AMBON, Siwalimanews – Janji Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah untuk memulangkan pengungsi Kariu yang saat ini berada di Aboru ke negeri asalnya sehingga bisa merayakan natal di negeri tersebut kian berlarut.

Janji tersebut tak pasti, bahkan upaya negosiasi dengan warga Pelauw seakan memupus lang­kah Pemerintah Kabupaten Malteng untuk memulangkan pengungsi tahap kedua.

Hingga kini baru 326 peng­ungsi tahap pertama yang berada di Gedung Gereja Ebenhaezer  Kariu yang dipulangkan Peme­rintah Kabupaten pada Senin (19/12) lalu. pemulangan ini juga terhambat akibat aksi penolakan dari warga Pelauw.

Menanggapi  hal ini, anggota DPRD Maluku Jantje Wenno menilai,  Gubernur Maluku, Mu­rad Ismail tidak merasakan pen­deritaan yang dialami oleh ma­syarakat Kariu, yang hidup dite­ngah pengungsian akibat konflik dengan Negeri Pelauw.

Pasalnya, hampir setahun warga Kariu meninggalkan tempat asal dan menempati tempat pengungsian di Negeri Aboru selama satu tahun belakangan ini tidak ada keber­pihakan Gubernur Maluku untuk turun langsung dan melihat kondisi masyarakat Kariu.

Baca Juga: Walikota: Pastori Simbol Kehadiran Tuhan

Bahkan, dalam rapat bersama Pemerintah Pusat dan stakeholder terkait dengan pemulangan peng­ungsi Kariu pun Gubernur Maluku tidak melibatkan diri secara lang­sung padahal gubernur adalah bapak orang Maluku.

“Ya gubernur sama sekali tidak merasakan penderitaan yang di alami oleh masyarakat Kariu, padahal beliau itu bapaknya orang Maluku. Ini patut disesali,” ujar Wakil Ketua Komisi I DPRD Provinsi Maluku, Jantje Wenno kepada Siwalima melalui pesan WhatsApp, Kamis (29/12).

Dijelaskan, rencana pemulangan masyarakat Kariu yang diinisiasi oleh pemerintah dengan membuat kesepakatan damai di Kantor Gu­bernur dan diikuti dengan pemu­langan pengungsi tahap pertama ke Negeri Kariu beberapa waktu lalu, harus di apresiasi.

Jika ada penolakan dari masya­rakat Pelau sebagai akibat dari belum dipenuhinya beberapa poin kese­pakatan, lanjut dia, mestinya disi­kapi dengan dialog dan pemerintah harus memenuhi itu semua yang menjadi tanggung jawab peme­rintah.

Apalagi masalah ini telah menjadi perhatian Pemerintah Pusat, maka pemerintah dan aparat TNI/ Polri harus tetap menjalankan kesepa­katan pemulangan masyarakat Kariu karena itu tanah milik masyarakat Kariu.

“Tidak ada alasan untuk mereka tidak kembalikan mereka ke negeri asal,” tegas Wenno.

Menurutnya, negara dan peme­rintah harus hadir untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara termasuk masyarakat Kariu untuk kembali  ke negeri asal, bahkan penolakan pasca kesepakatan yang dibuat di kantor Gubernur kan harus di ketahui apa alasan.

Tiga Fase

Terpisah mantan Ketua Sinode GPM, John Ruhulessin  berpendapat ada tiga fase yang mesti dilakukan pemerintah dalam penangganan konflik Kariu-Pelauw.

Pertama, Physiking artinya hen­tikan kekerasan dan melibatkan TNI/Polri serta melibatkan seluruh po­tensi masyarakat.

Kedua,  Physmeeking adalah bagaiman kita membangun dengan semua stakeholder proses dialog. Proses mencari solusi-solusi yang menguntungkan.

“Oleh karena itu pendekatannya harus membangun dialog dengan semua stakeholder, dengan masya­rkat Pelauw, masyarakat Ori, masyarakat Hulaliu maupun Aboru.  Itu semua dilibatkan karena itu diperlukan suatu tim yg independen untuk membangun proses-proses bersama secara baik,” ungkap Ruhulessin kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (28/12) malam.

Ketiga, Physbuilding. Hal Ini antara lain proses pemulangan. Proses recovery/pemulihan.  Oleh karena itu tiga hal ini mesti disinkorkan dan sikronisasi dengan baik guna kepentingan bersama, sehingga proses recavery itu bisa berlangsung dengan baik.

Menurutnya, penyelesaian ini juga harus diselesaikan bottom up dan tidak boleh top down.

Dalam kesempatan itu, Ruhu­lessin mengucapkan selamat natal bagi Jemaat Kariu di Kariu maupun di Aboru.

“Natal.selalu memberikan kepada kita pengharapan, dan Tuhan menganugerahkan kepada kita damai. Dalam.kondisi apapun kita percaya tentang pernyataan kuasa Allah yang terus melakukan pemulihan bagi Negeri Kariu dan jemaat Kariu,” ujarnya.

Memasuki tahun baru, Ruhulessin percaya apapun kemelutnya Tuhan menyertai seluruh proses perjalanan masyarakat/ jemaat Kariu. Dan akan memasuki tahun 2023 dengan Selamat.

“Dalam.percakapan-percakapan saya dengan pihak-pihak tertentu, memang pemulangan itu menjadi agenda pemerintah. Pemulangan tahap ke-2  akan tetap menjadi agenda pemda. Hanya persoalannya waktu. Tapi beta seng tahu kapan itu,” tuturnya.

Ruhulessin mengajak warga Kariu untuk tetap mempunyai optimism dan berharap serta berdoa kepada Pemkab tetapi juga Kapolda dan Pangdam untuk betul-betul mengkondisikan situasi keamanan yang kondusif, agar seluruh proses pengamanan bisa berlangsung dengan baik.

“Beta sangat percaya Pak Kapolda dan Pak Pangdam untuk betul-betul  mengkondisikan situasi keamanan yang kondusif, agar seluruh proses pemulangan itu berlangsung dengan baik. Kita sangat bercaya Pak Kapolda dan Pak Pangdam punya etikat yang luar biasa, baik utk proses ini juga bpk gubernur  melalui Pemkab Malteng. beta merasa bahwa yang dilakukan oleh negara ini sudah baik,” ujarnya.

Diwarnai Penolakan

Seperti diberitakan sebelumnya, upaya Pemkab Malteng untuk mengembalikan warga Kariu ke negerinya pada Senin (19/12) belum sepenuhnya berjalan baik.

Langkah pemulangan warga Kariu dari lokasi pengungsian sampai Selasa (20/12) sore kemarin berjalan dalam kondisi mencekam, akibat adanya penolakan warga Pelauw yang melakukan aksi protes di perbatasan kedua negeri.

Informasi yang berhasil dihimpun Siwalima menyebutkan, lebih kurang sekitar 326 jiwa warga pengungsi Kariu kini telah berhasil dipulangkan ke negerinya.

Mereka saat ini ditampung di dalam gereja Kariu dengan pe­ngawalan ketat aparat TNI/Polri. Meski demikian, aksi protes masih terjadi sebagaimana tergambar dari sejumlah video yang viral di media sosial.(S-20)