AMBON, Siwalimanews – Retribusi yang ditagih kepada pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Waiheru, Kecamatan Baguala Kota Ambon diduga illegal.

Pasalnya, retribusi yang ditarik oleh oknum Izack Molle tidak di­barengi dengan pemberian karcis.

Sikap dan tindakan Molle yang bertingkah preman ini sangat meresahkan para PKL.

Sebanyak 300 lebih PKL yang memiliki lapak dan kios di Pasar Perumnas Waiheru itu diwajibkan membayar retribusi tanpa diberi­kan bukti pembayaran berupa karcis.

Ilham, pedagang sembako me­ngaku, selama dua tahun lebih, tagihan retribusi dilakukan namun tidak pernah diberikan karcis bahkan untuk pembayaran pajak setiap bulannya, hanya diberikan kwitansi tanpa cap.

Baca Juga: Buru Mulai Berlakukan Jam Malam

“Kita hanya diberikan kwitansi untuk pembayaran pajak sebesar Rp 174 ribu pet bulan tanpa cap bahkan tanda tangannya pun berbeda-beda setiap bulan tanpa ditulis nama penerima.

Sementara pembayaran retri­businya sebesar Rp 5000 per hari tidak diberikan karcis,” tan­das Ilham, kepada Siwalima, Rabu (14/7).

Menurut Ilham, Molle itu orang dinas, kenapa tidak pakai pakian dinas bahkan saat laku­kan tagihan hanya memakai sendal, kacamata yang dileta­kan diatas kepala dan menggu­nakan celana pendek.

“Saat tagihan, dia juga men­catut nama kepala dinas dan dia orang suruhan dari dinas,” ujarnya.

Senada dengan itu Cilo, peda­gang kentang dan wortel me­nga­takan, ulah Izack Molle ini sangat meresahkan pihaknya, pasalnya Molle dalam melaku­kan penagihan retrtibusi ber­tingkah preman bahkan terke­san melakukan intimidasi apa­lagi saat PKL tidak berjual tapi tetap ditarik retribusi.

“Masa katong tidak bajual tapi ditarik retribusi, inikan aneh ? Kalau kemana uang-uang itu,” cetusnya.

Ia mencontohkan, untuk liburan Idul Fitri misalnya, walaupun tidak berjualan namun tetap ditarik retri­busi padahalkan kita libur karena hari raya.

Selain itu , Yano, pedagang kelapa dan sayur mengaku setiap harinya harus membayar retribusi Rp 18 ribu tanpa diberikan karcis.

Begitu juga dengan Arfin, peda­gang sembako. Arifin menuturkan, pada awal Pasar Waiheru mulai ber­operasi April 2019 lalu, PKL memba­yar retribusi untuk Pemkot Ambon Rp 2000, sampah Rp 2000, keamanan Rp 2000 kemudian ada kenaikan dari Disperindag Kota Ambon melalui UPTD menurut Izack Molle.

“Yang menjadi keluhan kita bahwa telah dilakukan kenaikan retribusi untuk Pemkot Rp 5000, sampah 2000 dan keamanan Rp 2000 tanpa dila­kukan sosialisasi tapi langsung di­naikan sepihak. Lalu kata Izack Molle, itu aturannya dari dinas, itu instruksi dari kepala dinas semen­tara kita sampai sekarang ini belum pernah ketemu dengan dinas, apa­lagi sampai saat ini Pasar Waiheru belum diresmikan,” tandasnya.

Arifin juga mempertanyakan kapasitas Izack Molle untuk mena­gih retribusi dari para pedagang. “Kita heran kenapa penagihan retribusi itu harus dilakukan oleh Izack Molle, kapasitas dia itu apa ? kita bayar retribusi setiap hari tapi tidak ada karcis. Contoh saja, kalau kita mau beli tiket kan diberikan bukti tiket tapi ini tidak ada, sehingga kami pertanyakan kemana uang-uang retribusi yang telah ditagih itu,” ujarnya.

Selain itu, kata dia, menurut Izack Molle, untuk ukuran kios ukuran 2×2,5 meter maka pajak yang harus dibayar setiap bulan itu Rp 155 ribu, sementara untuk kios ukuran 2×2 meter bayarnya Rp 102 ribu.

“Yang sangat disayangkan kalau pedagang tidak membuka lapak atau kios, tetap retribusi dibayar. Tidak pernah disosialisasi sebelumnya kepada para PKL,” terangnya.

Menanggapi hal itu, Ketua Aso­siasi Pedagang Kaki Lima (APKLI) Ambon, Sutan Marsida mengatakan, pada prisipnya pemerintah yang selalu mengklaim dirinya pemerintah namun tindakannya dengan cara preman, karena pertama, cikal bakal adanya Pasar Waiheru itu karena secara singkat berasal dari kemace­tan di Pasar Cokro kemudian peme­rintah pindahkan ke Pasar Perumnas dengan tujuan agar PKL punya tempat yang strategis dan jalur lalu lintas tidak menjadi penghalang lagi tetapi ketika digeser pada persoalan retribusi, ini yang menjadi ending permasalahannya, karena belum ada surat keputusan resmi terhadap PKL untuk membayar retribusi namun ada oknum pemerintah yang bekerja sama dengan preman untuk mela­kukan penarikan retribusi tanpa mensosialisasi besaran tagihan itu.

“Secara normatif belum diketahui pasar Waiheru ini, pasar tipe berapa, tipe satu, dua atau tiga, dari angka itu baru kita bisa tahu besar retribusi yang bisa ditarik dari para PKL,” tandasnya, kepada Siwalima, di Ambon, Rabu (14/7).

Kedua, kata Marsida, selama ini dalam praktek di lapangan dengan menggunakan identitas pemerintah atas nama Izack Molle dan Kepala UPTD Pasar Passo dan Halong, Merry Nanlohy, selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Izack Molle itu atas perintah dirinya maka tolong dijelaskan, bagaimana pemerintah memerintahkan preman, redaksi suratnya seperti apa ? dan jelas dari SK tidak ada secara nor­matif karena dia bukan ASN dan kalau dia dari lembaga maka mana itu MoU-nya.

“Ini merupakan kejahatan yang sudah terstruktur jauh sebelumnya,” tegasnya.

Kemudian ketiga, selama ini pela­yanan yang dinahkodai oleh Merry Nanlohy yang mengaku selaku kepala UPTD padahal hanya sebatas UPTD Passo dan Halong, selalu mengklaim punya kantor di Pasar Waiheru, sementara keberadaan kantor di Pasar Waiheru itu hanya gudang yang datang untuk meng­ambil upeti dari Pasar Waiheru tanpa ada pelayanan bagi PKL.

Keempat, karena adanya kejenu­han dari PKL maka timbulah hal-hal yang tidak diinginkan. “Pedagang merasa mereka bagian dari APKLI sehingga mereka mela­porkan hal ini kepada APKLI dan setelah dilaku­kan investigasi ter­nyata benar ada­nya laporan terse­but,” jelasnya.

Dikatakan, pihaknya mencoba mencegah ini supaya terhenti agar ada solusi yang baik namun bukan ada solusinya tetapi justru Nanlohy memanggil sekutunya yang bukan ASN, bukan pegawai tetapi preman-preman baik penagih parkiran, keamanan dan retribusi untuk memback up dirinya sehingga itulah yang selama ini terjadi

Jangan kemudian lalu ia mengem­balikan semua fakta bahwa cikal bakal dari kejadian tersebut karena tidak membayar retribusi tetapi justru karena adanya pembayaran retribusi yang tidak jelas.

Kelima, ketika pencegalan itu ter­ja­di Nanlohy kemudian membangun komunikasi dengan pemerintah desa dan pemerintah desa mencoba me­nginisiasi dan mengundang semua komponen yang ada termasuk APKLI, padahal apa hubungannya pemerin­tah desa, jangan sampai kepentingan yang besar ini, masalah yang begitu besar ini dititip oleh desa, dimana pertanggung jawaban pemerintah dalam hal ini Kadis. “Selama ini UPTD selalu mengaku kalau semua ini perintah kadis maka saya minta kadis harus jelas untuk melacaknya kemu­dian mengevaluasi Nanlohy karena saat ini PKL sementara siapkan bukti untuk menempuh jalur hukum melalui Kejari Ambon,” tandasnya. (S-16)