Indonesia, sebagai negara yang terletak di kawasan cincin api Pasifik, sering mengalami gempa bumi yang bisa menimbulkan kerusakan besar. Salah satu jenis gempa bumi yang belakangan menjadi perhatian adalah gempa megathrust. Apa sebenarnya gempa megathrust, dan mengapa gempa ini dianggap berbahaya?

Gempa megathrust merupakan jenis gempa kuat yang terjadi di zona megathrust, yaitu zona subduksi aktif di mana lempeng tektonik samudra menekan di bawah lempeng tektonik benua. Zona megathrust ini adalah area di mana dua lempeng bertemu dan menghasilkan medan tegangan di kontak antar lempeng. Jika medan tegangan ini dilepaskan secara mendadak, maka akan terjadi gempa bumi besar.

Istilah “megathrust” berasal dari dua kata, “mega” yang berarti besar, dan “thrust” yang berarti dorongan atau tekanan. Gempa ini dapat mencapai magnitudo hingga 9,9, menjadikannya salah satu gempa paling kuat yang berpotensi menimbulkan tsunami.

Indonesia memiliki beberapa zona megathrust yang tersebar di berbagai wilayah, antara lain, Subduksi Sunda: Mencakup wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba; Subduksi Banda: Meliputi wilayah Kepulauan Banda; Subduksi Lempeng Laut Maluku; Subduksi Sulawesi; Subduksi Lempeng Laut Filipina; Subduksi Utara Papua.

Zona-zona megathrust ini terbentuk sejak jutaan tahun yang lalu dan menjadi sumber potensial gempa bumi besar di Indonesia.

Baca Juga: Integritas Jadi Faktor Krusial dalam Pilkada 2024

Salah satu zona megathrust paling aktif di Indonesia adalah Zona Megathrust Selatan Jawa. Di wilayah ini, terdapat tiga segmen megathrust utama, yakni Segmen Jawa Timur, Segmen Jawa Tengah-Jawa Barat dam Segmen Banten-Selat Sunda.

Setiap segmen ini memiliki potensi gempa hingga magnitudo 8,7. Namun, jika dua segmen bergerak bersamaan, magnitudo gempa yang dihasilkan bisa lebih besar dari 8,7.

Catatan sejarah menunjukkan beberapa gempa besar yang terjadi di Zona Megathrust Selatan Jawa, seperti gempa dengan magnitudo 7,0 hingga 7,9 yang terjadi pada tahun 1903, 1921, 1937, 1981, 1994, 2006, dan 2009. Selain itu, gempa dengan magnitudo 8,0 atau lebih besar pernah terjadi pada tahun 1780, 1859, dan 1943.

Gempa Megathrust memiliki magnitudo yang sangat besar, sehingga bisa menghancurkan bangunan, jalan, jembatan, dan infrastruktur lainnya. Kerusakan ini dapat membuat banyak orang kehilangan tempat tinggal dan menyebabkan gangguan besar dalam transportasi serta layanan dasar seperti listrik dan air.

Efek samping utama dari gempa Megathrust yakni Tsunami, kerusakan infrastruktur, tanah longsor, likuefaksi, kebakaran, korban jiwa dan cedera, gangguan ekonomi, serta dislokasi penduduk.

Efek samping ini menunjukkan betapa dahsyatnya dampak dari gempa Megathrust dan pentingnya mitigasi bencana untuk mengurangi risiko dan dampak dari peristiwa semacam ini.

Karena gempa megathrust bisa terjadi kapan saja dan memiliki dampak yang sangat merusak, penting bagi masyarakat untuk selalu waspada dan melakukan mitigasi bencana. Langkah-langkah mitigasi dapat mencakup edukasi tentang tindakan yang harus dilakukan sebelum, saat, dan setelah gempa terjadi, serta meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

Dalam menghadapi ancaman gempa megathrust, pengetahuan dan kesiapan adalah kunci untuk mengurangi risiko dan menyelamatkan nyawa.

Ketua DPRD Provinsi Maluku, Benhur George Watubun mengingatkan seluruh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota di Provinsi Maluku mengedepankan upaya mitigasi bencana.

Isu tersebut kata Watubun secara tidak langsung telah menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat khususnya yang masuk dalam daerah terdapat seperti di sekitar laut Banda.

Seluruh perangkat penanggulangan bencana sudah harus disiapkan sedini mungkin guna meminimalisir dampak dari bencana.

Selain itu pemerintah daerah harus lebih masif melakukan sosialisasi dampak bencana kepada masyarakat sehingga merendam kekhawatiran yang berlebihan. (*)