AMBON Siwalimanews –  Kasus dugaan korupsi di DPRD Kota Ambon sebesar Rp5,3 miliar yang dilidik oleh pihak Kejari Ambon kini telah mendapatkan titik terang.

Bahkan salah satu bukti kuat adanya korupsi, adalah adanya pengembalian keruigian negara sebesar Rp1,5 miliar ke kas Pemkot oleh pihak DPRD, ditambah dengan pengakuan bendahara yang mengakui uang negara senilai Rp400 Juta masih berada di kas DPRD.

“Namanya mengembalikan otomatis pernah menggunakan uang itu untuk kepentingan pribadi, sehingga jelas-jelas ini adalah tindakan korupsi. Andai saja kasus ini tidak tercium, dipastikan anggaran negara dilenyapkan oleh pihak terkait,” tandas Ketua GMKI Cabang Ambon Josias Tiven kepada Siwalimanews melalui telepon selulernya, Kamis (20/1).

Menurutnya, DPRD Kota Ambon seharusnya ikut serta memerangi tindakan korupsi, menjadikan korupsi sebagai suatu hal tabu, bukan sebaliknya menjadikan korupsi sebagai sarana memperkaya diri, dan merugikan negara.

Tindakan ini, tidak dapat dibenarkan dan mesti diberikan sangsi pidana sesuai perundang-undangan yang berlaku, sebab pengembalian uang hasil korupsi tidak menghapus pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, sekalipun pelaku telah mengembalikan uang hasil korupsi.

Baca Juga: Selesaikan Masalah Pengungsi Pelauw, DPRD Bentuk Panja

Hal ini kemudian dipertegas dalam Pasal 4 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan, bahwa Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Oleh karena itu, jika perbuatannya telah memenuhi unsur pidana korupsi, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana. Pidana tetap diproses secara hukum. mengembalikan uang hasil korupsi, itu hanya untuk meringankan hukuman di pengadilan nanti,” tegasnya.

Ditegaksan, UU ini merupakan suatu delik formil, artinya ketika perbuatan pelaku telah memenuhi unsur pidana korupsi, maka pelaku sudah bisa dipidana, tidak perlu harus timbul sebab akibat.

“Kalau uang hasil korupsi sudah dikembalikan, maka tidak bisa dipidana, itu tindakan yang keliru, dan tidak memberikan edukasi apapun bagi masyarakat mengenai tindakan melawan korupsi,” tegasnya.

Semestinya kata Tiven, dari delik formil itu adalah, meski uang hasil korupsinya sudah dikembalikan tetap harus dipidana, karena perbuatan korupsinya sudah terjadi.

Oleh karena itu tidak ada alasan bagi kejaksaan untuk tidak melanjutkan proses hukum tindak pidana korupsi. Karena jika kasus ini tidak dilanjutkan sebagai perkara pidana, akan memberikan suatu edukasi buruk bagi masyarakat, dan menjadi suatu tolak ukur bagi semua pejabat publik untuk mengunakan anggaran negara.

“Pakai saja dulu uang negara, nanti kalau ketahuan baru dikembalikan, kan tidak dipidana, di DPRD Kota saja bisa, masa kita ngak bisa,” ucap Tiven.

Tiven yang juga mahasiswa pada Fakultas Hukum UKIM ini menegaskan,  GMKI sebagai bagian dari civil society, akan terus mengikuti perkembangan kasus ini dan mengawalnya hingga tuntas, agar pihak-pihak yang terlibat mendapatkan ganjarannya masing-masing. (S-51)