AMBON, Siwalimanews – Dua kali jaksa menjebloskan pengusaha Ferry Tanaya dan Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kabupaten Buru, Abdul Gafur Laitupa ke Rutan Kelas IIA Ambon, Senin (26/4).

Tanaya dan Laitupa resmi di­tahan Kejaksaan Negeri (Kejari) Namlea dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTMG) 10 MV milik PLN di Kabupaten Buru.

Tanaya dan Laitupa sebe­lumnya ditahan Kejati Maluku pada Senin, 31 Agustus 2020 lalu. Keduanya ditahan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap atau P-21.

Kepala Kejati Maluku, Rorogo Zega menegaskan, penahanan ter­hadap Tanaya dan Laitupa se­telah penyidik Kejati Maluku me­nyerahkan kedua tersangka be­serta barang bukti berupa kerugian negara Rp 6,8 miliar kepada Jaksa Penuntut Umum Kejari Buru.

“Kasus ini sudah bergulir sejak tahun 2018 setelah proses pan­jang, akhirnya sudah dirampung­kan penyidikannya oleh penyidik, dan sudah diserahterimakan ke Kejari Buru untuk selanjutnya di­lakukan penahanan selama 20 hari di Rutan Ambon,” jelas Kajati kepada sejumlah wartawan di aula Kejati Maluku, Senin (26/4).

Baca Juga: Bocah Lima Tahun Diperkosa di Semak-semak

Tanaya ditetapkan sebagai ter­sangka, kata Kajati, karena tidak memiliki hak menerima ganti rugi pada bidang tanah seluas 48.645 meter, mengingat status tanah ini adalah tanah Erfpacht dengan pemegang hak almarhum Zadrach Wakano.

“Pemegang hak atas nama Zadrach Wakano meninggal di tahun 1981, yang selanjutnya di tahun 1985 dibuat transaksi oleh ahli waris dari Zadrach Wakano kepada Tanaya,” ujar Kajati.

Dijelaskan, sesuai ketentuan UU tanah Erfpacht tidak bisa dipindah tangankan, baik kepada ahli waris atau pihak lain. Setelah  pemegang hak meninggal, maka selesai su­dah hak atas tanah itu dan dikem­balikan haknya ke negera, karena yang berhak menkonfersi tanah ter­sebut hanya pemegang hak, ti­dak bisa dikonfersi oleh orang lain.

Berdasarkan ketentuan tersebut, lanjut Kajati, maka transaksi jual beli ahli waris Wakano dan Tanaya batal secara hukum dan status tanah tersebut tidak bisa beralih ke Tanaya.

“Kita mengikuti perintah UU dan Tanaya  tidak miliki hak untuk ganti rugi bidang tanah seluas 48.645 meter persegi senilai Rp 6.081.722. 920. Sebenarnya ada batas waktu 20  tahun dari tahun 1960 sejak UU pokok Agraria untuk lakukan konfersi artinya hak itu selesai di tahun 1980 dan pemilik hak sudah meninggal, sehingga tidak dapat diwariskan, Tanah ini sudah dikuasai negara kemudian dijual, otomatis transaksi ini tidak bisa dibenarkan atau batal secara hukum,” jelas Kajati.

Usai keterangan pers, Tanaya dan Laitupa yang menggenakan rompi tahanan berwarna orange langsung digiring ke mobil tahanan yang telah disediakan di depan ha­laman Kantor Kejati untuk selan­jutnya dibawa ke Rutan Ambon.

Pernyataan Kajati Menyesatkan

Sementara itu, Kuasa Hukum Ferry Tanaya, Hendri Lusikooy Per­nyataan yang disampaikan Kajati Maluku Rorogo Zega yang menya­takan status tanah erfpacht tak bisa dipindah tangankan merupakan pernyataan yang menyesatkan.

Pernyataan itu disampaikan kajati saat menyampaikan kete­rangan persnya saat penyerahan tersangka kasus pengadaan lahan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga mesin gas 10 MV milik PLN tahun 2016 di Dusun Jiku Merasa, Desa Namlea Kabupaten Buru, Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa, Senin (26/4)

Lusikooy menilai, penyataan kajati ini tidak ada landasan hukum yang jelas, sebab tidak ada UU manapun yang menyatakan tanah hak barat atau erfpacht tidak bisa wariskan.

“Kalau ada UU itu silahkan pihak kejati tunjukan undang undangnya, ini kan hanya tafsiran yang tidak ada landasan hukum, untuk itu pernyataan ini menyesatkan,” tandas Lusikooy.

Ia juga menyayangkan pernya­taan kajati soal proses perdata Ferry Tanaya yang berlangsung di PN Namlea. Dimana kajati me­nyebutkan tidak ada sengketa milik, yang ada hanya pidana korupsi yang di nilai mereka.

Padahal dengan sadar kajati sendiri mengaku sebagai tergugat II dalam perkara tersebut.

“Kajati kan mengaku sebagai tergugat II dalam gugatan yang sementara berjalan di PN Namlea, nah disatu sisi kejati mengatakan kasus lebih ke perbuatan tindak pidana korupsi  bukan sengketa milik, kalau bukan sengketa milik terus kenapa Ferry Tanaya dite­tapkan sebagai tersangka? Kan objek perkara saat ini adalah lahan yang prosesnya sementara ber­proses di PN Namlea,” ungkap Lusikooy dengan nada kesal.

Dalam perkara ini, lanjutnya, Ferry Tanya dikriminalisasi, karena analisa yang dibuat tidak didasari aturan hukum, apalagi kajati mengklaim tanah tersebut kini merupakan tanah negara.

“Tanah negara adalah tanah yang belum dilengkapi hak, lalu tanah hak barat yang tidak di konfersi dikuasai negara bukan dimiliki negara yang dalam hal ini adalah pihak Pertanahan,  karena mengacu pada UU Agraria, jika status ahli waris memenuhi syarat, maka hak itu bisa saja diberikan,” katanya. (S-45)