Efektivitas Komunikasi Penanganan Pandemi dan Pemulihan Ekonomi
VIRUS covid-19 yang mewabah sejak awal 2020 telah menginfeksi banyak masyarakat dunia. Khusus di Indonesia, berdasarkan data Satuan Tugas Nasional Penanganan Covid-19, pasien positif yang tercatat sejak kasus pertama hingga 17 Desember 2020 berjumlah 643.508. Pasien yang masih menjalani masa perawatan 97.139 kasus, atau 15,1% dari pasien terkonfirmasi. Sementara itu, jumlah pasien sembuh terus bertambah menjadi 526.979 orang, atau meningkat menjadi 81,9%. Pandemi tidak hanya berdampak terhadap kesehatan masyarakat, tetapi juga memukul perekonomian nasional dan 214 negara lainnya di dunia. Aktivitas sosial dan ekonomi domestik menurun sebagai dampak kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), untuk mencegah penyebaran covid-19. Konsumsi rumah tangga, jasa, dan investasi, serta ekspor-impor melambat. Berdasarkan rilis BPS pada Agustus 2020, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II mengalami kontraksi atau minus 5,32% (yoy).
Turun sangat dalam jika dibandingkan dengan capaian triwulan I 2020 sebesar 2,97% (yoy). Namun, bauran kebijakan pemerintah bersama pemerintah daerah melalui berbagai stimulus, membuat pertumbuhan ekonomi triwulan III 2020 membaik. Kondisi tersebut tentu saja didorong meningkatnya realisasi stimulus pemerintah serta mulai membaiknya mobilitas masyarakat dan permintaan global. Kontraksi pertumbuhan ekonomi berkurang menjadi 3,49% (yoy). Ada harapan. Upaya extraordinary Demi mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional dan menyelamatkan perekonomian dari potensi krisis yang berdampak multidimensi pada aspek kesehatan, sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat, perlu upaya extraordinary.
Pemerintah menyiapkan program dan kebijakan, serta memastikan program dan kebijakan tersebut terealisasi di lapangan. Presiden Joko Widodo, pada 20 Juli 2020, membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, dengan menerbitkan Peraturan Presiden No 82/2020. Dengan adanya komite ini, penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional bisa dilakukan secara terstruktur, terkoordinasi, dan terintegrasi ke dalam satu kelembagaan yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai ketua. Menteri BUMN Erick Thohir ditugaskan sebagai ketua pelaksana dalam mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan, sedangkan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 tetap dipimpin Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Doni Monardo.
Kebijakan yang memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan masyarakat dilakukan pemerintah secara beriringan dengan upaya menjaga perekonomian agar tetap berjalan. Apalagi, ketidakpastian masih membayangi perekonomian global dan nasional hingga vaksin covid-19 disuntikkan kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui, pemerintah memberikan berbagai stimulus untuk jaring pengaman sosial dan membantu masyarakat yang terdampak ekonominya akibat pandemi covid-19. Di antaranya, bantuan paket sembako, bantuan sosial tunai, Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan langsung tunai (BLT) dana desa, dan insentif tarif listrik, seperti pembebasan tagihan, diskon listrik, penghapusan biaya minimum, dan penghapusan abonemen. Selain itu, ada juga kartu prakerja untuk karyawan yang terkena PHK dan pengangguran, bantuan subsidi gaji bagi karyawan swasta, dan restrukturisasi kredit. Bagi dunia usaha, pemerintah memberikan stimulus, seperti perpajakan, restrukturisasi kredit, kredit usaha rakyat (KUR), dan lainnya.
Di samping itu, tentu saja pemerintah mempercepat realisasi belanja yang sudah dialokasikan di APBN dan APBD sehingga aktivitas ekonomi bisa kembali menggeliat dengan kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Agar kebijakan dan program-program tersebut bisa terealisasi secara efektif dan tepat sasaran di lapangan, perlu sosialisasi terstruktur dan masif dengan memanfaatkan berbagai saluran komunikasi publik. Bahkan, harus sampai ke tingkat masyarakat di desa, nagari, dan kelurahan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) yang masih minim teknologi informasi dan komunikasi. Dalam berbagai kasus yang muncul, banyak data penerima program tidak terverifikasi dengan benar atau tidak valid. Lalu, jenis program, siapa sasaran, dan bagaimana mendapatkannya, sering tidak tersampaikan secara detail ke publik. Kondisi itu, kadang kala menimbulkan disinformasi di tengah masyarakat hingga viral di media sosial. Misalnya, pada masa pandemi ini saja masih ada kasus pekerja penerima bantuan langsung tunai (BLT) diminta mengembalikan dana yang ditransfer karena tak sesuai persyaratan dan warga mengembalikan BLT karena sudah mampu. Karena itu, tidak hanya media massa nasional, media lokal baik penyiaran maupun cetak harus diberdayakan dalam membantu pemerintah melakukan sosialisasi, sekaligus pengawasan program penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi. Keberadaan media tersebut lebih dekat dan selama ini jadi saluran informasi masyarakat hingga ke desa, nagari, dan kelurahan, sedangkan untuk keterbukaan informasi program dan kebijakan lebih transparan serta menghindari benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, pemerintah mesti melibatkan institusi, seperti Komisi Informasi dan Ombudsman di daerah.
Peran humas dan dinas kominfo pemda yang selama ini lebih banyak menangani komunikasi kepala daerah perlu dioptimalkan perannya dalam menyosialisasikan aturan dan penanganan pandemi. Begitu pula dengan humas kementerian, terkait yang perlu dikoordinasikan Kementerian Kominfo sehingga bisa terkoordinasi dengan baik dalam menyampaikan informasi ke publik. Website dan saluran media sosial harus diaktifkan sebagai saluran penyampai informasi sekaligus clearing house dalam menyaring informasi tidak benar atau hoaks di dunia maya. Optimal Perangkat pemerintah daerah hingga ke tingkat desa, nagari, dan kelurahan harus dilibatkan secara optimal. Agar lebih fokus, perlu dibentuk satgas yang memastikan program dan kebijakan pemerintah untuk pemulihan ekonomi sampai ke masyarakat sasaran, sedangkan tugas mengatasi pandemi, sudah ada satgas di tingkat kabupaten dan kota serta provinsi untuk memastikan protokol kesehatan berjalan di masyarakat, kantor-kantor, dan dunia usaha. Satgas di tingkat desa, nagari, dan kelurahan tersebut sangat penting dibentuk karena aparatur di tingkat bawah itu lebih tahu dan mengenal lebih dekat warga yang belum terdata sebagai sasaran penerima bantuan. Begitu pula jika ditemukan warga yang secara aturan tidak layak menerima bantuan, mereka bisa memverifikasi ulang secara cepat.
Keberadaannya bisa pula meminimalkan terjadinya konflik sosial karena mereka dekat dengan tokoh agama dan adat setempat. Namun, mereka harus diberikan bimbingan teknis yang komprehensif sehingga benar-benar memahami kebijakan dan program pemerintah serta mampu menjelaskannya kepada masyarakat. Sebagai negara besar dan memiliki teknologi mumpuni, sudah semestinya Kementerian Kominfo bersama Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri membuat suatu sistem database penerima bantuan pemerintah yang bisa diakses secara online dan offline. Sistem tersebut memungkinkan masyarakat mengetahui apakah mereka terdaftar sebagai penerima bantuan atau tidak. Bagi yang sudah mampu bisa menghapus data mereka dari daftar penerima bantuan hanya dengan memasukkan NIK beserta user dan password. Semudah mengakses e-mail. Belum masuknya warga dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang selama ini sering disoal, juga bisa teratasi. Salah satu kota yang sudah memiliki sistem itu dan sudah diterapkan dengan baik dalam penyaluran bantuan di masa pandemi ini ialah Padangpanjang, Sumatra Barat.( Yuliandre Darwis, Ketua Dewan Pakar Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI))
Tinggalkan Balasan