Digitalisasi Perikanan
SILANG sengkarut tata kelola perikanan pada dua era kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan terakhir sebenarnya banyak didasari oleh persoalan data yang validitas dan keterandalannya perlu diuji. Kalau mau dibedah lebih dalam di setiap segmen, mekanisme data statistik yang delay 2 tahun sudah tidak cocok dengan sistem manajemen saat ini. Dalam semua hal selama ini, data yang operasional dan terbuka ke publik untuk manajemen tahunan ini adalah pencatatan dan eksekusi data 2 tahunan. Time lag yang terlalu lama untuk menghasilkan sebuah mekanisme perikanan presisi dan kebijakan yang tepat. Sebut saja data stok ikan.
Untuk pengaturan penangkapan, pertimbangan yang dibuat tahun ini bukan perhitungan year by year. Patokan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan (SDI) yang estimasinya tahun ini masih diukur pada threshold data rilis stok 2017. Dengan begitu, pertimbangan pengelolaan saat ini tidak mampu mengikuti dinamika perubahan stok dengan baik. Kemudian muncul potensi kegamangan dalam leg data yang panjang sehingga eksekusi kebijakan operasionalisasi tidak dapat berlangsung cepat dan akurat. Dalam perspektif budi daya juga memperlihatkan pola yang sama. Potensi daerah budi daya, pemanfaatan area budi daya, kapasitas produksi, efisiensi lahan, produktivitas juga masih mendapati leg data yang panjang. Data kebutuhan pakan, catatan produksi intensif yang relatif tercatat dengan baik. Sementara kemampuan daya dukung budi daya juga masih menyisakan persoalan.
Dalam hal pengolahan lebih juga tidak berbeda, data jumlah kebutuhan bahan baku, jumlah produk olahan, jumlah UMKM, jumlah industri besar, dan konsumsi ikan masih bersifat estimasi kasar. Bahkan tidak jarang demi mengejar target kinerja terjadi mekanisme ganda asumsi dasar dalam penetapan kriteria UMKM. Ada kriteria UMKM yang ditetapkan berdasarkan kapasitas pengolahan, kadang juga berdasarkan pada omzet. Akibatnya akan diperoleh perbedaan jumlah UMKM dalam kategori yang sama. Lebih parah lagi ketika menentukan tingkat konsumsi ikan. Penentuan tingkat konsumsi berbasis produk harus dipisah dengan jelas agar terekam data yang memang konsumsi riil ikan maupun konsumsi produk yang lain yang berbahan ikan seperti bakso ikan, pempek ikan, kerupuk ikan, dan lainnya. Ketika perhitungan konsumsi ikan menyertakan konsumsi produk turunan, kemudian mendorong data konsumsi ikan menjadi lebih besar.
Begitu juga data soal kebutuhan dan ketersediaan garam nasional. Supply and demand garam yang terputus karena ketiadaan neraca garam menjadi sinyal bahwa mekanisme pendataan produk pada tingkat petambak garam dan kebutuhan industri tidak sinkron. Satu hal yang menarik dari kesimpangsiuran data ini ialah munculnya kebijakan dari data yang tingkat keandalannya sangat lemah. Kebijakan ekspor lobster baru-baru ini, yang menyeret Menteri Kelautan dan Perikanan, kalau ditelaah lebih mendalam, ada sangkut pautnya dengan data yang lebih terukur. Potensi sediaan stok benih bening lobster (BBL) yang digunakan saat ini berasal dari estimasi stok 2016, yang rentang waktunya sudah mencapai 4 tahun. Akan lebih bagus kebijakan dibuat dengan basis data yang baru dan dapat diandalkan. Digitalisasi Memperhatikan lemahnya tata kelola data bidang perikanan dan kelautan yang kemudian sering menjadi biang disrupsi tata kelola termasuk ekonomi, maka menjadi sangat urgen untuk segera dilakukan pembenahan.
Menurut hemat penulis, pembenahan dan ketertelusuran data dapat dilakukan dengan beberapa langkah; 1) menyiapkan instrumen pendataan dengan baik dan benar, 2) meningkatkan kemampuan SDM yang menjadi ujung tombak pengumpulan, pengelolaan, sampai analisis data, 3) menyusun mekanisme ketertelusuran dan ketertelacakan data mulai dari sumber data, 4) melakukan sinkronisasi antarlembaga untuk termasuk sinkronisasi data yang dikelola pemerintah dengan pihak lain. Pertama, terkait instrumen pengumpulan data, saat ini seharusnya sudah bisa menggunakan aplikasi daring berbasis jaringan atau secara digital. Jenisjenis ikan hasil tangkapan harusnya sudah memiliki sistem databased ber-koding sehingga ketika pencatatan di tempat pelelangan ikan (TPI), tidak ada jenis yang tidak terdata. Mekanisme koding inilah kemudian yang membantu mempercepat deliver data ke sistem sentral untuk diproses sebagai data pencatatan aktual. Selanjutnya Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) sudah dapat menggunakan data tersebut untuk analisis kebijakan pada hari berikutnya. Kedua, terkait kualitas SDM yang harus ditingkatkan adalah tanggung jawab dalam mengumpulkan data di titiktitik pendaratan ikan.
Soal data bukan sekadar menjawab ada dan tiadanya data, tapi benar dan tidaknya data yang diinput. Selama ini praktik menyiapkan data di atas meja yang masih mewarnai sistem pendataan kita harus diakhiri. Untuk itu, SDM yang tidak bertanggung jawab dan memberikan atau mencatatkan data yang tidak valid, termasuk sikap korupsi data, harus diperangi. Ketiga, dalam ketertelusuran data sebenarnya sejalan dengan penguatan tanggung jawab SDM. Jika penempatan SDM pada titik sumber data sudah dilakukan dengan tanggung jawab, error yang terjadi juga akan terpantau dengan cepat sehingga proses evaluasi dapat dilakukan dengan cepat juga. Keempat, yang tidak kalah pentingnya ialah melakukan sinkronisasi data dengan berbagai pihak.
Baca Juga: Vox Point: Peristiwa Sigi Mengganggu Keutuhan NKRIBaik itu pemerintah daerah, pelaku usaha penangkapan, pembudi daya, pengelola logistik, pabrik pakan, sociopreneur dan milenial, perguruan tinggi, pabrik pakan, restoran dan hotel, maupun pasar modern. Sinkronisasi bukan untuk menukangi data, tetapi memastikan proses pencatatan pada proses produksi terukur sampai ke konsumen. Sengkarut tata kelola data perikanan, harus direspons cepat dengan digitalisasi. Kehadiran revolusi 4.0, sociopreneur dan kaum milenial harus dijadikan modalitas untuk memulai pembangunan perikanan presisi. Digitalisasi perikanan dan kelautan menjadi kata kunci yang disiapkan. Untuk itu, langkah ke depan yang perlu disiapkan pemerintah segera ialah mencari sosok nakhoda kelautan dan perikanan yang paham pentingnya data, akrab dengan RI 4.0 dan milenial, juga 4 memiliki semangat perubahan serta keluasan berpikir dan bertindak.
Sudah tidak saatnya kita mengorbankan rakyat banyak hanya karena perebutan pengaruh dan arah politik yang berbeda. Kementerian harusnya bebas dari beban politik sehingga tidak menyeret-nyeret proses pembangunan ke dalam ketidakpastian. Bukan soal dinamika, melainkan percepatan dan waktu yang tidak bisa balik jika kita ingin maju dan berubah menjadi bangsa lebih maju serta perikanan dan kelautan lebih jaya.( Yonvitner, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IP)
Tinggalkan Balasan