AMBON, Siwalimanews – Empat tahun Murad Ismail memimpin daerah ini, namun tercatat perangai dan kebijakannya sering menjadi momok bagi aparatur sipil negara.

Bahkan terkadang kebi­jakan birokrasi terkesan dilakukan berdasarkan faktor suka dan tidak suka dan kurang mempertim­bangkan kompetensi mau­­pun keahlian. Bah­kan tak sedikit yang menab­rak aturan.

Murad dilantik menjadi Gubernur Maluku oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu, 24 April 2019.

Tak butuh waktu lama terhitung 23 Juli 2019 Murad melakukan perom­bakan biorkrasi perdana. Tidak puas dengan kinerja aparaturnya, pada 3 Ja­nuari 2020 Murad kembali melakukan perombakan biorkrasi mulai dari eselon II, III dan IV.

Lagi-lagi mantan Ka­polda Maluku itu me­rombak birokrasi. Kali ini terjadi pada Rabu, 22 Juli 2020, kemudian disusul aksi serupa pada 19 Juli 2021, dimana Murad melakukan perombakan pada sejumlah eselon II, II dan IV.

Baca Juga: Pengurus PWI Maluku Dikukuhkan

Murad kembali merombak biro­krasi yang dipimpinnya, pada 18 Februari 2022.

Terakhir pada 4 April 2023 Murad melakukan perombakan birokrasi. Fatalnya, alih-alih mempercepat kinerja pemerintahan, perombakan birokrasi diyakini justru memper­lambat roda organisasi lantaran ba­nyak yang tidak sesuai kompetensi.

Bahkan perombakan yang dilaku­kan, justru akan menurunkan kinerja pemerintah Provinsi Maluku di penghujung masa jabatan. Hal ini karena terdapat beberapa pejabat yang ditempatkan tidak sesuai de­ngan kompetensi manajerial yang dimiliki pejabat tersebut.

Sebut saja, Kepala Dinas Pariwi­sata Provinsi Maluku yang saat ini dijabat oleh Meikyal Pontoh yang notabene berlatarbelakang seorang dokter.

Tak hanya itu posisi staf ahli Bi­dang Hukum, Politik dan Peme­rin­tahan yang saat ini dijabat Zul­karnaen dan memiliki kompetensi dibidang dokter, dinilai akan mele­mahkan proses pemerintahan.

Dewan Geram

Anggota DPRD Provinsi Maluku Rovik Akbar Afifuddin geram dengan kebijakan penempatan biro­krasi dilingkungan Pemerintah Pro­vinsi yang didasarkan pada suka dan tidak suka.

Pasalnya, dari kebijakan tersebut telah mengakibatkan sejumlah per­soalan yang berkaitan dengan pena­taan birokasi terjadi karena menge­sampingkan aturan.

“Saya mengingatkan sekretaris daerah yang saya hormati dan saya cintai, bahwa akibat dari kebijakan-kebijakan birokrasi pergantian mu­tasi akibat dari kita simpulkan dalam like and dislike telah mengakibatkan banyak persoalan di Maluku,” ujar Rovik dalam paripurna LKPJ Gu­bernur, Kamis (5/5) lalu.

Menurut Rovik, per hari ini ter­dapat begitu banyak ASN yang ese­lonnya tinggi harus menjadi bawa­han bagi ASN yang eselonnya ren­dah, hanya berdasarkan faktor suka dan tidak suka.  “Dan itu terjadi ha­nya di Maluku.

Dia lalu mencontohkan akibat dari kebijakan yang tidak dilakukan de­ngan baik, telah menimbulkan pe­numpukan sejumlah ASN pada Di­nas Perpustakaan dan Badan Pe­nge­lola Perbatasan Provinsi Ma­luku.

“Apa-apaan ini, ada pegawai ASN yang golongan kepangkatannya tinggi harus menjadi bawahan bagi mereka yang jauh lebih rendah dari dia. Buktinya bertumpum dan bisa dilihat di perpustakaan dan juga badan perbatasan,” kesalnya.

Menurutnya, sekretaris daerah dan BKD mestinya melakukan mu­tasi pejabat sesuai dengan kinerja dan kebutuhan, sebab menjadi se­orang pejabat eselon berbeda de­ngan menjadi anggota DPRD.

“Pejabat dilatih, dididik, ikut pen­jenjangan kepangkatan dan seba­gainya, tapi prestasi pejabat yang miliki itu hari ini, tidak ada gunanya, apalagi Kepala BKD sudah pindah menjadi Kepala Inspektorat,” ung­kap Rovik.

Pergantian pejabat kata Rovik memang merupakan hak konstitu­sional gubpernur, tetapi harus dila­kukan dengan baik sesuai dengan kebutuhan bukan didasari suka atau tidak suka.

Karenanya sebagai pejabat pem­bina kepegawaian, gubernur dan sekda harus mengembalikan marwah pejabat eselon yang ditempatkan pada Dinas Perpustakaan dan Badan Pengelola Perbatasan.

Siwalima mengkonfirmasi soal seluruh keberatan yang disampaikan Rovik, kepada Murad maupun Sadli Ie sebagai Sekda, tapi hingga berita ini diturunkan, belum ada respons dari keduanya.

Jangan Asal

Akademisi Fisip UKIM, Amelia Tahitu mengaku heran dengan penempatan pejabat eselon II pada beberapa OPD yang terkesan tidak sesuai dengan latar belakang dan kompetensi.

Karena itu, dirinya meminta Gu­bernur Maluku, Murad Ismail untuk tidak asal pasang dalam perombakan birokrasi itu, tetapi harus mem­perhatikan kompetensi yang dimiliki serta pengalaman kerja.

“Kita berharap kedepannya gu­bernur jangan asal pasang pejabat tetapi harus memperhatikan kom­petensi dan pengalaman kerja agar ada target yang dicapai,” tegas Tai­hitu saat diwawancarai Siwalima me­lalui telepon selulernya, Sabtu (8/4) lalu.

Menurutnya, dalam penempatan pejabat struktural maupun fungsio­nal di birokrasi pemerintahan mes­tinya gubernur memperhatikan kompetensi dan pengamalan dari pejabat, sebab jika tidak akan sangat menurunkan kinerja pemerintah.

Gubernur kata Tahitu harus ber­hati-hati dalam perombakan biro­krasi, sebab bisa saja menjadi bom waktu baginya ketika pejabat yang ditempatkan tidak sesuai dengan kompetensi yang berujung pada tidak tercapainya visi dan misi gubernur dan wakil gubernur.

Turunkan Kinerja

Terpisah, akademisi Fisip Unpatti Victor Ruhunlela mengungkapkan, perombakan dan penempatan peja­bat dalam jajaran pemerintah me­mang merupakan kewenangan pe­nuh yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun termasuk DPRD Provinsi Maluku.

Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Sabtu (8/4) Victor me­ngakui, dari proses pelantikan sejum­lah pejabat eselon II pekan kemarin, terdapat beberapa orang yang me­mang tidak layak dalam posisi ter­tentu dan ini menjadi kekhawatiran masyarakat.

Kata dia, selama ini dalam mela­kukan perombakan birokrasi guber­nur menggunakan merit sistem, dimana dalam proses perombakan sa­ngat dilihat kompetensi sese­orang untuk menduduki jabatan-jabatan, tetapi dalam perkembangan marid sistem tidak terlalu dipakai dalam memutuskan sesuatu.

“Dalam proses merekrut eselon II dalam upaya peningkatan pelaya­nan publik maka dibutuhkan krea­tivitas yang samua sangat tergan­tung dari pejabat eselon II. Kalau dia memiliki profesionalisme dalam mengelola organisasi tidak ada masalah. Artinya yang terpenting kemampuan untuk meningkatkan kinerja terhadap program-program yang kreatif dan tidak merugikan APBD,” ungkapnya.

Menurut Victor, perombakan birokrasi bagi masyarakat saat ini mungkin saja adalah hal yang tidak penting, tetapi masyarakat sangat mengharapkan roda pemerintahan di Provinsi Maluku tetap berjalan dengan baik yang ditopang dengan pelayanan publik yang baik pula.

“Seharusnya kebijakan gubernur merekrut orang-orang yang memang harus mampu mengelola dan mem­berikan kepercayaan, sebab dise­mua organisasi sering kali terjadi proses perombakan yang kadang terarah dan kadang tidak juga mengikuti kepentingan dari penguasa, kata­kanlah ada kepentingan partai atau kepentingan politik kedepan,” ujarnya.

Walau perombakan birokrasi adalah hak istimewa tetapi gubernur harus memperhatikan kompetensi dari pejabat yang ditunjuk artinya gubernur jangan mau menye­nangkan orang tetapi merepotkan dalam melakukan tugas yang lain.

“Kalau penunjukan tidak sesuai dengan kompetensi akan berdampak pada kinerja yang menurun. Kalau dia tidak tahu ditambah lagi dengan stafnya yang lemah maka berbahaya dan akan sangat mempengaruhi kinerjanya dan mengalami degradasi yang sangat luar bisa dalam penu­runan kinerja pemerintah,” papar­nya.

Ingatkan Gubernur

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPRD Maluku Jantje Wenno mengingatkan gubernur untuk tidak cepat dalam melakukan perombakan birokrasi lingkup Pemerintah Pro­vinsi.

Hal ini diungkapkan Wenno ke­pada wartawan di Baileo Rakyat Karang Panjang, Kamis (6/4) me­respon perombakan sejumlah pe­jabat eselon II pada beberapa waktu lalu.

Wenno menjelaskan sejumlah pejabat eselon II yang dilantik Gubernur merupakan pejabat yang baru saja dilantik oleh Wakil Gu­bernur Maluku, Barnabas Orno pada tahun 2022 lalu.

“Semua yang dilantik kemarin kan seingat saya baru dilantik pada Feb­ruari tahun lalu oleh Wakil Gubernur karena Gubernur tidak ada dan dalam catatan saya hanya berumur 1 tahun terjadi lagi pergantian,” ungkap dia.

Wenno mengakui, perombakan birokrasi pemerintahan dilingkup Pemerintah Provinsi Maluku me­mang merupakan hak prerogatif Gubernur Maluku sebagai Kepala Daerah tetapi harus dipertim­bangkan semua aspek termasuk lama waktu menjabat.

Jika pejabat baru saja dilantik maka harus diberikan kesempatan untuk berkerja sesuai dengan tugas dan kewenangan, tetapi yang terjadi sebaliknya pejabat belum bekerja justru sudah diganti.

Kondisi pergantian birokrasi yang terus terjadi dalam waktu yang sing­kat, lanjut Wenno, akan berdampak langsung terhadap capaian kinerja pada setiap program pemerintah sebab kerja-kerja Pemprov tidak stabil.

Menurutnya, gubernur harus memberikan kesempatan kepada setiap pejabat yang diangkat untuk bekerja dan berinovasi, agar hasilnya dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat Maluku. (S-20)