Jika saja aparat penegak hukum (APH) bekerja profesional dan proporsional tidak ada kasus korupsi yang mandek. Integritas dan hati nurani menjadi faktor penentu penyelesaian suatu kasus korupsi.

Ambil contoh korupsi dana desa dan alokasi dana desa (DD-ADD) Porto Kecamatan Saparua Kabupaten Malteng. Ternyata ada eks Kepala Cabang Kejari Ambon di Saparua, Leonard Tuanakotta diduga bermain sehingga kasus yang menyeret Raja Porto, Marthen Nanlohy tak kunjung masuk pengadilan untuk disidangkan.

Tuanakotta dilaporkan oleh Pendeta ZJ Tete­lepta ke Kejati Maluku karena me­ne­rima suap ratusan juta rupiah saat mengusut kasus korupsi dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD) Porto tahun anggaran 2015-2017.

Sesuai laporan ke Kejati Maluku, Raja Negeri Porto diduga memberikan uang suap kepada Leonard Tuanakotta saat menjabat Kacabjari Saparua, agar Nanlohy tak dijerat dalam kasus korupsi DD dan ADD.

Nanlohy diduga memberikan uang sebesar Rp. 159 juta. Uang tersebut diberikan secara bertahap sebanyak tiga kali. Pertama Rp. 30 juta, kemudian Rp. 10 juta, dan terakhir Rp. 119 juta.

Baca Juga: Setengah Hati Menangani Covid-19

Dugaan suap itu, dilaporkan Pen­deta Z.J. Tetelepta, yang juga warga Porto ke Kejati Maluku pada 14 September 2020. Tembusan laporan itu disam­pai­kan kepada KPK di Jakarta, Keja­gung di Jakarta, Komisi III DPR di Ja­karta, Komisi Kejaksaan di Ja­karta dan Kacabjari Saparua di Saparua.

Tetelepta meminta kejaksaan se­rius menangani dugaan suap itu hingga tuntas demi tegaknya hu­kum.

Tetelepta juga meminta kejak­saan segera memanggil dan me­meriksa bendahara Negeri Porto Debby Taribuka, mantan Camat Saparua Agus Pattiasina, dan Marthen A. Nanlohy.

Tetelepta yakin uang sebesar Rp. 159 juta itu berasal dari DD milik masyarakat desa Porto. Korupsi DD dan ADD Porto tahun 2015-2017 seni­lai Rp 2 miliar diusut Leonard Tuanakotta saat menjabat Kepala Cabang Kejari Ambon di Saparua.

Ia lalu menetapkan Raja Porto Marthen Nanlohy, Sekretaris Negeri Porto Hendrik Latupeirissa dan bendahara Salmon Noya sebagai tersangka.

Namun Leonard hanya melim­pahkan berkas Latupeirissa dan Noya ke pengadilan. Hakim ke­mudian memvonis keduanya 1 tahun penjara. Sementara berkas Marthen Nanlohy ditahan oleh Leonard. Dia selalu beralasan, berkas Nanlohy masih dirampungkan. Hingga Leonard dimutasikan dari Saparua, berkas Nanlohy tak dilimpahkan padahal dia sudah  ditetapkan seba­gai tersangka sejak 18 Oktober 2018.

Semenjak menjabat Kepala Cabang Kejari Ambon di Saparua, Leonard tidak hanya mengusut DD/ADD Porto saja. Ada laporan yang sama dari Negeri Kulur, Ulat dan negeri-negeri lainnya di Kecamatan Nusalaut. Sayangnya Leonard tidak profesional.

Penegakan hukum khusus korupsi DD/ADD tidak tuntas. Laporan masyarakat disertai bukti-bukti yang lengkap tidak digubris.

Anehnya, pimpinan Kejati Maluku dan Kejari Ambon menutup mata ter­hadap kinerja buruk Leonard.  Kita berharap, pelaporan yang disampaikan masyarakat ke Kejati terkait kinerja buruk Leonard menjadi pelajaran bagi jaksa-jaksa lainnya untuk kedepan lebih profesional lagi dalam mengusut korupsi. (**)