Kementerian Dalam Negeri, memastikan masa jabatan Murad Ismail dan Barnabas Orno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku, akan berakhir 31 Desember 2023.

Kemendagri telah mengirim surat resmi ke DPRD Maluku, perihal masa jabatan keduanya yang berakhir tepat pada 31 Desember nanti.

Gubernur Maluku Murad Ismail, tak terima diberhentikan 31 Desember dan menempuh langkah hukum ke Mahkamah Konstitusi. Orang nomor satu di Provinsi Maluku ini ngotot jabatannya harus berakhir pada bulan April 2024.

Tercatat sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah juga mengikuti langkah Murad, seperti, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto, Dedi A Rahim Wakil Walikota Bogor, Marthen Taha Walikota Gorontalo, Hendri Septa Walikota Padang dan Walikota Tarakan Chairul.

Sejatinya, masa jabatan Murad-Orno akan berakhir pada 24 April 2024. Hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 189/P Tahun 2018, tanggal 28 September 2018.

Baca Juga: Menanti Calon Penjabat Gubernur

Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 201 Ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, menegaskan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018, menjabat sampai dengan Tahun 2023.

Murad Cs mengajukan gugatan pengujian pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada terhadap UUD Tahun 1945.

Selain itu, ketentuan pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada telah membuat hak konstitusionalnya sebagai warga negara yang seharusnya memegang masa jabatan selama lima tahun, harus menyelesaikan masa jabatan selama lima tahun sebagai kepala daerah masing-masing. Dimana untuk pemohon I atas nama Murad Ismail Gubernur Maluku harus terpotong masa jabatannya selama 4 bulan dari jadwal yang mestinya berakhir pada 31 Desember 2024. Para pemohon pun meminta Mahkamah Konstitusi agar memutuskan pasal 201 ayat (5) UU Pilkada bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Pengajuan ke MK memang merupakan hak gubernur dan itu sah-sah saja karena Murad merasa hak konstitusinya dirugikan. Sehingga kewenangan untuk memutuskan berada sepenuhnya di MK

Untuk diketahui, gugatan yang diajukan Murad Cs sama seperti gugatan sebelumnya yang pernah diajukan oleh Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi, Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara dalam perkara No 18/PPU-XX/2022.

Dalam pertimbangan hakim Konstitusi Saldi Isra pada Rabu, 20 April 2022 lalu mengatakan, kebijakan memformulasikan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 UU No 10 Tahun 2016 tentang UU Pilkada bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024.

Pemotongan masa jabatan menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia. Sebagai hak politik, maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara berdasarkan alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Menurut Mahkamah, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, in casu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi, termasuk dalam hal ini dalam rangka memenuhi kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional.

Selain itu, pemotongan atau pengurangan masa jabatan gubernur dan wakil gu­bernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota juga telah dilaku­kan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional dan berlaku untuk semua gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil  pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, sehingga oleh karenanya juga tidak bersifat diskriminatif.

Undang-undang telah mengantisipasi secara jelas terhadap pihak yang terkena dampak pengurangan masa jabatan kepala daerah pun telah diberikan kompensasi. Berkenaan dengan hal ini, jauh sebelum penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024, kepala daerah yang terkurangi masa jabatannya telah diatur dalam Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015).

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada yang menentukan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024 tersebut, tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan serta tidak menghalangi kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

Apakah keputusan MK dalam putusan Bupati dan Wakil Bupati Halmahera akan sama juga terhadap gugatan yang diajukan Gubernur Maluku, Murad Ismail Cs ataukah tidak. Yang pasti proses tersebut sedang berlangsung di MK, dan MK yang memiliki kewenangan untuk memutuskan. (*)