Gugus Tugas Bohong
Soal Insentif Nakes, Kasus ODP dan PDP
AMBON, Siwalimanews – Gugus tugas berbohong. Bantahan melalui Kadis Kesehatan Kota Ambon, Wendy Pelupessy hanya untuk menutupi dugaan penyelewengan yang terjadi.
Pernyataan Wendy saat rapat dengan Komisi I DPRD Kota Ambon, di Baileo Rakyat Belakang Soya, Kamis (1/10) lalu, bahwa tidak ada mark up data jumlah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP), serta tidak ada pemotongan insentif tenaga kesehatan (nakes) hanya untuk mengaburkan fakta yang sebenarnya.
Dugaan mark up dan pemotongan insentif nakes benar-benar dilakukan. Itu fakta yang ditemukan tim Polresta Ambon dan Pulau-pulau Lease saat melakukan asistensi terhadap anggaran yang dipergunakan untuk kegiatan Covid-19, pengadaan alat kesehatan, bantuan langsung tunai (BLT) dan insentif untuk tenaga medis.
“Pernyataan Kadinkes itu keliru dan lucu, menyembunyikan fakta yang sebenarnya,” kata sumber di Pemkot Ambon, kepada Siwalima, Sabtu (3/10).
Menurut sumber yang meminta namanya tak dikorankan ini, penjelasan Wendy kalau pendataan nama ODP dan PDP didasarkan pada pendekatan epidemiologi, bukan kewilayahan terlalu mengada-ngada.
Baca Juga: Pasien Positif tanpa Gejala di Buru Naik Tajam“Wilayah binaan Puskesmas Kilang itu meliputi Kilang, Naku, Hatalai, Hukurila. Dengan jangkauan Puskesmas Kilang yang berada di pegunungan, bagaimana bisa memantau orang dari luar? Masa Puskesmas Kilang bisa memantau orang di luar Ambon?. Yang benar aja,” ujarnya.
Lanjutnya, bukankah dari Dinas Kesehatan yang menginstruksikan kepada semua Puskesmas agar setiap bulan menggarap ODP dan PDP sebanyak 200 orang?
“Sudah diinstrusikan dari dinas bahwa setiap bulan tiap Puskesmas diberikan jatah ODP, PDP sebanyak 200 orang untuk memenuhi notifikasi tersebut. Data ini yang diduga dimark up seperti di Puskesmas Kilang,” tandasnya.
Padahal kata sumber itu, dalam Kepmenkes Nomor 392 Tahun 2020 menyatakan usulan jumlah notifikasi ODP dan PDP dan nakes bukan dari Dinas Kesehatan, tetapi dari Puskesmas. “Artinya proses bukan top down, tetapi buttom up. Yang terjadi kan top down,” ujarnya.
Hal ini kata dia, sudah menyalahi ketentuan Kepmenkes tersebut. Begitupun dengan proses pencairan insentif nakes. Dalam Kepmenkes dijelaskan, persyaratan untuk memperoleh insentif nakes, yaitu harus mempunyai NIK, NPWP, dan nomor rekening.
“Kemudian diusulkan pihak Puskesmas kepada Dinas Kesehatam untuk verifikasi. Tim Dinas Kesehatan selanjutnya ke BPKAD kota untuk ditelaah,” jelas sumber itu.
Bilamana memenuhi syarat maka ditransfer langsung ke nomor rekening nakes bersangkutan. Tapi hal ini dilanggar oleh Dinas Kesehatan.
Petinggi Dinas Kesehatan membuat kebijakan, setelah diusulkan ke BPKAD dana ditransfer ke Dinas Kesehatan. Kemudian bendahara Puskesmas diminta ke Dinas Kesehatan untuk mengambil uang tunai, dan selanjutnya ditransfer ke rekening nakes sesuai SK.
Setelah itu, nakes diminta menarik uang itu kembali dan dikumpulkan di bendahara untuk dibagikan merata selain nakes yang namanya dalam SK, juga diberikan kepada nakes yang tidak memenuhi syarat, yang namanya tidak ada dalam SK.
“Pertanyaannya, pertanggungjawaban yang manakah yang nakes berikan kepada negara, apakah bukti transfer ataukah bukti ril. Ini yang harus dijelaskan oleh dinkes. Kalau merujuk kepada bukti transfer, maka terlihat aman-aman saja. Namun kalau berdasarkan ril, maka nakes yang tidak ada namanya yang ada dalam SK yang diberikan itulah yang menyebabkan kerugian negara,” beber sumber itu.
Menurutnya, sesuai dengan Kepmenkes 392 semestinya yang harus dilakukan Pusksemas adalah mendata semua nakes. Kemudian cek persyaratan. Jika memenuhi syarat, maka usulkan data yang ada.
“Jika insentif nakes yang ditransfer katakanlah 10 juta, tetapi kenyataannya yang diterima di bawah itu, apakah mau mempertanggungjawabkan jumlah sesuai transfer? Ini kan lucu,” ujarnya.
Sumber itu juga mengatakan, tim verifikasi tidak pernah bekerja sesuai SK. Banyak data yang disulap pakai tanggal mundur.
“Boro-boro sudah diasistensi BPKP, kemudian administrasi dibuat dengan tanggal mundur padahal kita semua tahu pada bulan Maret, April dan Mei, tenaga kesehatan yang mau bertugas menghadapi Covid-19 banyak yang tidak mau berhadapan dengan pasien dengan ODP, PDP apalagi pada bulan tersebut kasus positif baru 1 orang, yakni dari Bekasi,” tandasnya.
Selain itu, kata dia, ada juga Puskesmas yang menduplikasi jumlah notifikasi, dimana nama-nama yang sudah ada dalam daftar halaman pertama, dicopy lagi untuk dimasukan ke halaman berikutnya.
Dijelaskan, sejak awal Dinkes tidak pernah melibatkan petugas Darbin yang mengerti wilayahnya. Padahal kalau berdasarkan data dari petugas Darbin jumlah ODP, PDP pada wilayahnya tidak sebanyak jumlah yang diusulkan, sehingga disiasati dengan mendata orang yang datang berobat ke puskesmas (bukan OPD dan PDP) dinyatakan sebagai ODP dan PDP. Kalau masih kurang lagi, Dinkes membantu dengan data siluman kepada Puskesmas.
“Boro-boro sudah menjadi konsumsi publik, baru Dinkes bergerak dengan membebankan petugas verifikasi sesuai SK, padahal dari awal mereka tidak bekerja sama dengan petugas Darbin.bahkan ada perintah “satu bahasa,” beber sumber itu.
Sumber itu menambahkan, data-data dugaan penyelewengan sudah ada di tangan tim Polrestas Ambon. “Sudah ada di tangan mereka, temuan banyak ketika lakukan asistensi, persoalannya mengapa tidak ditindaklanjuti,” tandasnya.
Bantah Mark Up
Kadis Kesehatan Kota Ambon, Wendy Pelupessy membantah ada mark up data pasien maupun dana penanganan Covid serta pemotongan insentif nakes.
“Hal yang disampaikan itu tidak benar, saya selaku kepala dinas saja tidak dapat insentif,” kata Pelupessy kepada wartawan, usai rapat dengar pendapat bersama Komisi I DPRD Kota Ambon, di Baileo Rakyat Belakang Soya, Kamis (1/10).
Menurutnya, berdasarkan Permenkes insentif nakes untuk dokter umum sebesar Rp 10 juta. Namun dibayar Rp 4,5 juta sesuai Perwali. Jadi bukan dipotong. “Yang ditransfer ke para nakes sebesar 4,5 juta sesuai dengan Perwali. Jadi bukan pemotongan. Silahkan tanya ke Gustu saja biar jelas,” ujar Wendy.
Soal temuan adanya dugaan mark up data pasien ODP dan PDP, Wendy juga membantah. Ia mengatakan, adanya nama-nama ODP dan PDP dalam daftar di Puskesmas Kilang, tetapi bukan warga Desa Kilang, karena pendekatannya bukan kewilayahan, tetapi epidemiologi.
“Bisa saja pelaku perjalanan ada di Kota Ambon dan sementara dipantau di Puskesmas Kilang, karena dalam kondisi itu tidak berdasarkan kewilayahan tetapi berdasarkan kondisi epidemiologi, jadi bukan kita fiktif datanya, biar lebih jelas tanya saja ke gugus tugas,” tandasnya.
Wendy mengaku, semua data dari setiap puskesmas sudah diverifikasi oleh tim verifikator tingkat kota maupun provinsi.
Temuan Bukti
Seperti diberitakan, saat tim Satreskrim Polresta Ambon melakukan asistensi terhadap gugus tugas, khususnya Dinas Kesehatan ditemukan sejumlah dugaan penyelewengan.
Pejabat Dinas Kesehatan mengarahkan agar data-data pasien Covid-19, yang berstatus ODP dan PDP dimanipulasi. Arahan disampaikan kepada hampir semua puskesmas di Kota Ambon.
Misalnya di puskesmas Kilang yang ada di Kecamatan Leitimur Selatan, banyak nama yang dimasukan dalam daftar positif corona, ODP dan PDP seolah-olah, mereka adalah penduduk desa atau kecamatan setempat. Padahal setelah ditelusuri, ada yang tinggalnya di Namlea, Kabupaten Buru, ada yang di Makassar bahkan ada yang di Jakarta.
Jumlah kasus positif, ODP dan PDP yang diduga dimanipulasi bertujuan untuk mendongkrak jumlah nakes yang bertugas. Semakin banyak jumlah nakes yang dibuat seolah-olah melaksanakan tugas, maka pengusulan untuk pembayaran insentif semakin besar.
Kementerian Kesehatan mengalokasikan dana insentif daerah Kota Ambon melalui Dana Alokasi Khusus Bantuan Operasional Kesehatan Tambahan dalam penanganan Covid-19 sebesar Rp 3.450.000. 000 untuk tiga bulan, yakni Maret, April dan Mei 2020.
BPKAD kemudian mentransfer ke rekening Dinas Kesehatan Kota Ambon sebesar Rp 1.900.000.000 untuk insentif nakes bulan Maret dan April pada 22 puskesmas di Kota Ambon.
Data yang dihimpun dari 21 kepala puskesmas di Ambon, total dana yang sudah diterima Rp 1.708.500. 000,00. Sesuai laporan Dinas Kesehatan, jumlah nakes yang diinput pada 21 puskesmas sebanyak 653 orang. Namun yang diberikan insentif hanya 414 orang.
Pada bulan Maret 2020 jumlah nakes yang menerima insentif sebanyak 200 orang. Kemudian bulan April 2020 sebanyak 214 orang. Jadi totalnya 414 orang.
Dari jumlah 653 nakes di 21 puskesmas, minus Puskesmas Hutumuri, terdapat selisih 239 nakes yang mendapatkan insentif. Jumlah 239 ini diduga fiktif, yang dipakai untuk mengusulkan pencairan anggaran.
Dugaan penyelewengan lainnya adalah insentif nakes yang dipotong Dinas Kesehatan Kota Ambon.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 392 Tahun 2020 tentang pemberian insentif dan santunan kematian, sasaran pemberian insentif dan santunan kematian menyebutkan, besaran insentif nakes masing-masing; dokter spesialis Rp 15 juta, dokter umum atau gigi Rp 10 juta, bidang dan perawat Rp 7,5 juta dan tenaga medis lainnya Rp 5 juta. Namun nakes tak menerima sebesar itu, yang diterima justru nilainya di bawah.
Namun disaat hendak mau ditindaklanjuti, lima Satreskrim Polresta Ambon yang berjumlah lima orang itu, dimutasikan.
Polisi Harus Profesional
Akademisi Hukum IAIN Ambon, Nasaruddin Umar, meminta Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease bersikap profesional.
Polisi tidak boleh beralasan hanya pendampingan atau asistensi, sehingga tidak perlu melakukan pengusutan.
“Polresta dalam hal ini Kapolresta Pulau Ambon harus profesional memperlihatkan komitmennya sebagai institusi yang akuntabel dan transparan,” kata Nasaruddin kepada Siwalima di Ambon, Minggu (4/10).
Menurutnya, jika Polresta Pulau Ambon tidak melakukan penyelidikan atas temuan saat asistensi itu akan menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada institusi kepolisian.
“Artinya proses penyelidikan ini harus dilakukan. Apalagi polisi mengetahui hal ini saat melakukan asistensi. Langkah ini agar semuanya jelas, agar kemudian tidak terjadi spekulasi, jangan-jangan ini ada upaya-upaya untuk tutupi perkara ini. Olehnya kepolisian harus mengedepankan profesionalismenya. Tim reskrim lakukan penyelidikan dulu. Kalau misalanya tidak cukup bukti kan bisa kepolisian menyampaikan kepada publik bahwa tidak ada tindak pidana,” tandasnya.
Dikatakan, sangat tidak profesional kalau kasus ini diselidiki. Jangan serta merta mengatakan bahwa ini tidak ada masalah, dan prematur.
“Kasus ini keburu sudah diketahui publik dan menjadi viral di mana-mana. Kalau ini tidak diproses secara hukum, menunjukan polisi tidak profesional melakukan penyelidikan,” ujar Nasaruddin.
Ditambahkan, Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana pasal 5, penyelidikan itu dilakukan berdasarkan dua hal yakni laporan atau pengaduan dan perintah penyelidikan. Jika polisi mendapatkan informasi mengenai adanya dugaan tindak pidana, dibuat laporan informasi dan dapat melakukan penyelidikan. Artinya kepolisian tidak harus menunggu ada laporan dulu baru dia melakukan penyelidikan.
“Kalau ada informasi, mengenai adanya dugaan tindak pidana, informasi itu kan bisa dari media, dari masyarakat dan dari mana saja. Apalagi itu informasi dari bawahan anggota polisi sendiri, maka sudah perlu dibuat surat perintah penyelidikan. Surat itu maka dilakukan upaya atau kegiatan-kegiatan penyelidikan,” ujar Nasaruddin.
Akademisi Hukum Unpatti, Hendrik Salmon juga menegaskan, seharusnya polisi maupun jaksa melakukan penegakan hukum terkait penggunaan dana Covid.19.
“Bukti yang ada semestinya aparat melakukan penegakan hukum. Sehingga bisa clear,” ujarnya.
Dikatakan, fakta hukum itu sesuatu yang mesti dipegang. Olehnya publik meminta pertanggungjawaban penegak hukum untuk segera usut.
Salmon menegaskan, stresing pemerintah pusat persoalan penggunaan dana covid akan dipertanggungjawabkan secara hukum karena bukan saja terjadi di Maluku. Tapi juga provinsi lainnya. Di maluku ini terjadi dengan adanya nakes fiktif. Nakes fiktif ini sudah tercium lama dan sudah dilakukan pendampingan.
“Olehnya, penegak hukum baik jaksa maupun polisi harus melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum. Karena masyarakat yang dikorbankan dalam kasus ini,” kata Salmon. (S-32)
Tinggalkan Balasan