AMBON, Siwalimanews – Bupati Maluku Tenggara H.M Thaher Hanubun, dilaporkan ke Polda Maluku, karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap wanita 21 tahun ber­inisial TSA.

Sebagaimana dilansir Siwalimanews, pelecehan terjadi di Cafe Agnia, milik Hanubun, yang terletak di kawasan Air Salobar, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.

Tak terima atas perlakuan Bupati Hanubun, korban  yang merupakan kar­­yawan cafe tersebut memilih melaporkan perbuatan majikannya itu ke Polda Maluku.

Laporan dilayangkan TSA Jumat (1/9) sore di SPKT Polda Maluku.

Usai pelaporan, korban diarahkan menuju Subdit PPA Ditreskrimum Polda Maluku  untuk menjalani pemeriksaan lanjutan.

Baca Juga: Lahan Eks Hotel Anggrek Kembali Digugat

Belum diketahui secara pasti kro­nologis serta pelecehan seksual yang dialami korban.

Korban dan keluarganya, maupun polisi belum mau buka mulut terkait kronologis kasus itu.

Namun begitu, Dirkrimum Polda Maluku, Kombes Andri Iskandar membenarkan adanya laporan tersebut.

Hanya saja dirinya enggan ber­komentar lebih jauh lantaran kasus itu masih diselidiki. “Pelapor sudah dimintai keterangan,” jelas Iskandar singkat.

Dorong Proses Hukum

Direktur Yayasan Peduli Inayana Maluku (YPIM), Othe Patty men­dorong penyidik Polda Maluku untuk menuntaskan dugaan pele­cehan seksual yang dilakukan Hanubun.

“Ini adalah kasus pelecehan yang dilakukan seorang pejabat negara, karenanya kami mendorong polisi agar dapat menuntaskan kasus ini sesuai dengan prosedur perundang-undangan,” tandas Patty, kepada Siwalima, melalui telepon selulernya, Sabtu (2/9).

Hal ini ditegaskan Patty menyusul adanya upaya penyelesaian kasus ini secara kekeluargaan.

“Kasus pelecehan seksual tidak bisa diselesaikan  secara kekeluar­gaan karena berdasarkan UU TPKS penyelesaian kasus pelecehan seksual bisa dilakukan.  Ini pidana murni yang tidak bisa digugurkan begitu saja,” tegasnya.

Menurutnya, pendekatan secara kekeluargaan tidak bisa dijadikan sebagai jalan keluar penyelesaian kasus kekerasan seksual karena selain kurang bisa melindungi korban, ini akan mengakibatkan munculnya pemikiran atau anggap­an bahwa apa yang dilakukan pelaku bisa diselesaikan dengan hanya ganti rugi dan pelaku kembali bebas. Apalagi kasus ini dilakukan oleh seorang pejabat publik.

“UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam pasal 23 menyatakan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang,” bebernya.

Sebagai kuasa hukum korban, Patty mengaku, telah melaporkan kasus ini ke Komnas Perempuan dan telah mendapatkan dukungan yang luar biasa termasuk dukungan dari kalangan aktivis perempuan di Maluku.

“Aktivis perempuan juga sangat konsen terhadap kasus ini dan mereka akan memberikan dukungan dan perlindungan hukum terhadap korban,” ujarnya.

Harus Dikawal

Terpisah, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Latuconsina, menegaskan, dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Hanubun, tak bisa diselesaikan melalui jalur restorative justice.

Kepada Siwalima, melalui telepon selulernya, Sabtu (2/9), Latuconsina mengatakan, kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang pejabat publik atau tokoh publik, sama sekali tidak dibenarkan.

Restorative justice jelasnya, adalah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang berfokus pada pemulihan, rekonsiliasi, dan restorasi hubungan yang rusak akibat tindakan kriminal.

“Pendekatan ini menekankan upa­ya untuk mengatasi akar masalah dan dampak psikologis, sosial, dan emosional yang dihasilkan oleh tindakan kriminal, baik bagi korban, pelaku, maupun masyarakat secara keseluruhan. Dimana prinsip utama­nya adalah menggeser fokus dari hukuman dan pembalasan semata kepada penyelesaian masalah dan pemulihan,” bebernya.

Latuconsina bilang, dalam pende­katan restorative justice, terjadi dialog antara korban, pelaku, dan ko­munitas untuk membahas konse­kuensi tindakan kriminal dan mencari solusi yang sesuai untuk semua pihak.

“Seperti permintaan maaf, resti­tusi, atau tindakan lain yang membantu memperbaiki dampak tindakan tersebut. Pendekatan ini berusaha untuk mendorong per­tanggungjawaban dan belajar dari kesalahan, sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat peng­ulangan kejahatan,” lanjutnya.

Dia menjelaskan, bahwa Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, ditujukan bagi setiap orang dan korporasi tanpa terkecuali, dan terdapat pemberatan atau penam­bahan 1/3 hukuman pidana seba­gaimana disebutkan dalam pasal 15 ayat (1) huruf c.

Artinya, ini untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan me­mulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabi­litasi pelaku, lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual tersebut.

“Kasus ini harus dikawal, sebab terduga pelaku adalah pejabat publik yang tidak menutup ke­mungkinan dapat mempengaruhi akses keadilan terhadap korban dan pandangan aparat penegak hukum serta masyarakat, dengan alibi bahwa peristiwa yang terjadi bukanlah kekerasan seksual. Nanti yang terjadi impunitas terhadap pejabat publik tersebut, namun terhadap korban, tidak terpenuhi hak atas keadilan dan kebenaran serta pemulihannya. Oleh sebab itu, untuk mencegah hal ini terjadi, UU TPKS itu harus diterapkan,” tegas mantan Wakil Walikota Ambon itu.

Ditanya pandangan jika suatu ketika korban kembali menarik laporannya dengan alasan penye­lesaian secara kekeluargaan, La­tuconsina sekali lagi menegaskan, bahwa untuk kasus kekerasan sek­sual, tidak dibenarkan diselesaikan secara kekeluargaan atau melalui jalur restorative justice.

“Artinya, bahwa proses hukum tetap harus dilakukan. Kalau itu terjadi, maka akan muncul anggap­an, bahwa apa yang dilakukan pelaku bisa diselesaikan dengan hanya ganti rugi dan pelaku kembali bebas, sementara korban tidak mendapatkan pemulihan.

Laporkan Bupati

Diberitakan sebelumnya, Bupati Maluku Tenggara M Taher Hanubun dilaporkan ke Polda Maluku terkait dugaan pelecehan seksual..

Dalam laporan itu, disebutkan kalau aksi tidak terpuji bupati itu dilakukan terhadap wanita 21 tahun berinisial TSA.

Laporan dilayangkan TSA Jumat (1/9) sore, di SPKT Polda Maluku. Usai pelaporan, korban diarahkan menuju ke Subdit PPA Ditreskrimum Polda Maluku untuk menjalani pemeriksaan lanjutan, bahkan divisum.

Siwalima sudah berulang kali menghubungi Hanubun melalui melalui pesan tertulis dan sam­bungan telepon, namun belum memperoleh balasan hingga berita ini ditayangkan. (S-08/S-10/S-25)