AMBON, Siwalimanews – Dua elemen masyarakat Maluku Tenggara, mendesak Polda Maluku mempercepat proses hukum Bupati Malra, M Thaher Hanubun.

Selain itu, Forum Masyarakat Malu­ku Tenggara (Formama-Tenggara) dan Pemuda Katolik cabang Maluku Teng­gara, menganggap orang no­mor satu di Kabupaten Maluku Tenggara itu tak lagi menghormati adat istiadat orang Kei.

Menurut keduanya, mestinya Bupati Hanubun menjadi pelindung bagi kaum perempuan, namun dirinya mematah­kan hal itu dengan tindakan yang dilakukannya.

Bupati Malra dilaporkan oleh pela­por TA, eks karyawan Café Agnia, milik Hanubun, pada 1 September 2023 atas dugaan pelecehan seksual, dengan nomor laporan TBL/230/IX/2023/MALUKU/SPKT.

Peristiwa yang menimpa TA terjadi di kafe yang terletak di Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon pada April 2023 sekitar pukul 15.00 WIT.

Baca Juga: Diduga Jual BBM Subsidi, Anak Buah LU Dipolisikan

Kedua lembaga tersebut menuding orang nomor satu di  Kabupaten Ma­luku Tenggara itu tak lagi meng­hormati adat istiadat orang Kei, dimana mestinya menjadi pelindung bagi kaum perempuan namun dirinya mematahkan hal itu dengan tindakan yang dilakukannya.

Koordinator Formama-Tenggara, Hironimus Ulukyanan mewakili Formama menyampaikan, dukungan dan desakan kepada Polda Maluku untuk tetap proses hingga tuntas kasus dugaan seksual yang dilaku­kan Bupati Hanubun.

“Formama Tenggara menyatakan bahwa kasus dugaan pelecehan sek­sual yang dilakukan oleh M Thaher Hanubun, adalah sebuah kejahatan, yang telah menjadi aib bagi seluruh masyarakat Maluku Tenggara, ter­uta­ma masyarakat adat Kei dimana­pun,” ujarnya kepada Siwalima me­la­lui pesan whatsappnya, Minggu (24/9).

Atas peristiwa yang dianggap memalukan itu, Formama Tenggara kemudian memberikan pernyataan sikap, pertama, mengecam dengan keras tindak pidana kekerasan sek­sual yang diduga dilakukan oleh Bu­pati Maluku Tenggara sebagaimana diberitakan oleh media selama ini.

Kedua, menyesal karena ketika nama M Thaher Hanubun mencuat seba­gai terduga pelaku kasus terse­but yang sangat merendahkan dan me­­nistakan harkat dan martabat perempuan, justru Hanubun diduga mencemari acara Nen Dit Sakmas sebagai simbol penghormatan dan penghargaan tertinggi terhadap pe­rempuan Kei, dengan menghadiri bah­kan membuka acara Nen Dit Sakmas.

Ketiga, menyesal karena dengan adanya dugaan kasus ini telah meruntuhkan eksistensi M. Thaher Hanubun sebagai vuvu yab-bab (pelindung) dan tuur madoman (pemberi petunjuk dan teladan).

Mereka juga menuntut agar pihak kepolisian tuntaskan kasus yang menyeret Bupati Malra.

“Kami mendesak agar penyidik Polda Maluku dan semua aparat pene­gak hukum terkait yang mena­ngani kasus dugaan pelecehan sek­sual dengan terduga pelaku M Tha­her Hanubun harus berani dan kon­sisten dalam menjalankan proses hukum yang sedang berlangsung,” pintanya sambil meminta, M Taher Hanubun untuk segera menghenti­kan segala bentuk upaya penghin­da­ran hukum, menghormati dan me­ngikuti proses hukum yang sedang berlangsung di Polda Maluku.

Mereka juga menuntut DPRD Kabupaten Maluku Tenggara agar segera menjalankan fungsinya ter­kait kasus dugaan kekerasan seksual terhadap M Thaher Hanubun Bupati Maluku Tenggara dengan mendesak dewan adat sebagai penjaga moral dan tatanan adat Kei agar segera bersikap terhadap dugaan kasus ini.

Mereka kepada seluruh elemen masyarakat Maluku Tenggara baik tokoh perempuan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda se­gera bangkit bergandengan tangan menyuarakan seruan moralnya.

Sikap Pemuda Katolik

Terpisah, Pemuda Katolik cabang Maluku Tenggara juga ikut bicara. Melalui rilis yang diterima Siwalima, Minggu (24/9) mereka menyatakan jika Hanubun dinilai melanggar hukum Adat Larvul Ngabal Pasal 6 tentang Moryain fo Mahiling dan Sasa.

Ketua Pemuda Katolik, Isak Igna­tius Setitit dalam rilisnya menyata­kan, Kekerasan dan pelecehan sek­sual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dilawan bersama. Dampak kekerasan dan pelecehan seksual meliputi pende­ritaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi dan sosial hingga politik.

Dampak kekerasan dan pelecehan seksual semakin menguat ketika Korban merupakan bagian dari Masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial dan politik.

Pemuda Katolik sebagai ormas juga telah turut serta dalam menga­wal proses hukum agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, baik pihak pelapor maupun pihak terlapor.

Seminggu setelah proses hukum bergulir di Polda Maluku, beredar­nya informasi di media sosial dan pemberitaan tentang upaya perda­maian yang dilakukan oleh keluarga terduga Hanubun dan pihak pelapor, berujung pada keluarga pelapor dan pelapor mencabut laporan polisi Nomor: LP/B/230/1X/2023/MALU­KU/SP­KT di POLDA Maluku de­ngan membuat surat pernyataan yang disampaikan kepada Kapolda Maluku.

Preseden Buruk

Upaya menghindar dari jeratan hukum dan melakukan penyelesaian di luar proses peradilan, merupakan preseden buruk dalam penerapan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Kondisi ini sungguh sangat me­nyayat hati dan batin Pemuda Ka­tolik dan seluruh masyarakat Malra, karena proses yang dilakukan tidak pantas dan benar di mata hukum. Terhadap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh keluarga ter­duga tersebut, maka Pengurus Pemuda Katolik Komisariat Cabang Maluku Tenggara memiliki kajian sebagai berikut.

Pertama, menemukan bahwa ke­luarga pelapor dan keluarga terduga pelaku kekerasan seksual Hanubun, telah melakukan penyelesaian diluar ketentuan yang berlaku, sehingga melanggar Pasal 23 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tin­dak Pidana Kekerasan Seksual, yang berbunyi:

“Perkara Tindak Pidana Kekera­san Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses pera­dilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang.”

Pada poin ini, Pemuda Katolik ber­pendapat bahwa penyelesaian per­kara diluar proses peradilan yang di­la­kukan dalam kasus dugaan keke­rasan seksual ini, telah mencederai semangat lahirnya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dalam penerapan Undang-undang ini kedepan akan menjadi contoh kasus dan praktek jahat yang bisa digunakan oleh setiap individu maupun kelompok untuk menghin­dar dari jeratan hukum, terutama bagi mereka yang mempunyai kedu­dukan tinggi dan kekuasaan.

Selain itu, kasus pelecehan sek­sual yang dialami oleh pelapor saat ini, hendaknya dipahami bukan ha­nya dialami oleh pelapor dan ke­luarganya saat ini saja, melainkan juga akan dialami oleh perempuan-perempuan lain pada kasus keke­rasan seksual dengan kondisi yang berbeda, sehingga upaya hukum tetap harus dilaksanakan agar terda­pat keadilan dalam penanganan ka­sus kekerasan seksual.

Yang berikutnya, penyelesaian kasus dugaan pelecehan seksual me­lalui jalur kekeluargaan, adat, bu­daya dan agama pada kasus dugaan pe­lecehan seksual oleh Hanubun, te­lah bertentangan dengan substansi penerapan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang ber­tujuan, untuk melaksanakan penega­kan hukum dan melakukan rehabi­litasi kepada pelaku agar tidak lagi melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 point c Undang-un­dang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

“Substansi dalam Undang-un­dang Tindak Pidana Kekerasan Sek­sual bertujuan untuk mencegah se­gala bentuk kekerasan seksual, mena­ngani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, me­wujudkan lingkungan tanpa ke­kerasan seksual dan menjamin keti­dak berulangan kekerasan seksual,” ujarnya.

Pada poin ini, pemuda katolik berpendapat bahwa jika di kemudian hari, negara melalui aparat penegak hukum tidak mampu menerapkan Undang-undang ini, maka pelaku masih mempunyai kesempatan untuk melakukan perbuatan yang sama karena tidak menjalani proses rehabilitasi.

Pemuda Katolik menemukan bah­wa dalam kasus dugaan pelecehan seksual ini terdapat kelompok atau orang per orang yang dengan se­ngaja mencegah, merintangi dan menggagalkan proses penyidikan yang sedang berlangsung di Polda Maluku. Tindakan dan perbuatan tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 19 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang berbunyi:

“Setiap Orang yang dengan se­nga­ja mencegah, merintangi, atau meng­gagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penun­tu­tan, dan/atau pemeriksaan di si­dang pengadilan terhadap tersang­ka, terdakwa, atau Saksi dalam per­kara Tindak Pidana Kekerasan Sek­sual, dipidana dengan pidana penja­ra paling lama 5 (lima) tahun,” rincinya.

Pada poin ini, Pemuda Katolik mengharapkan, semua pihak ter­masuk keluarga pelapor agar koo­peratif dan menghargai proses penyidikan yang sampai ini masih berlangsung di Polda Maluku.

Kajian Adat Kei

Dalam tatanan kehidupan masya­rakat adat di Kepulauan Kei, peng­hormatan terhadap harkat dan martabat perempuan berkiblat pada peristiwa perjalanan Nen Dit Sakmas, seorang tokoh perempuan yang mempunyai peran besar dalam sejarah lahirnya hukum Adat Larvul.

Bupati Maluku Tenggara sebagai pencetus lahirnya peringatan hari Nen Dit Sakmas, dianggap tidak dapat memelihara nilai-nilai luhur Nen Dit Sakmas, karena saat ini beredar rekaman elektronik yang menunjukkan sikap tidak etis yang dilakukan oleh Bupati Maluku Teng­gara, ditambah lagi dengan banyak­nya pemberitaan dan media sosial yang menyorot kasus dugaan pelecehan seksual oleh terduga.

Pemuda Katolik sangat mendu­kung upaya dan langkah yang di­ambil oleh Bupati, Thaher Hanubun dalam melestarikan adat dan budaya Kei dengan menetapkan tanggal 7 September sebagai peringatan hari Nen Dit Sakmas, namun dengan adanya kasus ini kami menganggap peringatan hari Nen Dit Sakmas telah ternodai, Thaher Hanubun sebagai anak adat dan pemimpin daerah tidak memberikan teladan yang baik bagi seluruh masyarakat Kabupaten Maluku Tenggara.

Sebagai Kepala Daerah dan juga Anak Adat Kei, Bupati Maluku Tenggara harusnya menjadi vuvu yab-yab (pelindung) dan tuur mado­man (pemberi petunjuk dan teladan). Dalam kasus ini, pemuda Katolik menyesali perbuatan yang dilaku­kan oleh bupati karena tidak men­cerminkan sikap pemimpin dalam adat Kei, yakni vuvu yab-yab dan tuur madoman.

Kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh terduga pelaku menjadi pelajaran dan pengingat bagi masyarakat adat Kei tentang, penghormatan terhadap harkat dan martabat perempuan seperti diatur dalam hukum Adat Larvul Ngabal Pasal 6 tentang Moryain fo Mahi­ling dan Sasa Sorfit Hukum Hanilit Larvul Ngabal.

Adapun Sasa Sorfit (tujuh lapis kesalahan) Hukum Hanilit, Hukum Larvul Ngabal melarang anak adat untuk melakukan : (a). Sis af (men­desis, memanggil dengan melam­baikan tangan). (b) Kifuk mat ko (bermain mata). (c) Ngis kafir, temar u mur (mencubit, mencolek). (d) En a lebak, humak voan (memeluk, meraaba, dan mencium).

Selanjutnya, (e) Envail, sig bara­ung, kom lavur (membalik, mengalas, dan meniduri). (f) Envel ef yan (hamil di luar nikah) (g) Manuu marai (membawa lari atau lari kawin).

Dengan ini pengurus Pemuda Katolik Komisariat Cabang Maluku Tenggara menyatakan sikap sebagai berikut :

(1) Mendukung Profesionalitas Polri yang terus konsisten dalam menuntaskan kasus dugaan pele­cehan seksual, sekalipun telah dilak­sanakan upaya damai antara keluarga pelapor dan keluarga terlapor.

(2) Mendesak Polda Maluku se­gera menggunakan kewenangannya dalam upaya untuk menghadirkan pelapor dan saksi yang sudah tidak kooperatif lagi dalam perkara ini.

(3) Mendesak Polda Maluku agar tegas mengambil tindakan hukum kepada semua pihak yang dengan sengaja menghalangi dan mengga­galkan proses penyidikan yang se­mentara berlangsung di Polda Malu­ku, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19 Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022.

(4) Meminta Gubernur dan DPRD Provinsi Maluku segera menyam­pai­kan usulan revisi UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022 kepada DPR RI karena terbukti telah gagal melindungi korban, karena masih ruang penyele­saian di luar proses peradilan pada kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di Kota Ambon.

(5). Meminta Pengurus Pusat Pe­muda Katolik melalui Bidang Pem­berdayaan Perempuan untuk meng­ambil peran aktif dalam mengawal kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di Kota Ambon.

(6). Mendesak Komnas Perem­puan segera membuat laporan resmi kepada Presiden RI, Ir. Joko Widodo tentang dugaan pelecehan seksual yang terjadi di Kota Ambon, mengingat terduga pelaku saat ini adalah bupati aktif di Kabupaten Maluku Tenggara.

(7). Meminta perhatian serius Ka­polri, Jenderal Listyo Sigit untuk memantau dan mengawal proses penyidikan di Polda Maluku agar tetap berjalan sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku.

(8). Mendesak Dewan Adat Ur Siuw-Lor Lim segera mengambil peran aktif dalam upaya penye­lesaian masalah Bupati Maluku Tenggara karena telah menjadi isu nasional yang berdampak tidak baik bagi nama baik daerah yang kita cintai bersama ini.

Pelapor Hambat

Seperti diberitakan sebelumnya, Ditreskrimum Polda Maluku telah berupaya maksimal mengungkapkan kasus dugaan pelecehan seksual Bupati Maluku Tenggara, M Taher Hanubun.

Kabid Humas Polda Maluku, Kombes M Rum Ohoirat menjelas­kan, penyidik Ditreskrimum Polda Maluku telah melakukan gelar perkara kasus dugaan kekerasan seksual dengan terlapor Bupati Maluku Tenggara, MTH.

Gelar perkara tersebut dipimpin Irwasda Maluku, Kombes Pol Mar­thin Hutagaol. Turut hadir Direktur Reskrimum, Kabid Humas dan pe­jabat lainnya beserta para penyidik, di Mapolda Maluku, Rabu (13/9).

Kabid Humas mengungkapkan, sejak dilaporkan di SPKT Polda Maluku, perkara itu langsung dita­ngani sebagaimana laporan-laporan polisi lainnya.

Polda Maluku menepis asumsi dan opini yang mengatakan Polda lambat, karena sejak awal penyidik PPA langsung bertindak berdasar­kan protap dan tahapan penanganan kasus sesuai UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

“Penanganan juga dilakukan de­ngan melibatkan langsung Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Anak yang menunjuk saudari Otte Patty dalam pendampingan terhadap pela­por,” ujar Kabid Humas dalam rilisnya kepada Siwalima, Rabu (13/9) malam.

Kapolda sejak awal, lanjut Kabid, mengingatkan dan menekankan agar semua ditangani dengan transparan, sesuai aturan hukum dan menghar­gai hak hukum baik pelapor maupun terlapor.

Selanjutnya, setelah dilaporkan pelapor pada Jumat (1/9), penyidik langsung melanjutkan dengan pemeriksaan visum et repertum ke Rumah Sakit Bhayangkara Ambon. Pelapor selanjutnya dilakukan wa­wan­cara oleh penyidik.

Selanjutnya, pada Sabtu (2/9) di­ter­bitkan surat perlindungan semen­tara kepada pelapor yang berlaku selama 14 hari. Penyidik langsung me­lakukan perlindungan dan pen­dam­pingan kepada TSA atau pelapor.

Setelah itu, lanjut Kabid, penyidik melakukan beberapa hal yaitu  Senin (4/9) membuat administrasi penyeli­dikan, membuat surat undangan kepada empat saksi; dan penyidik berencana membawa pelapor mela­kukan visum psikiatrikum, namun pelapor dalam kondisi sakit sehi­ngga tidak dapat dilaksanakan.

“Pada hari Selasa (5/9) saksi-saksi yang diundang tidak memenuhi un­dangan. Penyidik juga membuat surat kepada RSKD Ambon untuk pelaksanaan visum psikiatrikum terhadap pelapor,” jelasnya.

Kemudian pada Rabu (6/9) penyidik kembali membuat unda­ngan kedua kepada empat saksi untuk dimintai keterangan pada Jumat (8/9). “Pada tanggal 6 September ini penyidik juga menerima surat permohonan penca­butan laporan polisi dari pelapor TSA,” ungkapnya.

Kendati demikian, proses penye­lidikan terus berjalan. Pada Kamis (7/9) penyidik menjemput pelapor untuk membawanya menjalani pemeriksaan psikiatrikum (MMPI) di RSKD. Hasilnya invalid dan akan dilanjutkan pada tanggal (8/9) namun pihak keluarga meminta untuk dilaksanakan tanggal 9 September.

“Pada hari Kamis ini penyidik juga menyerahkan undangan wawancara klarifikasi kedua kepada 5 saksi dan pelapor,” tuturnya.

Dari undangan yang dikirim ter­sebut, lanjut Kabid Humas, pada Jumat (8/9) hanya kakak kandung pelapor yang memenuhi undangan wawancara klarifikasi. Sementara pelapor, hingga orang tuanya tidak hadir. Pemeriksaan kakak pelapor juga sudah dituangkan dalam Berita Acara Wawancara (BAW).

“Pada hari yang sama yaitu Jumat, kuasa hukum pelapor Malik Tuasamu menemui Kasubdit 4 Renakta Ditreskrimum Polda Maluku dan penyidik pembantu untuk menyerahkan surat pernyataan pelapor menolak melanjutkan pemeriksaan visum psikiatrikum,” ujarnya.

Di hari yang sama tersebut, sambung Kabid Humas, penyidik juga menyampaikan undangan wawancara klarifikasi kedua kepada 5 saksi dari pihak keluarga dan pelapor untuk hadir pada Senin (11/9) pukul 09.00 WIT.

Penyidik bahkan berkomunikasi dengan keluarga pelapor terkait pemeriksaan ulang tes psikiatrikum pada Sabtu (9/9). Namun menurut kakak kandung pelapor, adiknya itu (pelapor-red) tidak berada di rumah.

Alami Kendala

Dengan kondisi tersebut, Kabid Hu­mas mengaku penyidik memiliki sejumlah kendala diantaranya, be­lum diperiksanya para saksi terma­suk pemeriksaan tambahan kepada pe­lapor.

“Kendala lainnya yaitu belum dilanjutkannya pemeriksaan psi­kiatri terhadap pelapor karena pela­por melalui pengacara mengajukan surat pernyataan menolak dilakukan pemeriksaan psikiatrikum lanjutan,” katanya.

Selain itu, hingga saat ini penyidik tidak dapat berkomunikasi dengan pelapor karena pihak keluarga tidak mau mempertemukan. Sehingga sampai saat ini penyidik tidak mengetahui keberadaan pelapor.

Dalam memproses kasus tersebut, Kabid Humas menegaskan penyidik juga memperhatikan ketentuan Undang-Undang TPKS yaitu Pasal 22 antara lain menyebutkan penyidik, penuntut umum dan hakim melakukan pemeriksaan terhadap saksi, korban tetap menjunjung tinggi HAM, kehormatan, martabat tanpa intimidasi.

Polda Maluku, lanjut Ohoirat, sedari awal ingin mengungkap kasus ini secara terang benderang. Namun Polda juga menyayangkan pelapor mencabut laporannya dan sudah tidak lagi kooperatif dalam proses-proses hukum yang sementara berjalan.(S-26)