AMBON, Siwalimanews – Tokoh Buru Talim Wamnebo mengaku sejak awal oknum-oknum penyidik Kejati Maluku merekasaya kasus dugaan korupsi anggaran pengadaan lahan pembangunan PLTMG Namlea Kabupaten Buru.

Talim bersyukur atas putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Kejati Maluku terkait kasus tersebut dan membebaskan peng­usaha Fery Tanaya.

Keputusan Mahkamah Agung cermat dan tidak terbawa arus de­ngan alasan-alasan yang diutara­kan jaksa dalam memori kasasinya. Dikatakan rekayasa kasus korupsi PLTMG Namlea itu sistematis. Karena tujuannya ingin memenjara­kan Fery Tanaya.

Oknum-oknum yang punya ke­pentingan bermain untuk merampok tanah milik Fery Tanaya itu akhir­nya harus menelan pil pahit, sebab Mahkamah Agung secara cermat dan seksama memutuskan mem­bebaskan Fery Tanaya pengusaha yang dituduhkan korupsi, padahal yang bersangkutan  pemilik lahan dan berhak mendapatkan ganti rugi karena sudah melepaskan lahan itu kepada PLN untuk kepentingan pem­bangunan proyek PLTMG.

“Saya orang yang tahu benar dan terlibat langsung dalam pembeba­san lahan milik Fery Tanaya di Namlea. Saya melihat dengan jelas sejak awal  kasus ini penuh rekayasa oleh kom­plotan oknum penyidik kejaksaan yang diketuai Gunawan. Dan saya orang yang keras menantang dia waktu turun melakukan penyelidi­kan di Namlea, karena dia sebagai penegak hukum tapi bicaranya se­perti seorang preman dan pendapat yang tidak masuk akal sehat ma­nusia,” ungkap Talim kepada Si­walima Sabtu (23/4).

Baca Juga: Lagi, KPK Periksa Marketing Menara Jakarta

Dikatakan, menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa memiliki alat bukti sangatlah berdosa. Apa­lagi kasus korupsi anggaran pe­ngadaan lahan untuk pembangunan PLTMG Namlea sarat rekayasa.

“Kenapa saya bilang rekayasa, awalnya kasus ini jaksa tuduh pak Fery Tanaya mark up, tidak terbukti dan di praperadilan Fery menang. Ini Fery punya tanah jual ke PLN untuk pembangunan proyek strategis PLTMG, tapi dituduh jaksa pak Fery mark up, masuk akal atau tidak. Pak fery ditetapkan tersangka karena mark up, sementara pihak PLN tidak. Lho yang punya uang siapa, dan yang punya lahan siapa ? Tidak puas karena Tanaya menang di prape­radilan, jaksa balik sidik perkara ini lagi dengan tuduhan tanah negara. Tanah punya Fery Tanaya diklaim jaksa punya negara. Seperti tidak punya kerjaan, seperti ada sesuatu ada kepentingan sesuatu di kasus ini. Penegakan hukum yang aneh bin ajaib,” bebernya.

Menurut Talim, putusan MA menolak kasasi jaksa terkait kasus korupsi lahan pembangunan PLT­MG Namlea itu secara tidak lang­sung menampar wajah korps Adhy­aksa.

Kasus ini juga tambahnya menjadi pelajaran berharga kepada penyidik kejaksaan, untuk lebih cermat ka­rena menyangkut kepercayaan publik terhadap  lembaga penegakan hukum di Maluku.

“Kalau jaksa Kejati Maluku mau jujur, dalam kasus ini bukan hanya Fery Tanaya selaku pemilik lahan tapi ada juga pemilik lahan yang lain yang ikut menjual ke PLN. Tapi ka­rena Fery Tanaya pengusaha besar, jaksa seret beliau sendiri.,” ujar Talim.

Masih kata Talim, salah satu jaksa yang masuk dalam tim pembebasan lahan yakni jaksa  Agus Sirait. Agus Sirait mengsosialisasikan harga lahan kepada masyarakat termasuk keluarga Fery Tanaya untuk lahan tersebut dihargai sesuai harga appraisal Rp 125 ribu per kantimeter.

Dan ternyata Fery Tanaya serta beberapa warga pemilik lahan akhirnya sepakat melepaskan lahan mereka kepada PLN. “Dalam hal ganti rugi lahan, semua pemilik lahan terima ganti rugi sama yaitu Rp 125 ribu. Jaksa Agus Sirait ikut mela­kukan sosialisasi di Balai Desa.  Kalau harga Rp 125 ribu adalah harga penetapan appraisal. Yang menerima ganti rugi banyak orang. Bagi kita, orang memiliki ahklak dan moral baik maka harga ganti rugi Rp 125 ribu / m3 sudah  clear sesuai pen­jelasan jaksa Agus Sirait saat sosia­lisasi. Lucunya, mengapa  Kejati merekayasa  harga Rp 125 ribu ada­lah harga kongkalikong dan mene­tapkan seorang pengusaha sebagai ter­sangka dengan cara cara tidak ber­adab. Menyebarkan berita fitna­han melalui media kalau harga Rp 125 ribu adalah harga kongkalikong antara pengusaha Fery Tanaya de­ngan PLN sehingga merugikan negara tanpa alat bukti apa apa,” jelas Talim.

Menurutnya, kasus korupsi PLT­MG namlea oknum penyidik jangan bertopeng mau melakukan pene­gakkan hukum tapi fakta sesu­ngguhnya mau menggarong uang ganti rugi karena yang menerima seorang pengusaha.

“Sebab fakta,  yang bukan pe­ngusaha tidak ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan meminta kembali uangnya oleh Pidsus Kejati Maluku. Tidak puas sampai disitu komplotan ini merekayasa lagi berita hoax kalau tanah milik pengusaha  Fery Tanaya  yang dibeli secara  sah dihadapan PPAT dan dikuasai sela­ma 35 tahun dengan aman adalah milik negara. Mereka mencari -cari alasan hoax lagi kalau tanah yang dibebaskan adalah tanah kebun bekas hak barat. Mengapa dalam pro­yek yang sama ada pihak lain juga memiliki kebun bekas hak barat yaitu Said Bin Thalib tapi diloloskan ferivikasi oleh Jaksa Agus Sirait dan dibayar oleh PLN disaksikan pihak kejaksaan. Ini penegakkan hukum model apa yang dilakukan komplo­tan pidsus Kejati Maluku. Memiliki alat bukti kepemilikan kebun bekas hak barat  yang sama  tetapi yang pengusaha ditetapkan tersangka, lalu diminta kembalikan uang dan dituntut hukuman hampir 16 tahun penjara,” tandasnya.

Rekayasa korupsi PLTMG ini merupakan tamparan keras Kejati Maluku terhahap Jaksa Agung St Burhanudin. Sebab disetiap kesem­patan dalam kunjungan kerja, Jaksa Agung selalu meminta dan mene­kankan bawahannya untuk melaku­kan penegakkan hukum yang ber­hati nurani dan menjaga integritas.

“Tapi faktanya Pidsus Kejati Maluku berseberangan pendapat dengan bapak Jaksa Agung St Bur­ha­nudin sehingga nekad melakukan penegakkan hukum tidak bermoral dan tidak memiliki hati nurani .  Padahal proyek ini merupakan proyek yang dijanjikan langsung Presiden Jokowi saat berkunjung di pulau Buru.  Saat itu  masyarakat me­ngeluh tentang kekurangan pasokan listrik langsung kepada Presiden dan saat itu presiden berjanji bahwa tahun 2019 kekurangan listrik sudah akan terpenuhi. Janji presiden  men­dapat aplaus luar biasa dari rakyat Buru, tapi niat baik presiden ter­hadang oleh penegakkan hukum tidak bermoral, tidak berhati nurani, tidak adil dan penuh rekayasa sehi­ngga pembanguan Proyek PLTMG  yang dimulai 2016 menjadi mang­krak,”  sesal Talim.

Tak hentinya Talim memanjatkan syukur kepada Allah SWT. Ia juga mengapresiasi kinerja dan kecer­matan hakim-hakim baik di peng­adilan tingkat pertama maupun tingkat Mahkamah Agung.

“Tapi saya pribadi memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT,  dan mengapresiasi lembaga peradilan karena masih memiliki hakim-hakim Tipikor yang cerdas, mempunyai akhlak baik , bermoral jujur,  memiliki rasa keadilan, berhati nurani, memiliki integitas dan takut akan Allah seperti diajarkan agama sehingga menolak rekayasa kasus PLTGM ini oleh Pidsus Kejati Maluku dan membe­baskan pengusaha Fery Tanaya dari tuntutan tidak berhati nurani yaitu 16 tahun Penjara.  Bagi saya mem­bunuh dengan belati tidak sekejam membunuh orang tanpa salah de­ngan cara dipenjara selama 16 tahun. Kami berharap rekayasa kasus korupsi ciptaan komplotan Pidsus Kejati Maluku selama 2017 sampai ditolak oleh MA tidak me­rugikan uang Negara. Saya prihatin kalau uang negara dipakai mengga­galkan proyek negara untuk kepenti­ngan rakyat. Kalau itu terjadi maka celakalah bangsa ini,” pungkasnya.

Tidak Terbukti

Sebelumnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ambon pada 6 Agustus 2021 menjatuhkan vonis bebas murni kepada Fery Tanaya. Dalam putusan majelis hakim yang diketuai Pasti Tarigan dan  Felix Uwisan serta Jefri Sinaga selaku hakim anggota itu, amar putusannya mengatakan Fery Tanaya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan koirupsi anggaran pengadaan lahan pembangunan proyek PLTMG Namlea..

Selain itu, Hakim juga meme­rin­tahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Maluku untuk membebaskan Ferry Tanaya dari semua dakwaan. Ferry didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengadaan  lahan untuk pembangunan proyek  PLTMG Namlea milik PT PLN Wilayah Ma­luku-Maluku Utara.

Dalam pertimbangan ketiga hakim pria ini, lahan seluas 48.645 meter persegi yang terletak di di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, itu, Fery Tanaya berhak  menerima ganti rugi pada bidang tanah di kawasan tersebut.

Untuk diketahui, kepemilikan lahan itu oleh Fery Tanaya sudah lebih dari 31 tahun. Kajati Maluku kala itu Rorogo Zega secara sepihak dengan arogansinya kepada media mengatakan lahan tersebut  milik negara. Rorogo Zega sangat beram­bisi memenjarakan Fery Tanaya meskipun tidak terbukti secara hukum.

MA Tolak

Mahkamah Agung secara sek­sama akhirnya mengeluarkan kepu­tusan menolak kasasi Kejaksaan Tinggi Maluku terkait korupsi pem­bangunan PLTMG Namlea yang menyeret Fery Tanaya selaku pemi­lik lahan.

Dengan begitu, ambisi Kejati Ma­luku untuk penjarakan Fery Tanaya kandas. Dalam amar putusannya, Mahkamah Agung  menegaskan, menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi atau penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Buru dan membebankan biaya perkara pada seluruh tingkat peradilan dan pada tingkat kasasi dibebankan kepada negara.

“Iya benar, petikan putusan kasasi dari Mahkamah Agung terkait kasus korupsi PLTMG Namlea sudah turun dan amarnya itu menolak permo­honan kasasi dari pemohon kasasi atau penuntut umum. Jadi ini baru petikan. Salinan putusan lengkap masih kita tunggu dari mahkamah,” jelas Humas Pengadilan Negeri Ambon Ex Officio Pengadilan Tipikor Ambon, Kemmy E Leunufna kepada pers di Ambon, Kamis (21/4).

Petikan keputusan Mahkamah Agung tersebut menegaskan kalau Fery Tanaya tidak terbukti korupsi dana pengadaan lahan untuk pemba­ngunan PLTMG Namlea. (S-07)