Jaksa Klaim Punya Bukti Tetapkan Tanaya Tersangka
AMBON, Siwalimanews – Kejati Maluku mengklaim memiliki bukti yang cukup untuk menetapkan Ferry Tanaya sebagai tersangka dugaan korupsi proyek pembelian lahan pembangunan PLTG di Namlea, Kabupaten Buru.
“Sudah sesuai aturan dan SOP penyidikan serta dibarengi dengan alat bukti sebagaimana pasal 184 KUHAP,” tandas jaksa M. Rudy dan Oceng Almahdaly memakili Kejati Maluku sebagai termohon dalam sidang lanjutan permohonan praperadilan Ferry Tanaya, di Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (17/9).
Jaksa menepis anggapan tim pengacara yang menyatakan penetapan Ferry Tanaya tidak didasarkan bukti permulaan yang cukup.
“Seluruh dalil dan alasan pemohon bahwa penetapan tersangka tidak didasarkan pada bukti minimal yang cukup yang diperoleh dari penyidikan, bahkan sama sekali belum terdapat bukti dalam menetapkan pemohon sebagai tersangka adalah tidak benar,” tegas Jaksa M. Rudy.
Penetapan Ferry Tanaya sebagai tersangka, kata jaksa, berdasarkan surat perintah penyelidikan Kajati Maluku Nomor 02/Q.1/Fd.1/ 05/2020 tanggal 26 Mei 2020 serta surat perintah penyelidikan Kajati Maluku Nomor 01/S.1/Fd.1/04/2019 tanggal 30 April 2019.
Baca Juga: Divonis 8 Tahun Bui, Pelaku Pencabulan Pasrah“Kemudian, setelah proses penyelidikan berjalan, tim jaksa penyelidikan menemukan fakta-fakta hukum atas terjadi peristiwa tindak pidana dalam pembelian lahan pembangunan tersebut,” jelas jaksa M. Rudy.
Lanjutnya, surat perintah penyidikan dicantumkan dalam surat pemanggilan tersangka, dan penetapan Ferry sebagai tersangka sah.
“Surat perintah penyidikan dicantumkan dalam surat pemanggilan tersangka atas penetapan sebagai tersangka karena bukti permulaan yang cukup. Tidak berdasarkan barang bukti adalah tidak benar,” ujar M. Rudy.
Soal dalil tim pengacara bahwa dalam penetapan tersangka tidak proporsional dan tidak sesuai dengan KUHAP, Peraturan Jaksa Agung serta melanggara HAM, M jaksa menyatakan, pihaknya telah mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Selain itu, jaksa menegaskan lahan pembangunan PLTG Namlea adalah milik negara. Jaksa membantah, objek lahan adalah tanah milik Ferry sejak tahun 1985 berdasarkan akta jual beli Nomor 14/PPAT/1985 yang ditandatangani oleh pejabat PPAT Namlea Drs. U. Rada.
“Soal tanah itu adalah tanah erfpacht yang tidak bisa dijual beli secara bebas. Tanah negara. Ferry tidak pernah memiliki tanah tersebut,” tandas M. Rudy.
Ia juga menyebut, tanah tersebut bukan atas nama Ferry Tanaya melainkan Abdul Rauf Tuanany. Tanah tersebut tetap dikuasai oleh negara.
Menurutnya, apabila tanah tidak dikonversikan sesuai prinsip-prinsip dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria maka tanah itu bukan miliknya. “Barang siapa tidak mendaftarkan tanah itu maka dikuasai negara,” kata M.Rudy.
Jaksa menambahkan, pihak PLN tidak tahu menahu soal tanah itu. Pasalnya, PLN bekerjasama dengan pertanahan.
Usai pembacaan tanggapan jaksa, hakim Ismail Wael menunda sidang hingga Jumat (17/9), dengan agenda mendengar tanggapan pemohon (replik) tim pengacara Tanaya atas jawaban dari Kejati Maluku sebagai termohon
Penetapan Tersangka Cacat
Seperti diberitakan, sidang praperadilan Ferry Tanaya terhadap Kejati Maluku atas penetapannya sebagai tersangka dugaan korupsi pembelian lahan PLTG Namlea, Kabupaten Buru, Rabu (16/9) digelar.
Dalam sidang perdana itu, tim pengacara mengungkap bukti-bukti penetapan Tanaya sebagai tersangka oleh Kejati Maluku tidak sah.
Ketua Tim Pengacara Tanaya, Herman Koedoebon mengungkapkan tiga alasan mendasar yang membuat pihaknya mengajukan praperadilan.
Pertama, penetapan Ferry Tanaya sebagai tersangka tidak sah. Alat bukti yang digunakan penyidik tidak cukup. Pasahal sesuai KUHAP, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka diperlukan dua alat bukti.
“Kita menganggap dua bukti permulaan yang cukup itu tidak terpenuhi dalam penetapan Ferry sebagai tersangka,” ujar Koedoeboen.
Kedua, tanah yang dibeli UIP PLN Maluku untuk pembangunan PLTG Namlea adalah tanah milik Ferry Tanaya sejak tahun 1985 berdasarkan akta jual beli Nomor 14/PPAT/1985 yang ditandatangani oleh pejabat PPAT Namlea Drs. U. Rada. Selain itu, tanah pembangunan bukanlah milik negara.
Pernyataan jaksa tidak benar. Hal tersebut telah dikualitisir sebagai persengketaan hak milik atau hak kekuasaan yang dilepaskan, sehingga menimbulkan kesimpulan hukum yang dipakai penyidik untuk menjerat Ferry.
Alasan ketiga, penetapan Ferry sebagai tersangka dilakukan tanpa mengeluarkan surat perintah penyidikan. Seharusnya, surat itu menjadi dasar penetapan seseorang sebagai tersangka.
“Surat penyidikan itu sebagai sarana sebagai bukti, lalu ditemukan tersangka. Tapi ini malah sebaliknya. Pertanyaannya alat bukti apa yang dijadikan untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka. Kalau pun ada alat bukti, alat bukti tersebut diperoleh secara hukum dengan media apa?,” tandas Koedoeboen.
Selain itu, surat perintah penyidikan juga tidak disebutkan dalam surat pemanggilan. Pihaknya baru mengetahui surat tersebut telah diterbitkan sejak 30 April 2019, saat pemeriksaan dilakukan pada 31 Agustus lalu.
“Kenapa tidak disebutkan dalam pemanggilan? Suratnya hanya disebutkan saat pemeriksaan. Berarti ini ada kejanggalan administrasi penyelidikan. Pasalnya, penyidik butuh waktu yang cukup panjang untuk penetapan tersangka,” tandas Koedoeboen lagi.
Tiga hal tersebut pun menjadi alasan praperadilan diajukan. Proses selanjutnya, diserahkan pada pengadilan untuk menetapkan sah atau tidaknya proses penetapan tersangka, penyitaan bukti maupun penahanan Ferry.
Sidang praperadilan itu dipim-pin hakim Ismail Wael. Pemohon diwakili kuasa hukumnya, Herman Koedoeboen, Henry Lusikooy, dan Firel Sahetapy. Sedangkan, pihak Kejati Maluku selaku termohon dihadiri Y. E. Oceng Almahdaly, M. Rudi, Novita Tatipikalawan. (Cr-1)
Tinggalkan Balasan