AMBON, Siwalimanews – Berkas tersangka kasus peng­hinaan yang dilakukan Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan Fakultas Hukum Unpatti, Hendrik Salmon terhadap seniornya John Pasal­bessy sementara diteliti jaksa penuntut umum pada Kejati Maluku.

Kasi Penkum dan Humas Ke­jati Maluku, Wahyudi yang di­konfirmasi Siwalima mengaku pihaknya sudah menerima pelimpahan berkas dari penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku atas nama tersangka Hendrik Salmon untuk diteliti.

“Berkasnya sudah diterima dari penyidik dan sementara diteliti,” ungkap Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Wahyudi, melalui pesan WhatsApp, Senin (14/6).

Setelah diteliti, kata dia, jika ber­kasnya belum lengkap maka akan dikembalikan ke penyidik untuk dilengkapi dengan petunjuknya atau P-19, namun sebaliknya jika sudah lengkap maka akan dinya­takan lengkap atau P-21.

“Nanti kita lihat saja perkem­bangannya, kalau belum lengkap maka akan dikembalikan dengan petunjuknya tapi jika sudah le­ngkap maka akan dinyatakan lengkap atau P21,” ujarnya.

Baca Juga: Jaksa Tetapkan Kepala Satpol PP Bursel Tersangka Korupsi Pakaian Dinas

Wahyudi tidak berkomentar lebih jauh terkait kasus ini karena ber­kasnya masih diteliti JPU. Sebe­lumnya diberitakan, setelah menu­nggu hampir sembilan bulan, kasus penghinaan yang dilakukan Hendrik Salmon (HS) terhadap se­niornya John Pasalbessy akhirnya dilimpah­kan ke jaksa penuntut umum atau tahap I pada Kejati Maluku.

Butje Hahury Penasehat Hukum John Pasalbessy mengatakan, dengan dilimpahkannya berkas tersangka HS dalam kasus peng­hinaan terhadap kliennya ke JPU Kejati Maluku, diharapkan nantinya saat penyerahan tersangka dan barang bukti atau tahap II dari penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku ke JPU, Hendrik Salmon harus ditahan.

“Ini harapan kami, ketika kasus ini tahap II, JPU harus tahan ter­sangka. Saya memberikan apre­si­asi kepada polisi khusus penyidik Subdit V Ditreskrimisus Polda Ma­luku. Walaupun harus menunggu sembilan bulan lamanya, kasus ini akhirnya sampai ke jaksa juga. Harapan kami yang sama, semoga jaksa tidak lama dalam meneli­tinya,” ungkap Hahury di Ambon, Sabtu (12/6).

Dijelaskan, Hendrik Salmon ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku pada 27 Mei 2021. Penetapan tersangka itu diketa­huinya setelah penyidik mengirim­kan  pemberitahuan perkemba­ngan hasil penyidikan ke kliennya John Pasalbessy.

“Jadi, kasus ini kita laporkan ke polisi 2020. Setelah menunggu sembilan bulan, pada 27 Mei 2021, Hendrik Salmon ditetapkan ter­sa­ngka. 31 Mei 2021 yang ber­sang­kutan diperiksa sebagai tersangka dan 3 Juni 2021 yang lalu berkas ter­sangka dilimpahkan atau tahap I ke JPU untuk diteliti,” beber Hahury.

Menurutnya, kasus ini menarik karena sejak dilaporkan terkesan prosesnya berjalan lamban, bah­kan diduga tersangka HS berupaya mendekati oknum-oknum tertentu untuk menggagalkan proses hu­kum.

“Kasus ini sudah jelas dari sisi hukum pidana, karena dari sub­stansi perkara ditemukan dua alat bukti melalui hasil screnshoot pos­tingan HS di akun facebook milik­nya yang menyatakan klien saya John Pasalbessy itu “kelakuannya sama dengan binatang” dan “akan mematahkan kaki korban”. Ini kan keterlaluan, sangat merendahkan martabat kemanusiaan sese­orang. Perbuatan HS jelas mela­ng­gar pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (3) UU ITE,” tandasnya.

Masih kata Hahury, posisi kasus ini sudah miliki kepastian hukum, karena dari substansi perkara dite­mukan alat-alat bukti yang meme­nuhi syarat sistem pembuktian hukum pidana.

Selain keterangan saksi fakta (factual testimony) dan ahli (expert opinion) yang merupakan testimonial evidence, terdapat lebih dari 10 bukti screenshoot postingan ter­sangka HS di dinding akun facebook miliknya.

Diantaranya memuat  pernya­taan tersangka yang menyamakan korban John Pasalbessy  dengan binatang. Dimana tersangka me­nyebutkan “kelakukan korban sama dengan binatang” disertai kata-kata ancaman kekerasan, dimana tersangka akan mema­tahkan kaki korban.

“Mempersamakan manusia de­ngan binatang sudah meme­nuhi unsur pasal penghinaan dalam hukum pidana yang bermakna merendahkan harkat martabat dan kehormatan manusia sebagai makluk berbudi atau berbudaya. Padahal harkat martabat dan ke­hormatan manusia sebagai mak­luk berbudi itulah ciri khas manu­sia, yang memperbeda­kan­nya daripada binatang apapun. Karena penghinaan ini dilakukan dengan menggunakan sarana transaksi elektronik yang dapat diakses publik, sangatlah tepat dan sah menurut hukum polisi menetapkan Salmon sebagai ter­sangka dengan pasal-pasal peng­hinaan menurut Undang Undang RI Nomor 19 tahun 2016 tetang Peru­bahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai lex specialis, meski penyelidikan dan penyidikan kasus ini terkesan slow down,” jelas Hahury.

Hahury mengatakan, sebagai unsur penghinaan, para saksi yang berkomentar di dinding facebook HS juga sudah diperiksa, termasuk saksi bahasa Indonesia. “Klien saya itu seorang Doktor Ilmu Hukum, ahli hukum pidana jebolan Universitas Airlangga Surabaya dan berjasa membantu Polda Maluku serta polres-polres jajaran mengungkapkan kejahatan. Kok diperlakukan seperti ini,” ungkap Hahury.

Ia menilai HS bukan seorang dosen yang baik. Perilakunya tidak menunjukan seorang pendidik di bidang ilmu hukum. HS selain harus menghadapi proses hukum, harusnya dikenakan sanksi kode etik yang berlaku di Unpatti.

Ucapannya di media sosial tidak pantas sebagai tenaga pendidik di perguruan tinggi. Perlakuannya ter­hadap dosen senior sudah seperti ini, bagaimana dengan mahasis­wa yang diajarnya. “Saya sudah kross cek ke Unpatti, ternyata HS sudah diperiksa oleh Tim Pe­meriksa Kode Etik pada 2020 lalu. Hanya saja, kesimpulan dan hasil sidang kode etik Unpatti belum diumumkan. Mestinya dengan status tersangka, sudah saatnya Rektor Unpatti, Nus Sapteno menjatuhkan sanksi kepada HS. Kalau tidak, asas “equality before the law” atau persamaan semua warga negara di hadapan hukum sebagai asas negara hukum yang diajarkan para dosen kepada mahasiswa selama ini, hanyalah retorika teoritik tanpa makna,” pungkasnya.

Dia berharap kasus penghinaan HS terhadap seniornya John Pa­salbessy di media sosial menjadi pembelajaran berharga bagi semua pengguna media sosial, lebih khusus para pengajar di Universitas Pattimura untuk rendah hati dan saling menghormati, sehingga kasus ini adalah yang terakhir.

Hahury juga menambahkan, selain kasus penghinaan HS terhadap Pasalbessy dilaporkan ke Ditreskrimsus Polda Maluku, dirinya juga akan melakukan pressure ke Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease lantaran melambatnya kinerja penyidik terhadap pidana lainnya yang dilakukan HS terhadap kliennya sebagaimana laporan di Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease sesuai tanda bukti laporan atau TBL Nomor : LP/658/VIII/Maluku/Resta Ambon, tanggal 26 Agustus 2020, dengan terlapor HS.

“Jadi perkuan HS kepada klien saya bukan hanya penghinaan. Dalam perkara kedua ini, HS dila­porkan pidana di Polresta Ambon karena diduga sangat kuat men­cekik leher dan hendak memukul klien saya John Pasalbessy. Ka­rena itu kami menduga dengan sangat kuat, bahwa ada pihak yang sangat berkepentingan dengan kasus ini berupaya menghalangi dan memperlambat bahkan berke­inginan menghentikan proses penegakkan hukum kasus terse­but, meski dengan cara melawan hukum sekalipun. Padahal korban adalah seorang Doktor Ilmu Hu­kum, jebolan Universitas Airlangga Surabaya sudah banyak berjasa membantu Polda Maluku dan polres-polres jajarannya sebagai ahli hukum pidana dalam proses penegakkan hukum. Dijanjikan penyidik untuk memanggil pelaku HS tapi hingga saat ini tidak ada perkembangannya. Saya hanya ingatkan, hukum itu etis, dan jangan sampai dijungkirbalikan hanya untuk melindungi orang-orang yang munafik,” tegas Hahury. (S-16)