AMBON, Siwalimanews – Kajati Maluku, Rorogo Zega diduga membohongi  publik terkait kasus du­gaan korupsi pemba­ngu­nan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLT­MG) 10 MV  di Namlea, Kabupaten Buru.

Salah satu tokoh mas­yarakat, Yopi Soakalune mengatakan, dirinya sela­lu membaca  berita media tentang masalah korupsi PLTG di  Namlea Kabu­paten Buru. Soakalune juga mengikuti saat si­dang pra peradilan kasus ini karena ingin menge­tahui siapa kejahatan di­balik kasus tersebut..

“Apakah FT seperti yang dituduhkan,  PLN pemilik proyek atau oleh mafia atau bandit-bandit hukum yang berto­peng penegakan hukum,” jelas Soakalune dalam rilis kepada Siwalima, Rabu (28/4).

“Masyarakat yang akan menilai kedepan. Saya tidak masuk materi hukum karena jujur saya orang awam hukum. Tapi saya berbicara ahlak dan moral sesuai agama. Satu hal yang saya pahami dari kaidah hukum tu­juannya untuk menegakkan keadilan dan bukan untuk penganiayaan  ke­pada rakyat,” kata Soakalune.

Menurutnya, tulisan ini dibuat   se­suai fakta dimana dalam kasus PLTMG di Namlea, PLN telah me­nga­cu pada ketentuan UU No 2 tahun 2012 dan aturan internal PLN dan aturan harga ganti rugi dite­tapkan oleh Lembaga KJPP berda­sarkan nilai pengganti Wajar yaitu Rp 125 ribu / m2,  pajak ditanggung PLN.

Baca Juga: Monitoring THR, Disnaker Buka Posko Pengaduan

Kejati ikut terlibat dalam sosia­lisasi harga dan fakta ini baru terkuat disidang pra peradilan .

Begitu pula dengan Kajati Rorogo Zega, setelah menetapkan FT tersa­ng­ka dengan sikap gagah dan lan­tang menjelaskan kepada media bah­wa Tanaya ditahan karena me­nge­lembungkan harga ganti rugi, harga tidak semahal itu dan menan­tang Tanaya  buka bukaan berapa uang yang dikembalikan kepada PLN.

Disebutkan, untuk menjerat Tanaya, kejati menggunakan tudu­han versi Kajati yaitu menjual tanah milik negara.

Baginya, melihat kasus ini sudah terang benderang terjadi peng­aniayan rakyat oleh pejabat Kejati Maluku hanya karena Tanaya pengusaha.

Tuduhan Kajati bahwa Tanaya tidak berhak menerima ganti rugi karena kebun Erpack tidak bisa di­wariskan, sebab  itu akte jual beli di­abaikan atau sekan tidak ada karena yang menjual ahli warisnya.

Kata Soakalune, kebun erpack ber­akhir setelah pemiliknya meni­nggal, “bagi saya itu aturan. saya mau tanya mengapa Said Bin Thaib memiliki alas hak sama yaitu erpack, tapi dibayar oleh kejati kepada cucunya. Apa cucu itu waris atau bukan,” ujarnya..

Hanya beda Said Bin Thalib memiliki bukti pembelian 1928 sebelum Indonesia merdeka dan dia bukan pengusaha, tapi mantan kepala PLN. Tetapi Tanaya membeli dihadapan PPAT 1985 setelah Indonesia merdeka  dan dia pengusaha.

Kejati lebih menghargai surat sebelum Indonesia merdeka yang dibuat tahun 1928, tapi tidak me­ngakui AJB yang dibuat tahun 1986 oleh PPAT setelah Indonesia merdeka,” jelas Soakalune. (S-32)