SETIAP tahun, lembaga-lembaga pejuang dan pemantau perkembangan HAM terus menyampaikan laporan kemajuan. Pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia Se-dunia, tahun ini pun terbit laporan-laporan dan analisis semacam itu. Kiranya laporan itu dimaksudkan untuk menyampaikan kritik dan masukan kepada pemerintah(an), dan pada sisi yang lain menjadi bahan edukasi publik, agar masyarakat luas lebih paham bagaimana kekuasaan negara dijalankan.

Bagi penyelenggara kekuasaan negara, sepanjang dapat mengerti makna dari kritik, tentu akan menerima laporan itu, dan menempatkannya sebagai bahan evaluasi atas program pembangunan yang dijalankan. Sementara itu, publik luas, sejauh telah mengalami edukasi HAM yang memadai, akan menjadikan laporan sebagai bahan refleksi untuk dilakukan perbaikan-perbaikan, baik dalam promosi maupun advokasi.

Jika kesemuanya dalam kesadaran dan komitmen, diharapkan yang akan berlangsung ialah suatu spiral maju. Pada satu sisi, negara berusaha mengoptimalkan realisasi ketentuan dan norma-norma HAM. Di sisi lain, masyarakat luas menjadi mata dan telinga, yang terus memantau perkembangan pelaksanaannya. Dengan begitu, ruang dan kesempatan bagi pengabaian atau tindakan merusak nilai-nilai HAM, akan semakin sempit.

Bagaimana bila dalam nyatanya realisasi HAM belum sebagaimana yang diharapkan? Bahkan, godaan untuk melanggar, dengan alasan apa pun, utamanya alasan pembangunan, makin lebar terbuka? Jika keadaan ini yang berlangsung, amat perlu ditemukan jalan agar pembangunan sepenuhnya merupakan upaya realisasi HAM, bukan sebaliknya.

Kesejahteraan umum

Baca Juga: Memerdekakan Pembelajar(an)

Para pendiri negara jika diperiksa isi pembicaraan ketika merancang hukum dasar atau UUD, sesung­guhnya telah menaruh perhatian dan komitmen yang kuat, pada apa yang kini dikenal sebagai HAM. Kita dapat bayangkan apa yang berkecamuk dalam pikiran para tokoh itu, bila kita mengingat bahwa persidangan itu berlangsung dalam suasana perang. Ada yang berkeinginan (untuk sementara waktu), mengabaikan seluruh yang ideal dan menempatkan kemerdekaan sebagai fokus.

Ada yang berpandangan bahwa segala sesuatu harus disiapkan, baru kemerdekaan diambil. Ada pula yang berpandangan bahwa yang diambil lebih dahulu ialah kemerdekaan dan yang lain diurus setelah itu. Ignas Kleden menggambarkan sebagai yang satu berfokus pemindahan kekuasaan dan yang lain pada perubahan lembaga sosial dan budaya (Ignas Kleden, 1997).

Perbedaan pandangan itu dapat dikatakan membawa pengaruh pada desain “kelembagaan negara”. Pena­taan yang bersifat memuat segala yang ideal, termasuk me­muat pasal mengenai HAM, kurang mendapatkan tempat. Alasan dasarnya ialah karena diasumsikan bah­wa seluruh yang terlibat telah dapat dikatakan mewakili aspirasi kemerdekaan dan dengan demikian tidak mungkin pada dirinya terdapat maksud mengabaikan HAM.

Dalam Sidang BPUPKI pada 13 Juli 1945, Mr Hj RA Maria Ulfah Santoso mengungkapkan, “Saya meman­dang perlu hak-hak dasar dimasukkan UUD.” Ir Soe­karno sebagai Ketua Panitia Kecil, memberikan respons, “Tidak perlu karena negara Indonesia berdasarkan atas kedaulatan rakyat.” (Lihat Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, 28 Mei-22 Agustus, terbitan Sekretariat Negara RI). Pembica­raan itu mungkin dapat menggambarkan dinamika antara keleluasan dan keterdesakan keadaan.

Namun, yang tidak dapat diingkari ialah bahwa pada dasarnya terdapat kesamaan mendasar, yakni rasa ingin agar bangsa lekas mencapai kesejah­teraan umum. Dalam batas tertentu, pernyataan tentang dasar kedaulatan rakyat mungkin dapat dipahami sebagai pikiran bahwa dengan kuasa pada rakyat, tentu yang akan dicapai ialah kehidu­pan rakyat yang lebih baik, yakni suatu kesejah­teraan umum. Hal ini yang boleh jadi dapat menje­laskan hadirnya frasa memajukan kesejahteraan umum dalam Pembukaan UUD 1945.

Demokrasi

Demokrasi sejak awal dipilih para pendiri negara. Namun, demokrasi yang dimaksud bukan jenis demokrasi yang memajukan persamaan politik. Bung Hatta (1960), dalam risalahnya berjudul Demokrasi Kita, menguraikan, “Nyatalah bahwa demokrasi (demokrasi politik, pen) yang semacam itu tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia yang menciptakan terlak­sananya dasar-dasar kemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan.”

Pandangan tersebut dengan sangat jelas memper­lihatkan posisi para pendiri negara, dan dengan demi­kian desain awal demokrasi kita. Ketika demokrasi lebih merupakan demokrasi politik, yang akan segera tampak ialah keadaan politik yang seakan-akan telah mener­bitkan persamaan dan keadilan, tetapi sesungguhnya tidak. Lebih-lebih, ketika hadir teknologi dan cara kerja baru, yang menempatkan suara rakyat menjadi salah satu jenis komoditas ketika musim kompetisi berlangsung.

Oleh sebab itulah, jalan bagi demokrasi social ekonomi penting untuk dicarikan, agar mendapat tempat dan bekerja secara nyata. Tentu hal ini tidak mudah, terutama mengingat bahwa kita tidak sedang hidup di ruang kosong secara sosial ekonomi. Sebagai contoh, dalam kenyataan disparitas telah berlangsung dan menjadi tantangan tersendiri, yang berpotensi ikut memicu melemahnya kohesi sosial.

Dalam hal ini demokrasi perlu dibebaskan dari berbagai jerat yang tidak memungkinkannya untuk menjadi wahana bagi pencapaian cita-cita kemerdekaan. Terdapat beberapa langkah dekat yang harus dipikiran. Pertama, memastikan rakyat cukup memiliki kesadaran dan pengetahuan sehingga dalam momen kompetisi politik, suara rakyat tetap dalam kuasa rakyat sendiri.

Kedua, mentransformasi atau melakukan reformasi parpol, terutama untuk lebih terbuka, terutama dalam rekrutmen politik dan pendidikan politik. Yang hendak ditekankan ialah agar partai setia pada panggilan misi, yang memberinya alasan ada. Kita percaya partai tidak akan mengerdilkan diri hanya menjadi organisasi peserta pemilu.

Ketiga, politik berbasis kepentingan nasional. Kita membutuhkan tradisi baru, yakni langkah politik selalu didasarkan pada pemahaman yang utuh atas masalah-masalah yang dihadapi rakyat. Langkah politik dengan demikian merupakan jawaban atas masalah yang ada. Dalam tradisi ini, ruang publik akan penuh dengan diskusi masalah-masalah rakyat, bangsa, dan negara. Dari sanalah, kita mendapat lahan subur atas gagasan-gagasan terobosan untuk mencari jalan keluarnya.

Dengan ketiga hal itu di atas, kita berharap seharusnya demokrasi kita menjadi wahana untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Artinya, rakyat memiliki ruang kesempatan yang sehat, untuk memperjuangkan kepentingan dasarnya. Memperjuangkan hak hak dasarnya sebagai manusia, yang tidak lain ialah bagian dari HAM itu sendiri.

Sebagaimana kemerdekaan ialah sebuah pintu gerbang, pelaksanaan demokrasi yang membuka pemenuhan hak-hak dasar warga negara, ialah ruang yang harus diisi setelah melewati gerbang dimaksud. Dalam hal ini, negara harus memastikan hak itu diperoleh secara baik dan memastikan perlindungan, agar tidak ada kekuatan yang mampu membatalkan hak rakyat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dengan itulah, makna merdeka menjadi paripurna, yaitu terwujudnya harkat sebagai manusia dalam negeri yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. (*)