Ideologi Nasionalis Religius: Spirit Persatuan dan Perdamaian
Dinamika peradaban dunia berkembang begitu pesat dengan ideologinya yang dimiliki. Kita sebagai bagian dari umat peradaban tersebut harus mampu menalar secara kritis atas kebenaran dari ideologi-ideologi yang dibawa oleh peradaban yang berkembang saat ini. Walaupun pada dasarnya ideologi dibangun sebagai view of life (pandangan hidup), namun di era ini ideologi kadang menjelma menjadi sesuatu yang diorentasikan untuk dapat mempengaruhi manusia demi memenangkan peradaban.
Kemenangan ideologi adalah sesuatu hal yang diinginkan sebagai bentuk entitas yang unggul demi mengkooptasi peradaban yang ada di dunia, segala macam teori dibangun sebagai bentuk afirmasi ideologi, agar ideologi tersebut bisa diterimah publik dunia. Penerimaan inilah sebagai bentuk legitimasi dan proses untuk mengkooptasi peradaban yang dimenangkan agar penguasaan yang diinginkan bisa berjalan sesuai target.
Dalam pandangan Ali Harb bahwa berkembangnya ideologi sebaga spirit dari peradaban terdapat kepentingan pengetahuan di atas pengetahuan, meskipun ideologi itu sendiri menyimpan subtansi kebaikan. Ideologi juga dibangun atas dasar kesadaran dan mengendepankan pengetahuan rasional, namun dalam menjadikan sebuh paham, ideologi juga tetap membutuhkan legitimasi, misi tersebut menjadikan ideologi tetap menyimpan kepentingan. Untuk itu, Ali Harb tetap menyerukan agar nalar kritis tetap harus diaktifkan demi melihat secara utuh dan komprehensif tentang ideologi.
Dinamika peradaban sekarang sudah menemukan bentuknya untuk saling mempengaruhi. Dalam realitasnya kompetisi ideologi cenderung saling menegasikan antara satu dengan yang lainya, misal; antara sosialis dengan kapitalis, antara komunis dengan islam dan begitu pula ideologi lainya. Ideologi yang semestinya dijiwai demi kebaikan universal, kini malah menjadi instrumen propaganda untuk saling mendiskriditkan dan memunculkan benturan peradapan (the clash of civilization).
Dalam buku (the and of history and the last man) Francis Fukuyama mengatakan sejarah telah berakhir dan peradaban dimenangkan oleh ideologi kapitalis dan demokrasi liberal dengan ditandai runtuhnya tembok Berlin di Jerman dan pecahnya negara Uni Soviet, namun dalam realitasnya kemenangan sistem kapitalis tidak menemukan arti sepenuhnya tentang berakhirnya sejarah (bahwa penguasa tungal tidaklah kapitalis dan demokrasi liberal), di awal abad 21 ini justru banyak muncul kekuatan baru dengan ideologinya yang menjadi energi besar, sebagai penyeimbang atas kekuatan kapitalis. Di antarnya, Cina, Rusia, Iran, dan lain-lainya. Artinya, dinamika predaban masih begitu dinamis dengan segalah kepentinganya.
Baca Juga: Poligami antara Keinginan dan KebutuhanGoncangan peradaban masih sering kita saksikan di muka bumi ini, fenomena benturan antar peradaban masih sering kita saksikan. Di antaranya, perang antara Israel dan Palestina, bahkan di era digital ini perang telah mengalami mutasi yang awalnya perang militer sekarang berubah menjadi perang ekonomi, perang dagang dan akhir-akhir ini perang biologis (Covid-19).
Ramalan seperti yang ditulis oleh Francis Fukuyama dalam buku “the end of history and the last man”, bahwa dengan selesainya perang dingin yang dimenangkan kapitalis dan demokrasi akan memunculkan perdamain dunia ternyata masih menyisakan ifinitas-ifinitas kultural, suatau kesamaan budaya yang menyatu dan bisa menjadi sebuah kekuatan yang baru dan berkonsekwensi pada benturan peradaban.
Berakhirnya sejarah dengan kemenangan yang berpihak kepada kapitalis dan demokrasi dengan segalah kebaikan yang dimilikinya, kapitalisme dan demokrasi liberal tidak mampu membendung perubahan ideologi yang masih menyisakan residu terjadinya benturan peradaban. Selain dipicu oleh perbedaan ideologi benturan peradaban menurut Samuel p. Hungtinton terjadi juga karena kekuatan ifinitas (kesamaan budaya) yang manyatu dan membuat kekuatan baru. Kekuatan baru yang timbul karena memiliki kesamaan kultur juga dinilai sebagai pesaing baru dalam konstalasi global. Persaingan antar umat manusia di era globalisasi sampai era digitalisasi seolah membenarkan teori Plato tentang tabiat manusia, Plato berpandangan bahwa pada dasarnya kelompok manusia memiliki instrumen berupa thymos gairah atau hasrat untuk diakui dan ingin menguasai sehingga hasrat ini yang memicu terjadinya peperangan.
Di dalam negeri pun juga mengalami hal yang sama, benturan-benturan ideologi semakin hari eskalasinya semakin menguat, yang nengakibatkan pembelahan atau disparitas sosial. Benar apa yang dikatan fukuyama dalam bukunya yang berjudul identity bahwa kelemahan yang diakibatkan kapitalisme liberal adalah berubahnya sepektrum ideologi besar dunia antara blok kanan yg mengkampanyekan (kebebasa, demokrasi dan rational choice), dan blok kiri yang mengkampanyekan kesetaraan kelas.
Di abad 21 ini mereka (dua sepektrum ideologi besar) sudah tidak berbicara lagi tentang kapitalisme dan sosialisme, spketrum ideologi besar dunia tersebut sudah bertransformasi pada politik identitas yang blok kanan cenderung berbicara tentang etnis, ras dan suku. Sedangkan blok kiri yang dulu kampanye tetang kesetaraan ekonomi yang tidak adil sekarang berubah cenderung berbicara pada kaum yang diangap minoritas seperti gender, LGBT, feminisme, dan lain-lainya. Hal tersebut yang menimbulkan kohesi sosial dan memudarnya rasa kebangsaan dan nasionalisme menjadi tidak lagi otentik.
Dengan merebaknya berbagai ideologi dan politik identitas, sebagai anak bangsa juga harus memiliki pondasi dan pedoman yang kuat agar tidak terombang ambing dengan dinamika dan propaganda-propaganda yang dimainkan lewat media. Sudah pernah dikatakan oleh Noam Chomsky bahwa media yang seharusnya sebagai pilar demokrasi dan alat kontrol kini berubah peran sebagai alat propaganda, selain itu Chomsky menegaskan, bahwa siapa yang menguasai media merekalah yang memenangkan propaganda yang diciptakan.
Untuk itu, agar kita terhindar dari propanganda kita harus memiliki kesadaran kritis dan kesadaran nasionalis. Selain untuk mengcounter propaganda dari berbagai ideologi dan kepentingan, membangun kesadaran nasionalis dilakukan juga demi menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
Jika kita flasback pada historikal perjuangan bangsa yang begitu berat melawan kolonial, kita akan sadar bahwa sebagai anak bangsa harusnya memiliki rasa nasionalis sebagai pegangan dan prinsip perjuangan. Bangsa ini dibangun atas dasar kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita sehingga refleksi dari itu mewujudkan sebuah negara (Negara Bangsa). Rasa nasionalisme yang dibangun oleh para pejuang harus terus kita semai agar subur dalam sanubari kita, nilai kebangsa kita harus dilestarikan demi mewujudkan cita-cita bangsa kita sebagai bangsa yang merdeka dan beradab, tentunya nasionalisme yang kita bangun bukan nasionalis chauvinisme atau mencintai negaranya dengan berlebih-lebihan yang berakibat anti terhadap bangsa lain. Perasaan senasib dan sepenanggungan bangsa kita harus mengalahkan perbedaan etnik, budaya dan agama, demi menjaga keragaman untuk persatuan (diversity of unity).
Nasionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa dan negara. nasionalisme adalah kesadaran bernegara dan berbangsa. Menurut Benedict Anderson Nasionalisme bukanlah sekedar instrumen yang berfungsi sebagai perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan wadah yang menegaskan identitas Indonesia yang bersifat plural dalam berbagai dimensi kulturnya. Nasionalisme menuntut adanya perwujudan nilai-nilai dasar yang berorientasi kepada kepentingan bersama dan menghindarkan segala legalisasi kepentingan pribadi yang merusak tatanan kehidupan bersama.
Nasionalisme juga merupakan suatu perayaan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki nasib yang sama, sejarah yang sama dan cita-cita yang sama, atau keinsyafan rakyat sebagai suatu bangsa yang harus bersatu demi kemerdekaan, kemakmuran, kesejahteraan dan kemajuan bangsa.
Sedangkan kita sebagai anak bangsa yang berhaluan ideologi Pancasila harus memiliki jiwa dan sikap religius. Religius merupakan suatu sikap yang kuat dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama serta sebagai cerminan dirinya atas ketaatannya terhadap ajaran agama yang dianutnya. Sikap religius diperlukan untuk membangun atitut yang baik di ranah sosial. Selain itu, sikap religius juga mampu menghadirkan kesalehan sosial, kesalehan sosial merupakan sikap atau perbuatan yang dilakukan secara sopan santun, ramah, tangung jawab dan memiliki dampak positif serta berkelanjutan.
Bila manusia memiliki, baik pengetahuan maupun sikap religius yang kuat manusia tersebut pasti akan menjadi tauladan (Uswah) bagi masyarakatnya, kebaikan-kebaikan universal yang ada dalam agama harus diamalkan demi kebaikan dan kemajuan bangsa dan negara ini. negara kita masih membutuhkan banyak manusia-manusia teladan (the great people) untuk bisa menuntun negeri ini menjadi negeri yang lebih baik, makmur, sejahtera dan sentosa. Religius sendiri memiliki peran penting dalam menata tatanan individu dan sosial bahkan religius juga bisa memberikan solusi atas problematika di berbagai bidang, maka religi menjadi penting untuk sebuah pegangan dalam kehidupan.
Selain Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Negara kita. Nasionalisme-religius juga memberi afirmasi yang kuat dalam menjaga kesatuan dan perdamaian di negeri ini. Nilai kebaikan universal yang ada dalam Nasionalis-religius harus diaktualisasi agar negeri ini selamat dan terhindar dari sekenario negatif dan berbagai propaganda yang ada. ( Qomaruddin SE, M.Kesos. Biro Departemen V DPP Partai Demokrat.)
Tinggalkan Balasan