmosfir internal PDIP seperti sekarang ini, maka siapapun itu sama saja. Karena ada ketakutan yang diciptakan di dalam internal PDIP. Sehingga kebebabasan untuk berekspresi itu dimatikan,” im­buhnya.

Disisi lain, Temmar mengaku sejak lama PDIP itu menabiskan dirinya sebagai partai ideologi. Semestinya, idiologi itu menjelma dalam program-program pemerintahan dan pemba­ngunan. Teristimewa dijabarkan dalam tindakan-tindakan politik pemerintahan. Olehnya itu, tambah­nya, setiap kader harus mengerti benar ideologis. Kalau kader tidak mengerti, ideologi itu hanya menjadi suatu konsep mengambang yang tidak menjelma dalam tindakan dan PDIP Maluku akan mengalami distorsi.

“Karena itu jangan marah, kalau hari ini ideologi tidak terjabar dalam tindakan-tindakan politik pemerin­tahan. Jadi apa yang terjadi dengan penolakan masyarakat di Waai tidak boleh heran. Karena entah Gubernur atau Ketua DPRD Maluku bahkan kader-kader PDIP yang lain sama sekali tidak memahami bagaimana menjabarkan ideologi ini ke dalam tindakan-tindakan praktis,” se­butnya.

Dikatakan, banyak sekali kebija­kan-kebijakan yang kalau dilihat dari aspek konsepnya, kebijakan-kebi­jakan itu tidak punya roadmap dan beberapa tahun terakhir ini mas­yarakat Maluku menyaksikan ketiadaan roadmap.

“Ya saya mau bilang proyek-pro­yek itu tidak bisa dilihat apa fung­sinya untuk kepentingan pem­ba­ngunan di Maluku. Jadi soal Am­bon New Port itu dengan tidak didasar­kan pada suatu konsep yang kohe­ren, mestinya konsep sudah disedia­kan dari awal,” tandasnya. (S-50)