AMBON, Siwalimanews – Warga Negeri Waai mengaku kecewa terhadap Gubernur Maluku, yang memberikan laporan asal bapak senang kepada pemerintah pusat.

Tokoh masyarakat Waai menge­cam pernyataan Murad Ismail yang melaporkan masalah pembe­basan lahan sudah beres ke Menteri Koor­dimator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar pandjaitan.

Pernyataan orang nomor satu di Maluku itu sangat berbeda jauh dengan kondisi dan fakta yang terjadi di lapangan.

Pasalnya, warga Waai yang lahan­nya akan digunakan untuk pemba­ngunan Ambon New Port, masih belum mengetahui pasti berapa harga lahan yang akan dibayar pemerintah.

Ambon New Port akan dibangun di atas lahan seluas 700Ha, meliputi Dusun Batu Dua, Batu Naga dan Ujung Batu, Negeri Waai, Keca­matan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah.

Baca Juga: Tiga Provider Terancam Putus Kontrak

“Kami semua masyarakat termasuk tiga dusun itu belum ada info yang pasti tentang kejelasan harga tanah. Kami kecewa dengan pernyataan pak gubernur karena itu keliru,” jelas tokoh masyarakat Waai, Amalia Tahitu kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Jumat (8/10).

Amalia yang juga Dosen FISIP UKIM ini menjelaskan sampai de­ngan saat ini warga belum mendapat kejelasan soal harga lahan yang akan dibayarkan kepada warga pemilik lahan.

Katanya, dalam beberapa kali pertemuan yang dilakukan tim 9 Pemprov Maluku dirinya mena­nyakan soal harga lahan, namun lagi-lagi tidak ada penjelasan.

“Dalam pertemuan yang disam­paikan oleh tim 9 Pemprov Malulu waktu itu saya juga ikut. Saya ber­tanya atas nama tokoh masyarakat Waai dan pemilik lahan yang lahan akan digunakan. Saya minta peme­rintah harus terbuka juga tentang harga. Dan itu belum ada penjelasan sampai dengan hari ini,” yakinnya.

Kata Amalia, pihaknya mendapat­kan informasi bahwa harga lahan dihitung sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Kabupaten Maluku Tengah sebesar Rp 36 ribu per m2. Ini tentu sangat tidak layak.

“Saya tanya harga dihitung berdasarkan NJOP Kabupaten Malteng, Rp36 ribu per m2, makanya saya langsung tanya atas dasar apa pakai NJOP Malteng dengan

harga Rp36 ribu per m2. Saya bilang minta maaf kalau hari ini kita pakai NJOP dengan harga Rp36 ribu per m2, versi Malteng karena itu harga tidak layak,” ujarnya.

Lanjut Amalia, jika harga dihitung Rp36 ribu per m2, maka itu justru rugi dan bikin warga tambah menderita. Pemerintah tidak bikin untung tapi malah menderita.

“Pak Jokowi dalam banyak hal selalu mengatakan untuk lepaskan hak ulayat masyatakat itu harus ganti untung bukan ganti rugi. Kalau seperti ini kami tidak setuju,” tegasnya.

Dia mengaku kecewa dengan pernyataan gubernur yang hanya menyenangkan pempus saja.

“Pernyataan gubernur seakan membuat pejabat senang sementara dibawah tidak terjadi apa-apa.

Sangat disesalkan pernyataan seperti itu, karena pembebasan lahan belum sama sekali. Harga saja kita belum tahu. Itu yang paling penting harga dan kalau pun harga tidak berkenan di patok bawah standar, kita juga keberatan untuk mele­paskan hak-hak ulayat masyarakat,” ujarnya.

Tak Sesuai

Sementara itu warga Waai lainnya Edy mengungkapkan, masalah lahan belum selesai. Karenanya dia meminta Pemrprov duduk bersama dengan warga untuk membicarakan harga lahan.

“Kita belum tahu lahan mana yang akan dipakai. Dan menjadi satu kebinggungan bagi masyarakat. Karena masyarakat belum tahu lahan harga berapa. Dan bagaimana mau peletakan batu pertama Ini agak binggung dan rancu,” tuturnya.

Menurutnya, sampai saat ini masyarakat di Waai masih binggung dan tidak setuju jika pemerintah belum memberikan kejelasan soal harga lahan mana yang akan dipakai.

Dia lalu menuturkan, pernah dalam satu pertemuan yang disitu ada Pemprov juga bersama pemerintah negeri, disebutkan bahwa harga lahan per meter2 itu Rp36 ribu. Dengan ada informasi itu masyarakat pemilik lahan pada umumnya menolak.

“Jika Pemprov pertahankan harga sesuai NJOP Rp36  ribu per m2, maka warga pemilik lahan tetap menolak,” tegasnya saat dihubungi Siwalima melalui telepon selulernya, Jumat (8/10).

Sikap warga lebih khusus menolak karena harga yang ditetapkan tidak adil dan tidak perpihak kepada warga karena lahan yang dimiliki habis terpakai dimana didalamnya ada tanaman umur panjang dan pendek, dengan pembayaran harga tersebut otomatis sangat merugikan masyarakat.

“Karena harga lahan itu kan dibeli habis. Dibeli putus berarti tidak ada kepemilikan. Pemilik lahan tetap tolak kalau harganya Rp36 ribu. Di luar itu belum ada kejelasan kepada warga di tiga dusun itu pindah ke mana. Harus ada kesiapan tempat dan harga yang layak,” ujarnya.

Dia meminta Pemprov jangan hanya laporkan masalah pembeba­san lahan selesai padahal sebe­narnya ada masalah prinsip yang belum diselesaikan.

“Jangan lapor beres saja, padahal ada masalah yang sangat prinsip di negeri. Pembangunan tidak kami tolak tetapi Jangan sampai tidak cocok dengan masyarakat. Kalau tidak cocok pasti ditolak,” tuturnya.

Lahan Beres

Diberitakan sebelumnya, Guber­nur Maluku Murad Ismail mela­porkan pembebasan lahan untuk keperluan pembangun Ambon New Port sudah selesai dila­kukan. Hal itu disampaikan Murad kepada Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Perhu­bungan Budi Karya Sumadi, di VIP room Bandara Inter­nasional Pattimu­ra, Kamis (7/10) pagi.

Kepada Luhut dan Budi Karya, Murad meyakinkan kalau lahan sudah selesai dibebaskan sejak ada­nya Peraturan Presiden mengenai percepatan pembangunan pelabu­han.

“Ini pun menjadi pemantik bagi kami, pemerintah daerah, karena 3 dari 11 wilayah pengelolaan peri­kan­an dapat ditemukan di Maluku,” jelas murad sebagaimana dilansir laman www.maritim.go.id.

Nantinya pelabuhan ini diharap­kan mampu menjadi pusat beberapa kegiatan, seperti terminal peti kemas internasional dan domestik, terminal roro, pelabuhan perikanan, kawasan industri logistik, terminal liquefied natural gas dan pembangkit listrik.

Kemudian, untuk pendanaan tahun 2022-2024 akan memanfaatkan maritime fund atau biaya dari sektor privat.

Selain itu, terkait segi lingkungan, pemerintah pusat mendorong agar nantinya pelabuhan memanfaatkan energi baru terbarukan.

“Sepanjang itu dilakukan untuk kepentingan nasional, nggak ada conflict of interest, just do it. Nggak akan ada masalah. Kalau mau maju, kita harus ubah pola pikir dan mau kolaborasi,” ucap Menko Luhut.

Menurutnya, diperlukan kerja sama yang harmonis dan kolaboratif untuk Indonesia. Selain itu, Menko Luhut menyebutkan bahwa Ambon membutuhkan sentuhan-sentuhan dari pusat.

“Saya ke sini untuk mende­ngar­kan permasalahan dan menentukan langkah-langkah selanjutnya yang diambil karena Ambon membu­tuhkan dukungan pemerintah pu­sat,” tegasnya.

Dijelaskan pembangunan pelabu­han baru di Ambon dinilai sangat diperlukan, mengingat lokasi pela­buhan Ambon berada di daerah pusat perdagangan, pemukiman, dan fasilitas umum lainnya.

Pelabuhan baru Ambon nantinya akan diintegrasikan dengan pusat kegiatan perikanan dan dirancang untuk mewujudkan Provinsi Maluku menjadi LIN.

Program ini didorong agar dapat meningkatkan jumlah ekspor dan dalam jangka panjang memunculkan multipplier effect yang menyejah­terakan masyarakat.

Sebagai wilayah dengan produksi ikan yang melimpah, dalam pem­bangunan pelabuhan baru tersebut ditemui beberapa permasalahan, seperti pelabuhan kargo dan peti­kemas eksisting yang akan men­capai kapasitas maksimum dalam 10-15 tahun mendatang, padatnya akses keluar dan masuk Teluk Ambon, dan perlabuhan perikanan yang telah melebihi kapasitas.

Jangan Korbankan Rakyat

Terpisah, Anggota DPRD Maluku, Jantje Wenno, kepada Siwalima, meminta

Pemprov Maluku jangan mengor­bankan rakyat dengan mengatas­namakan proyek strategis nasional, seperti pembangunan Ambon New Port, padahal harga lahan yang diterima tidak manusiawi.

“Memang untuk mendapatkan kepastian soal harga itu harus ada perhitungkan dari KJJP dan tim apprasial, tetapi paling tidak sudah ada rujukan seperti misalnya pembebasan lahan PLTU di sekitar situ, yang kira-kira Rp500 ribu. Itu bisa dijadikan sebagai rujukan, apalagi anggaran pembebasan lahan itu dari APBN,” kata Wenno kepada Siwalima Kamis (7/10).

Menurut politisi Perindo ini, dalam rapat paripurna APBD, dia sudah yang meminta supaya hal ini mendapat perhatian serius Pemprov.

“Dalam rapat paripurna APBD, beta termasuk anggota DPRD yang meminta supaya hal ini mendapat­kan perhatian dari Pemprov. Harga lahan yang ditentukan yang wajar­lah,” jelas Wakil Ketua Komisi I DPRD Maluku.

Dikatakan, Pemprov Maluku ja­ngan mengorbankan rakyat dengan harga lahan yang berada di bawah standar, apalagi ini proyek nasional yang walaupun untuk kepentingan masyarakat Maluku, tetapi rakyat tidak boleh rakyat menjadi korban.

“Kita membutuhkan proyek nasio­nal itu untuk kepentingan masyara­kat Maluku, tetapi jangan ini berpikir ini ganti rugi tetapi ini ganti untung. Kalau di Jawa setelah ganti untung orang-orang bisa serbu dealer mobil, ya mungkin kita di sini bisa beli motorlah. Itu wajar saja. Kalau Rp50 ribu mau jadi apa rakyat,” tegasnya.

Sebagai pimpinan komisi, Wenno berharap Pemprov Maluku bisa memperhatikan masalah pembeba­san lahan ini dengan serius, warga harus diuntungkan dari pembebasan tersebut dan jangan dirugikan.

Komisi I DPRD Maluku, lanjut Wenno, telah mendengarkan aspi­rasi warga di tiga dusun. Karenanya dia berharap pembangunan Ambon New Port jangan mengkorbankan rakyat. (S-19/S-39)