Diusut 2 Kapolres 3 Kasat Reskrim
SPPD Fiktif Pemkot Belum Juga Tuntas
AMBON, Siwalimanews – Kasus surat perintah perjalanan dinas (SPPD) fiktif Pemkot Ambon tahun 2011 sudah ditangani dua Kapolres dan tiga Kasat Reskrim, namun belum juga tuntas.
Kasus ini mulai diusut Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease sekitar Mei 2018. Saat itu Polres Ambon dipimpin AKBP Sutrisno Hadi Santoso. Kasat Reskrim dijabat AKP Rival Efendi Adikusuma.
Di tangan Rival, penanganan kasus SPPD fiktif Pemkot Ambon naik status dari penyelidikan ke tahap penyidikan.
Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kemudian dikirim ke Kejari Ambon pada Agustus 2018. SPDP tertanggal 22 Juli 2018 itu, diteken oleh Kapolres AKBP Sutrisno Hadi Santoso.
Disaat kasus SPPD fiktif Pemkot Ambon belum tuntas, AKP Rival Efendi Adikusuma dimutasikan dan digantikan oleh AKP Gilang Prasetya. Tak lama kemudian, AKBP Sutrisno Hadi Santoso dimutasikan.
Baca Juga: Kecelakaan Maut di Tawiri Tewaskan Pegawai Kantor PosKombes Leo Surya Nugraha Simatupang menggantikan Sutrisno Hadi Santoso. Sedangkan AKP Mido J Manik menduduki posisi AKP Gilang.
Kehadiran Kombes Leo Surya Nugraha Simatupang dan AKP Mido J Manik yang diharapkan secepatnya menuntaskan kasus SPPD fiktif Pemkot Ambon, ternyata jauh dari harapan. Kasus ini malah terkesan didiamkan.
Polresta Ambon kembali melakukan pemeriksaan kasus ini, setelah mendapat kritikan berbagai kalangan. Itupun berjalan tidak transparan.
Sejumlah pejabat Pemkot Ambon dicecar penyidik Satreskrim Polresta Ambon pada Selasa (27/10).
Para pejabat yang dipanggil penyidik diantaranya, mantan Kadis Perikanan Kota Ambon Piet Saimima, mantan Kepala Bappeda Kota Ambon, Dominggus Matulapelwa dan mantan Kadis Tata Kota Ambon Novel Masuku.
Sumber di Polresta Ambon menyebutkan, mereka mendatangi Polresta Ambon sekitar pukul 10.00 WIT, dan dicecar puluhan pertanyaan.
“Iya jadi para pejabat itu hadir di ruang Satreskrim untuk menunjukan atau memasukan bukti-bukti pengembalian dan penggunaan anggaran perjalanan dinas tahun 2011. Kehadiran mereka itu untuk mengklarifikasi,” kata sumber itu kepada Siwalima, yang meminta namanya tak dikorankan.
Sumber itu mengatakan, ada pejabat yang sudah diperiksa beberapa waktu lalu, namun dipanggil lagi. “Ada yang sudah diperiksa, lanjut lagi hari ini, karena belum selesai,” ujarnya.
Menurutnya, masih ada lagi saksi-saksi dari Pemkot Ambon yang akan dipanggil. “Pasti adalah, saya tidak bisa sebutkan, ikuti saja ya,” tandasnya.
Kapolresta dan Kasat Reskrim sudah beberapa kali hendak ditemui untuk mengkonfirmasikan perkembangan penanganan kasus SPPD fiktif Pemkot Ambon, namun sulit ditemui, dengan alasan sibuk. Dihubungi melalui telepon seluler hingga Selasa (3/11), juga tak direspons.
Bantah Terlibat
Walikota Ambon, Richard Louhenapessy membantah terlibat kasus SPPD fiktif tahun 2011.
Louhenapessy kepada wartawan di Balai Kota, Selasa (3/11) menegaskan, kasus SPPD fiktif terjadi tahun 2011. Saat itu dirinya baru menjabat walikota empat bulan. Karena itu, tak mungkin dirinya terlibat.
“Nggak ada, nggak ada sama sekali . You catat e, itu kasus SPPD itu tahun 2011 ya saya baru jadi walikota itu empat bulan, catat itu ya kalau orang sebut soal SPPD fiktif, saya jadi walikota itu baru empat bulan, oke. Jelas to,” tegas Louhenapessy dengan nada tinggi.
Louhenapessy mengatakan, kalau ada walikota yang baru menjabat empat bulan, dan terlibat korupsi, maka itu walikota yang paling goblok.
“Itu walikota yang paling goblok di dunia, itu kalau baru empat bulan jadi walikota sudah korupsi, mengerti ngga,” tandasnya dengan nada yang masih tinggi.
Ia menilai, pemberitaan soal kasus SPPD fiktif Pemkot Ambon tidak objektif, dan terkesan menyudutkannya.
“Jadi tulis itu objektif sedikitlah. Saya baru jadi walikota empat bulan, masa su pigi dengan SPPD fiktif bagaimana lai? tulis itu dengan hati,” tegasnya sambil meninggalkan wartawan.
Kendati membantah. Namun faktanya, walikota dipanggil dan diperiksa penyidik Satreskrim Polres Ambon. Ia diperiksa karena namanya masuk dalam daftar SPPD fiktif. Tak hanya itu, istrinya, Ny. Leberina Louhenapessy juga turut dicecar.
Walikota Diperiksa Dua Hari
Penyidik Tipikor Satreskrim Polres Pulau Ambon Pulau-pulau Lease, memeriksa Walikota Ambon, Richard Louhnapessy selama dua hari berturut-turut pada medio Mei 2018 lalu.
Walikota dicecar dengan 61 pertanyaan, terkait dugaan korupsi SPPD tahun 2011 di Pemkot Ambon senilai Rp 742 juta lebih.
Hari pertama, Senin (28/5), walikota tiba sekitar pukul 10.10 WIT, dengan mobil dinas Toyota Fortuner DE 1. Walikota tak datang sendiri. Ia dikawal ajudan serta lima pengawal pribadi berseragam safari.
Saat tiba, walikota yang mengenakan safari berwarna coklat langsung menemui Kapolres, AKBP Sutrisno Hady Santoso.
Sekitar 20 menit di ruang kapolres, ia lalu diarahkan ke ruang Unit IV Tipikor Satreskrim Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease.
Kasat Reskrim AKP Rival Efendi Adikusuma yang langsung memeriksa walikota, bersama Kanit Tipikor Bripka M Akipay Lessy.
Walikota dua periode ini diperiksa hingga pukul 14.00 WIT dengan 25 pertanyaan. Ia lalu meminta waktu untuk istirahat makan siang.
Sesuai agenda, pemeriksaan akan dilanjutkan usai makan siang. Namun ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga walikota meminta pemeriksaannya dilanjutkan pada Selasa (29/5).
Di hari kedua, Selasa (29/5), walikota datang lebih awal. Ia tiba sekitar pukul 09.00 WIT. Seperti hari pertama, ia dikawal oleh sejumlah pengawal pribadi.
Walikota yang mengenakan safari biru tua lengan pendek dicecar oleh Kasat Reskrim AKP Rival Efendi Adikusuma dan Kanit Tipikor Bripka M.Akipay Lessy hingga pukul 12.45 WIT, dengan 36 pertanyaan.
Saat dicegat wartawan, usai diperiksa walikota enggan berkomentar banyak. Ia hanya mengaku, dimintai keterangan soal dugaan SPPD fiktif.
“Cuma klarifikasi terhadap informasi soal perjalanan dinas tahun 2011,” katanya singkat.
Saat ditanya lagi soal pernyataannya, bahwa tidak ada SPPD fiktif tahun 2011, walikota tidak mau berkomentar. Ia langsung berjalan menuju mobil dinasnya, dan meninggalkan halaman Mapolres Ambon.
Istri Walikota Juga Diperiksa
Istri Walikota Ambon Ny. Leberina Louhenapessy juga diperiksa penyidik Tipikor Satreskrim Polres Pulau Ambon. Ia diperiksa Kamis (27/9), dan dicecar selama 3,5 jam.
Ny. Debby, sapaan akrabnya, juga terdaftar dalam perjalanan dinas saat itu bersama rombongan walikota.
Sebelumnya, Debby sudah dua kali tak memenuhi panggilan penyidik, dengan alasan nama yang ditulis dalam surat panggilan salah.
Debby mendatangi Polres Ambon sekitar pukul 09.45 WIT, dengan mobil kijang Innova silver berplat merah DE 1086 LM.
Dua ajudan yang mendampingi Debby, saat masuk langsung mengarahkan mobil ke arah kanan agar dekat dengan ruang satreskrim. Saat turun, Debby langsung diarahkan ke ruangan Kasat Reskrim, AKP Rifal Enfendi Adikusuma.
Mungkin istri walikota, sehingga Debby diistimewakan. Ia tidak diperiksa di ruang unit tipikor, seperti saksi-saksi lainnya, namun di ruang kasat reskrim.
Alhasil, selama pemeriksaan Debby, aktivitas pelayanan reskrim kepada masyarakat terpaksa dilakukan di luar ruangan.
Debby mulai diperiksa pukul 10.00 WIT oleh penyidik Bripka Akipai Lessy, dengan puluhan pertanyaan.
Usai diperiksa sekitar pukul 13.30 WIT, Debby yang mengenakan blus abu-abu dan rok hitam, terlihat berjalan keluar dari ruang kasat. Dikawal salah satu ajudannya dan seorang polwan, langkah kaki Debby begitu cepat, karena menghindari wartawan. Ajudannya itu, berupaya menghalangi saat wartawan mengambil gambar.
Saat dicegat, Debby bungkam. Ia hanya menebar senyum, dan langsung buru-buru masuk ke mobil, dan dengan cepat mobilnya meninggalkan halaman Polres Ambon.
Sekot Dicecar 8 Jam
Sekot AG Latuheru dicecar tim penyidik Tipikor Satreskrim Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, Rabu (16/5) selama delapan jam lebih.
Latuheru diperiksa terkait kasus dugaan perjalanan dinas fiktif di Pemkot Ambon tahun 2011, yang diduga merugikan negara Rp 700 juta lebih.
Mantan Kepala Inspektorat Kota Ambon itu, mendatangi Mapolres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease dengan mobil dinas kijang innova hitam pukul 09.30 WIT, dan langsung menuju ke ruang penyidik.
Pemeriksaan mulai dilakukan pukul 10.00, dan baru selesai 18.30 WIT, dengan dicecar 23 pertanyaan.
Latuheru yang mengenakan pakaian dinas berwarna putih, terlihat agak tegang menjawab setiap pertanyaan penyidik.
Usai diperiksa, Latuheru diberikan kesempatan untuk membaca kembali berita acara pemeriksaan (BAP), sebelumnya menandatanganinya.
SPDP Dikirim ke Jaksa
SPDP kasus dugaan korupsi SPPD fiktif Pemkot Ambon tahun 2011 sudah di tangan Kejari Ambon sejak Agustus 2018. Lalu siapa saja yang ada dalam dokumen itu?.
Nama yang tertera dalam SPDP kasus yang merugikan negara lebih dari Rp 700 juta itu selama ini menjadi misteri.
Sumber Siwalima di Polres Pulau Ambon saat itu mengungkapkan, ada tiga nama yang disebutkan dalam SPDP tersebut, yaitu Walikota Ambon, Richard Louhenapessy, Sekretaris Kota Ambon, Anthony Gustaf Latuheru serta mantan Bendahara Pengeluaran Sekretariat Pemkot Ambon, Josias Aulele.
SPDP tertanggal 22 Juli 2018 itu, diteken oleh Kapolres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, AKBP Sutrisno Hadi Santoso.
“Jadi ada tiga SPDP, terpisah. SPDP walikota sendiri, sekot punya sendiri dan mantan bendahara juga sendiri,” kata sumber itu.
Sumber itu mengatakan, status ketiga pejabat Pemkot Ambon dalam SPDP tersebut, sebagai terduga. “Ketiga SPDP itu hanya bersifat umum, dalam kronologis kasus mereka sebagai terduga,” ungkapnya.
Sementara Kepala Kejari Ambon, Robert Ilat yang dihubungi Siwalima, melalui telepon selulernya, Sabtu (8/12) 2018, mengaku telah menerima SPDP kasus korupsi SPPD fiktif pemkot dari penyidik Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, beberapa waktu lalu. Namun SPDP itu hanya bersifat umum.
“Benar, kita sudah menerima SPDP terkait kasus dugaan korupsi SPPD fiktif tahun 2011 namun SPDP tersebut masih bersifat umum dan belum disebutkan calon tersangkanya,” ujar Ilat.
Ilat enggan berkomentar banyak terkait kasus ini, karena bukan kewenangannya. Kejari Ambon hanya menunggu pelimpahan berkas dari penyidik. “Prinsipnya, kita menunggu saja berkasnya dari penyidik untuk kita teliti,” katanya.
Dua Tahun Jaksa Tunggu
Sudah dua tahun lebih SPDP dikirim, namun berkas kasus ini belum juga dilimpahkan ke jaksa.
Kepala Kejari Ambon, Benny Santoso yang dihubungi Siwalima melalui telepon selulernya, Senin (2/11), mengatakan, kejaksaan sifatnya menunggu pelimpahan berkas dari penyidik Satreskrim Polres Ambon.
“Prinsipnya kami hanya menunggu. Kejaksaan siap apabila berkas perkara sudah ada,” ujarnya.
Sesuai aturan, lanjut Santoso, setelah SPDP dikirim penyidik, harus ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkaranya ke kejaksaan untuk dilakukan telaah atas kelengkapan formil dan materil terhadap perkara.
“Berkas perkara itu kan bagian dari perkara yang diawali dengan penyelidikan-penyelidikan. Jadi kami kapasitasnya sebagai penyidik akan menyusun formil perkaranya,” jelasnya.
Santoso mengaku tidak bisa banyak berkomentar banyak, karena berkas kasus SPPD fiktif masih di penyidik. “Berkasnya masih di penyidik, jadi tolong cek di penyidik saja,” tandasnya.
Minta Polisi Transparan
Akadmeisi Hukum IAIN Ambon, Nasaruddin Umar meminta Polresta Ambon transparan soal perkembangan penanganan kasus SPPD fiktif Ambon.
Menurutnya, mestinya ketika SPDP sudah diberikan kepada kejaksaan maka Polresta harus memberikan informasi progres perkembangan kasus.
“Proses seperti ini harus dilakukan secara konsisten, transparan dan akuntabel supaya mewujudkan suatu proses penegakan hukum yang adil, bertanggung jawab dan transparan sebab jika berlama-lama maka masyarakat bisa saja mempertanyakan,” ujarnya.
Untuk menghindari penilaian, kalau ada main mata untuk mendiamkan kasus ini, kata Umar, maka penyelesaian kasus SPPD fiktif harus dilakukan secara profesional oleh kepolisian, apalagi sudah ada hasil audit kerugian negara oleh BPK.
Praktisi hukum Edo Diaz meminta Polresta Ambon menuntaskan SPPD fiktif Pemkot Ambon. Apalagi penyidik sudah mengantongi hasil audit kerugian negara. “Audit kerugian yang sudah diterbitkan seharusnya kasusnya jalan,” ujarnya.
Pegiat Antikorupsi sekaligus Koordinator Investigasi Lembaga Pemantau Pejabat Negara (LPPNRI) Maluku, Minggus Talabessy mengatakan, lambatnya penanganan kasus bisa menimbulkan kecurigaan bahwa ada intervensi dari pihak tertentu.
“Mungkin saja ada yang sengaja intervensi, entah itu dari pemerintah atau siapapun biar kasusnya tidak jalan,” ujarnya.
Dikatakan, semua orang sama di mata hukum. Tidak ada yang kebal. Karena itu, kasus ini harus segera dituntaskan. “Hukum tidak boleh tajam saja ke bawah, lalu tumpul ke atas,” tandasnya. (S-45/S-50/S-49)
Tinggalkan Balasan