Implementasi Teledentistry Pascapandemi, Masih Perlukah
PERTANYAAN judul tulisan ini merupakan sesuatu yang perlu mendapatkan perhatian bersama. Ada pengalaman dari salah satu warga pada saat penulis melaksanakan kegiatan edukasi kesehatan gigi dan mulut secara daring di masa pandemi covid-19. Salah satu peserta bercerita anaknya jatuh sehingga mengakibatkan giginya mengalami pendarahan. Beliau ingin memeriksakan kondisi anaknya ke puskesmas, tapi khawatir tertular virus korona.Akhirnya untuk pertama kalinya peserta itu menggunakan aplikasi telemedicine agar bisa berkonsultasi secara daring dengan dokter gigi. Ternyata responsnya cepat dan dengan segera mendapatkan saran perawatan pertama, juga diberikan resep sebelum datang ke puskesmas atau rumah sakit untuk perawatan selanjutnya. Apa yang dilakukan peserta tersebut mungkin salah satu dari sekian banyak masyarakat yang sudah memanfaatkan telemedicine atau teledentistry sebagai opsi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut dari lokasi yang berbeda dengan dokter yang menangani konsulnya. Ada jarak dan waktu yang bisa dipangkas dari implementasi teledentistry ini.Berdasarkan literatur, konsep teledentistry pertama kali diperkenalkan pada 1989 saat konferensi tentang the delivery of dental care using dental informatics di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat. Pada 1994, konsep tersebut baru dipraktikkan secara nyata. Pada tahun itu, sebuah program bernama Total Dental Access yang berbasis prinsip teledentistry dibuat oleh Departemen Pertahanan AS dengan tujuan untuk ’patient care, continuing education and dentist-laboratory communications’ (Fricton J, Chen Hong. 2009).
Mekanisme program Total Dental Access memungkinkan dokter gigi dalam Departemen Pertahanan AS untuk merujuk, memonitor pasien, dan konsultasi dengan dokter spesialis yang berada di rumah sakit utama. Program ini dinilai berhasil meningkatkan akses pasien ke pelayanan dokter gigi dan hemat biaya. Sejujurnya di Indonesia sudah banyak sekali praktik kedokteran gigi yang menggunakan konsep teledentistry selama bertahun-tahun dengan teknologi paling dasar, yaitu telepon dan beralih ke telepon pintar yang memiliki banyak penyedia layanan chat gratis.Sekarang perkembangan teledentistry sudah menuju tahap lebih jauh. Adanya pertukaran data gambar foto dan video memberikan kemampuan komunikasi multidimensi tingkat lanjut, yang dapat memberikan peningkatan signifikan pada keterlibatan dan alur kerja pelayanan pasien secara tradisional. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI baru mengeluarkan Peraturan Menkes Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antarfasilitas Pelayanan Kesehatan, di mana penggunaan telemedicine hanya untuk fasilitas pelayanan kesehatan satu dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang lain berupa konsultasi untuk menegakkan diagnosis, terapi, dan/atau pencegahan penyakit. Namun, sejak pandemi melanda, topik telemedicine dan teledentistry mulai ramai dibicarakan di kancah penyelenggara kesehatan di seluruh dunia. Dua topik tersebut banyak dibahas dalam berbagai forum, seperti jurnal maupun webinar kedokteran gigi.
Kepastian hukumPembatasan fisik dan jaga jarak menjadi sebuah upaya untuk menekan tingkat distribusi dan transmisi virus sehingga keberadaan pelayanan kesehatan yang membutuhkan interaksi dan komunikasi secara tatap muka langsung menjadi terbatas. Ini berdampak pada maksimalisasi pemanfaatan teknologi untuk menutup berbagai kekurangan yang ada dalam layanan kesehatan, dan teledentistry jadi salah satunya.Telemedicine atau teledentistry sejatinya bukan wacana baru. Tapi bagi Indonesia hal ini menjadi masalah tersendiri karena kepastian hukum dan undang-undang yang mengatur tentang hal ini belum ada. Bahkan untuk mengadaptasikan sistem pelayanan yang berbasis daring akibat covid-19, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) secara situasional menerbitkan Perkonsil 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine di Masa Pandemi Covid 19. Kondisi ini memberikan konsekuensi logis, yakni adanya kegamangan dalam menerjemahkan peraturan tersebut bagi kalangan tenaga medis, belum optimalnya sosialisasi, ketidaksiapan infrastruktur teknologi informasi pendukung, hingga tidak terjaminnya perlindungan dan kepastian hukum berupa undang-undang telemedicine. Sebagai payung hukum dalam pemanfaatan teknologi dan informasi dalam rangka pencegahan penyebaran covid-19, Menkes RI menerbitkan Surat Edaran No HK. 02.01/MENKES/303/2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Organisasi profesi kedokteran gigi, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, juga mengeluarkan Surat Edaran No. 2776/PB PDGI/III-3/2020 tentang Pedoman Pelayanan Kedokteran Gigi selama Pandemi Virus Korona, sebagai bentuk antisipasi pelayanan kesehatan gigi dan mulut di masa pandemi. Meskipun pandemi masih berlangsung, upaya-upaya kedokteran gigi dari promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif harus tetap berjalan di bawah panduan etika dan profesionalisme.Secara etik, perawatan gigi dan mulut merupakan tindakan psikomotorik seperti pencabutan gigi, pembuatan gigi tiruan, bedah mulut, perawatan ortodonsi, perawatan saluran akar, dan perawatan lanjutan (rehabilitasi) dilandasi hubungan komunikasi interpersonal antara dokter gigi dan pasien. Tanpa mengesampingkan hubungan interpersonal yang lazim dilakukan secara tatap muka langsung di klinik, pemanfaatan teledentistry terbukti efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan gigi dan mulut secara promotif dan preventif.Banyak manfaat yang didapat dengan penggunaan teledentistry sebagai alat pendukung pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
Mulai dari menghilangkan kesenjangan perawatan kesehatan rongga mulut antara komunitas urban dan rural, menghubungkan perawat dengan dokter gigi spesialis lintas wilayah, hingga penghematan biaya perawatan kesehatan gigi dan mulut pasien.Sayangnya, manfaat teledentistry ini akan segera berakhir karena ketika pandemi usai akan timbul wacana baru, apakah telemedicine dan teledentistry di Indonesia masih dapat dilakukan? Merespons pertanyaan di atas, KKI telah menerbitkan Surat Edaran No UM.01.05/03/2256/2021 tentang Pelaksanaan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia.Disebutkan bahwa dokter dan dokter gigi selama masa pandemi covid-19 di Indonesia dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi berupa telemedicine dalam melakukan praktik kedokteran, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut; pada poin 7 berbunyi ‘Praktik kedokteran secara telemedicine hanya dapat dilaksanakan pada masa pandemi covid-19 sesuai persyaratan’, dan pada poin 9 berbunyi ‘Praktik kedokteran melalui telemedicine seperti yang disebutkan dalam surat edaran ini tidak berlaku untuk pasien yang tidak terdiagnosis menderita infeksi covid-19 atau bagi pasien yang sudah sembuh dari covid-19’.Apakah kita sepakat dengan surat edaran KKI? Semestinya jawabannya adalah tidak, apabila kita melihat banyaknya manfaat yang dirasakan baik oleh masyarakat maupun praktik kedokteran gigi sendiri. Oleh karena itu, perlu peran serta semua pihak dalam menjaga serta mengawal potensi penerapan sistem telemedicine atau teledentistry dalam kedokteran gigi.
Keberadaan teledentistry yang dibutuhkan dalam peningkatan industri kesehatan nasional memerlukan kepastian hukum agar seluruh dokter gigi di Indonesia dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan jaminan rasa aman dan tenteram. Demi mewujudkan visi Indonesia Bebas Karies 2030, jangan sampai Indonesia tertinggal jauh dari negara lain yang sudah menerapkan teknologi sebagai pendukung pelayanan kesehatan gigi dan mulut bagi masyarakatnya.( Armelia Sari Widyarman, Dokter gigi, dosen FKG Universitas Trisakti, penulis buku Teledentistry, Mahasiswi S-2 Magister Hukum Kesehatan UGM)
Baca Juga: Tata Ruang, Banjir, dan Pemulihan Ekonomi
Tinggalkan Balasan