AMBON, Siwalimanews – Keinginan dari Kelompok Petisi 100 yang meminta agar Presiden Jokowi dimakzulkan menjelang pemilu, dinilai oleh pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra sebagai gerakan yang inkonstitusional, karena tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 7B UUD 45.

“Sebagaimana diberitakan 22 tokoh mewakili Petisi 100 mendatangi Kantor Menko Polhukam Mahfud MD, menyampaikan keinginan agar Pemilu tanpa Presiden Jokowi. Artinya sesegera mungkin dalam waktu satu bulan sampai 14 Februari 2014, Jokowi susah harus dimakzulkan,” ucap Yusril dalam rilisnya yang diterima redaksi Siwalimanews, Senin (15/1).

Yusril yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara Fakuktas Hukum UI itu mengatakan, mustahil proses pemakzulan dapat dilakukan dalam waktu kurang dari satu bulan. Sebab proses pemakzulan itu panjang dan memakan waktu.

Prosesnya harus dimulai dari DPR yang mengeluarkan pernyataan pendapat, bahwa Presiden telah melanggar Pasal 7B UUD 45, yakni  melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden.

“Tanpa uraian yang jelas aspek mana dari Pasal 7B UUD 45 yang dilanggar Presiden, maka langkah pemakzulan adalah langkah inkonstitusional,” tegas Yusril.

Baca Juga: Anos Ingatkan BWS Perhatikan Pembangunan Embung

Menurut Yusril, perlu waktu berbulan-bulan untuk mempersiapkan DPR mengambil kesimpulan bahwa, Presiden telah melakukan pelanggaran. Andaipun DPR setuju, pendapat DPR itu harus diperiksa dan diputus benar tidaknya oleh MK.

Jika MK memutuskan pendapat DPR itu terbukti secara sah dan meyakinkan, maka DPR menyampaikan usulan pemakzulan itu kepada MPR. Selanjutnya MPR akan memutuskan, apakah Presiden akan dimakzulkan atau tidak.

“Perkiraan saya, proses pemakzulan itu paling singkat akan memakan waktu enam bulan. Kalau proses itu dimulai sekarang, maka baru sekitar Agustus 2024 proses itu akan selesai. Pemilu 14 Februari sudah usai. Sementara kegaduhan politik akibat rencana pemakzuln itu tidak tertahankan lagi. Bisa-bisa Pemilupun gagal dilaksanakan, jika proses pemakzulan dimulai dari sekarang. Akibatnya, 20 Oktober 2024 ketika jabatan Presiden Jokowi habis, belum ada Presiden terpilih yang baru. Negara ini akan tergiring ke keadaan chaos karena kevakuman kekuasaan,” jelas Yusril.

Yusril juga mengaku, heran mengapa tokoh-tokoh yang ingin memakzulkan Presiden itu menyambangi Menko Polhukam yang juga calon Wapres dalam Pilpres 2024. Seharusnya mereka menyambangi fraksi-fraksi di DPR kalau-kalau ada yang berminat menindaklanjuti keinginan mereka agar segera dilakukan langkah-langkah pemakzulan.

Mahfud sendiri menegaskan bahwa pemakzulan bukanlah urusan Menko Polhukam. Karena itu, ia melihat gerakan pemakzulan Presiden ini sebagai gerakan inkonstitusional dan ingin memperkeruh suasana menjelang pelaksanaan Pemilu 2024.

DPR sendiri tidak mempunyai inisiatif apapun untuk melakukan pemakzulan. Bahkan keinginan Masinton Pasaribu untuk melakukan angket atas Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang potensial melahirkan pernyataan pendapat DPR, hilang begitu saja tanpa dukungan.

“Saya menghimbau segenap lapisan masyarakat untuk memusatkan perhatian pada penyelenggaraan Pemilu yang tinggal satu bulan lagi dari sekarang. Dengan Pileg dan Pilpres yang dilakukan bersamaan, maka masa jabatan Presiden Jokowi akan berakhir 20 Oktober 2024 nanti. Marilah kita membangun tradisi peralihan jabatan Presiden berlangsung secara damai dan demokratis sesuai UUD 45,” himbau Yusril.(S-06)