ANDREW Scott, seorang profesor ekonomi di London Business School, dalam salah satu wawancara dengan Financial Times, pada 1 Juni 2023, mengungkapkan bahwa dunia perlu memper­siapkan diri sedini mungkin untuk menghadapi semakin panjangnya usia harapan hidup penduduk dunia dalam beberapa tahun ke depan. Dunia sedang mengalami perubahan demografi yang akan memengaruhi kebijakan ekonomi. Menurut Scott, saat ini kita tidak lagi berpikir seberapa lama orang hidup, tetapi seberapa baik mereka menua.

Angka harapan hidup masyarakat di negara maju terus menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam 40 tahun terakhir. Pada periode 1980 hingga 1982, angka harapan hidup untuk pria hanya mencapai 70,8 tahun, sedangkan wanita 76,8 tahun. Tetap saat ini, anak-anak yang lahir pada 2020-2023 memiliki potensi untuk bisa mencapai usia yang lebih panjang sekitar 90 tahunan. Bahkan, data ONS (BPS) Inggris melansir anak-anak yang lahir tahun ini, punya potensi untuk hidup sampai pada usia 92 hingga 94 tahun.

Banyak negara mulai mempersiapkan diri meng­ha­dapi perubahan demografi tersebut, sebagian negara Asia seperti Singapura, Korea Selatan, Tiongkok menaikkan batas usia pensiun warga negaranya menjadi 62 hingga 65 tahun agar warga negaranya masih tetap aktif dan produktif bekerja. Sementara itu, negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, penduduknya perlahan menyusut (shrinking population). Oleh sebab itu, mereka perlu me­longgarkan kebijakan imigrasinya sehingga memung­kinkan bagi dunia usaha untuk mendapat­kan tenaga kerja produktif lebih banyak lagi.

Bagi negara-negara maju, khususnya Eropa, peru­bahan demografi yang signifikan ini akan meme­ngaruhi keseimbangan populasi yang mereka hada­pi. Tingginya harapan hidup dan penurunan tingkat kelahiran dalam jangka pendek bisa membentuk keseimbangan baru, tetapi dalam jangka panjang akan menjadi persoalan baru. Namun, bagi peme­rintah di negara berkembang (emerging market), me­reka perlu memacu pertumbuhan ekonominya lebih tinggi agar memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Selain itu, pemerintah juga sudah harus mulai mempersiapkan sistem jaminan sosial, ketenaga­kerjaan, kesehatan, asuransi, dan pensiun.

Nasib bonus demografi Indonesia

Baca Juga: Mempertanyakan kembali Relevansi dan Pengaruh Global ASEAN

Indonesia saat ini masih berada pada kondisi bonus demografi. Hal itu tecermin dalam komposisi demografi Indonesia terakhir. Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data BPS pada akhir 2022 mencapai 275,77 juta jiwa. Dari jumlah itu, ada 190,98 juta jiwa (69,25%) penduduk Indonesia yang masuk kategori usia produktif (15-64 tahun).

Terdapat pula 84,8 juta jiwa (30,75%) penduduk yang masuk kategori usia tidak produktif. Dari usia tidak produktif, sebanyak 66,2 juta jiwa (24%) usia belum produktif (0-14 tahun) dan sebanyak 18,6 juta jiwa (9,74%) usia sudah tidak produktif (65 tahun ke atas). Dengan komposisi jumlah penduduk tersebut di atas, rasio ketergantungan (dependency ratio) adalah sebesar 44,40%.

Dengan melihat rasio ketergantungan yang menunjukkan angka 44,40%, kesempatan untuk membuka jendela peluang (window of opportunity) lebih lebar sangat terbuka. Rendahnya rasio ketergantungan yang masih berada di bawah 50% secara teori akan mengurangi biaya untuk pemenuhan kebutuhan penduduk usia nonproduktif. Itu sehingga potensi usia produktif atau sumber daya yang ada saat ini, dapat dialihkan lebih banyak untuk memacu pertumbuhan ekonomi seperti di bidang pendidikan, Kesehatan, dan infrastruktur.

Dengan komposisi penduduk usia produktif yang besar, ditopang dengan tingkat konsumsi yang tinggi, Indonesia sudah harus bisa mencapai tingkat pertumbuhan di atas 6% setiap tahunnya.

Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tertahan pada angka 5 persenan, selama kurang lebih dua dekade terakhir. Apalagi selama dua tahun, 2020-2021, dunia menghadapi multikrisis yang disebabkan oleh pandemi covid-19, menyebabkan Indonesia mengalami resesi selama empat triwulan berturut-turut mulai triwulan II 2020 hingga triwulan I 2021.

Begitu pula dengan tiga indikator utama, tingkat pengangguran terbuka (TPT), angka kemiskinan dan gini ratio masih tinggi. Bahkan, data BPS terakhir menunjukkan angka pengangguran penduduk kelompok umur muda (15-24 tahun) merupakan pengangguran tertinggi, yaitu mencapai 16,46%.

Menuju bangsa yang menua

Dalam laporan Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045, Kementerian PPN/Bappenas dan BPS memprediksi jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 318,96 juta jiwa pada 2045. Dari jumlah tersebut, penduduk usia produktifnya (15-64 tahun) diperkirakan mencapai 207,99 juta jiwa. Sementara itu, penduduk usia tidak produktifnya diperkirakan mencapai 110,97 juta jiwa. Terdiri atas 44,99 juta penduduk usia sudah tidak produktif (di atas 65 tahun) dan 65,98 juta penduduk usia belum produktif (0-14 tahun).

Berdasarkan data itu, angka ketergantungan (dependency ratio) penduduk Indonesia pada 2045 diperkirakan sebesar 53,35%, artinya 100 penduduk usia produktif menanggung beban 54 penduduk usia tidak produktif. Pada 2045 usia produktif akan menanggung beban yang lebih besar ketimbang 2023. Jika dilihat dari komposisi penduduk berdasarkan usia, Indonesia telah memasuki struktur penduduk tua (aging population).

Belum optimalnya sistem jaminan sosial yang ada saat ini, menyebabkan masih banyak warga lansia yang termasuk kategori penduduk rentan. Terutama dalam kondisi miskin bahkan mencapai tingkat ekstrem. Data Susenas 2022 menyebutkan, masih terdapat sekitar 41,11% lansia tinggal di rumah tangga miskin.

Data Sakernas 2022 juga mengungkapkan, walaupun lebih dari separuh (52,55%) lansia masih bekerja, sebagian terbesar bekerja di sektor-sektor informal termasuk pertanian dan perdagangan. Rata-rata penghasilan pekerja lansia pun hanya Rp1,62 juta per bulan, jauh di bawah upah minimum yang ditetapkan pemerintah.

Penutup

Siapa pun yang akan menjadi pemimpin bangsa yang terpilih pada Pemilu 2024, memiliki dua pekerjaan rumah yang harus dipersiapkan secara matang. Pertama, mengoptimalkan bonus demografi sebaik mungkin sehingga penduduk usia produktif yang dimiliki saat ini, bisa menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi yang efektif.

Kedua, untuk mengantisipasi penuaan, pemerin­tah sudah harus mulai mempersiapkan sistem jami­nan sosial, ketenagakerjaan, kesehatan, asuransi, transportasi, perumahan, dan pensiun yang me­mung­kinkan orang untuk hidup lebih baik di masa tuanya.

Seperti yang disampaikan Andrew Scott, kualitas hidup manusia harus semakin membaik, seiring dengan semakin meningkatnya tingkat harapan hidup manusia, atau dengan kata lain kita sudah harus kaya sebelum tua. Oleh : Handi Risza Wakil Rektor Universitas Paramadina (*)