PASAR Tanah Abang yang legendaris kini sepi pengunjung. Kondisi pasar grosir yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara itu kini kehilangan pamor. Stan-stan yang biasanya ramai pengunjung kini tampak sepi. Kondisi sepi pengunjung tidak hanya dialami Pasar Tanah Abang. Pasar Mangga Dua Jakarta dilaporkan mengalami problem yang sama. Demikian juga sejumlah mal di kota-kota besar dilaporkan mulai ditinggalkan konsumen. Daya tarik pasar dan mal tampaknya telah memudar. Pembeli yang biasanya berjubel mencari berbagai keperluan kini hanya tinggal kenangan. Para pemilik stan yang tersisa hanya bisa merapi nasib. Jangankan berharap pembeli yang datang kembali ramai seperti dulu, bahkan untuk membiayai kebutuhan operasional sehari-hari saja sering kali tidak mencukupi.

Di era digital seperti sekarang ini, apakah keberadaan pasar dan mal memang tidak lagi dibutuhkan masyarakat? Betulkah era pasar dan mal sudah mulai menggali lubang kubur mereka?   Pergeseran pola berbelanja Faktor penyebab pasar dan mal kehilangan peminat sesungguhnya sudah bisa diduga. Para pelaku ekonomi yang memasarkan produk secara offline tampaknya sudah tidak lagi relevan dengan gaya hidup dan pola perilaku berbelanja masyarakat saat ini. Transformasi digital, yang digadang-gadang sebagai jalan keluar bagi para pelaku ekonomi menyikapi perubahan zaman, cepat atau lambat telah menjadi bumerang bagi para pelaku ekonomi di pasar dan mal yang hanya mengandalkan cara-cara pemasaran offline. Sejumlah faktor yang menyebabkan pasar dan mal mulai kehilangan pengunjung ialah, pertama, perubahan pola perilaku berbelanja masyarakat yang bergeser ke pola pembelian yang lebih kontraktual. Berbeda dengan temuan Clifford Geertz dalam kajiannya di ‘Kota Pare’ Kediri bahwa perjumpaan pedagang pasar dan pembeli ialah momen kultural yang memungkinkan kedua pihak menjalin interaksi sosial yang menyenangkan, kini momen itu telah berubah. Para pembeli tidak lagi menikmati masa-masa berjubel dan menawar harga di pasar dan mal, tetapi mereka cenderung memilih pola berbelanja yang sifatnya kontraktual.

Tawar-menawar, bagi para pembeli, justru dianggap berpotensi merugikan karena bukan tidak mungkin mereka menjadi korban kelihaian pedagang yang menawarkan produk mereka dengan harga yang tinggi. Kedua, perubahan pola perilaku berbelanja offline ke pola berbelanja online. Gara-gara pandemi covid-19 yang dua tahun membatasi mobilitas warga dan memaksa warga untuk berbelanja secara online daripada berbelanja secara offline, kini perubahan pola itu tampaknya telah kebablasan. Masyarakat yang terbiasa berbelanja secara online kini menyadari bahwa pola baru itu lebih banyak memberikan keuntungan. Konsumen tanpa harus keluar uang transpor, harus membayar parkir, dan lain sebagainya kini bisa mendapatkan barang yang diinginkan melalui pembelian daring (e-commerce). Ketiga, akibat masuknya berbagai barang impor yang ditawarkan di dunia maya melalui berbagai aplikasi. Para pelaku UMKM di Tanah Air saat ini makin banyak yang menjadi pedagang perantara produk impor. Alih-alih menawarkan produk yang dihasilkan mereka sendiri, tidak sedikit pelaku UMKM yang memilih menawarkan produk impor yang lebih disukai pasar. Mereka menjual berbagai produk impor melalui media sosial dengan harga yang sering kali lebih murah daripada produk nasional atau produk lokal.

Konsumen yang kebanyakan masih mengedepankan gengsi sering kali merasa lebih untung membeli produk impor lewat para pelaku UMKM daripada pergi ke pasar atau mal. Keempat, akibat makin banyaknya pabrik yang tidak lagi menjual produk mereka melewati pasar grosir. Selama dua-tiga tahun terakhir, kita bisa melihat makin banyak perusahaan dan pabrik besar yang menawarkan produk lewat Tiktok, Instagram, dan berbagai aplikasi lain. Mata rantai pemasaran kini terpotong di tengah jalan, yang ujung-ujungnya menyebabkan pabrik dapat langsung berhubungan dengan konsumen. Daripada membeli di pasar atau mal dengan harga yang lebih tinggi, para konsumen pun kebanyakan merasa lebih untung jika mereka membeli barang langsung ke pabrik lewat pola pembelian daring. Kelima, pasar dan mal harus berkontestasi dengan pasar di dunia maya yang lebih menarik, atraktif, dan sesuai dengan perkembangan gaya hidup masyarakat urban.

Berbelanja ke pasar grosir atau ke mal kini bukan lagi hal yang mengasyikkan. Berselancar di dunia maya, berkunjung ke Tokopedia, Shopee, dan lain-lain yang menawarkan produk tanpa batas bagi konsumen menjadi daya tarik baru yang menawarkan sensasi berbeda daripada berbelanja offline di pasar atau mal.   Realistis Upaya untuk merevitalisasi dan membuat pasar grosir dan mal ramai kembali sebetulnya telah banyak dilakukan. Para pedagang pun tidak sedikit yang berusaha mengikuti pergeseran pola berbelanja masyarakat dengan menawarkan dagangan mereka secara online. Instagram, Tiktok, dan berbagai aplikasi lain telah banyak digunakan pedagang untuk memasarkan produk dagangan mereka. Hasilnya? Jangankan pembeli tertarik dan pasar kembali ramai. Meski telah dilakukan berbagai upaya pemasaran digital, ternyata di lapangan tidak banyak hasil yang diperoleh.

Baca Juga: Geliat Literasi: Kamus Masuk Sekolah

Sejumlah pedagang yang diwawancarai media massa menyatakan upaya mereka untuk memasarkan produk lewat dunia maya tidak banyak membuahkan hasil. Berbeda dengan sejumlah artis yang dalam hitungan jam berhasil meraup transaksi hingga miliaran rupiah, para pedagang pasar dan mal tetap saja gigit jari. Tidak sedikit pedagang saat ini benar-benar frustrasi dengan keadaan pasar saat ini. Mereka lebih memilih menutup stan mereka dan berusaha mencari pekerjaan lain untuk melanjutkan kehidupan keluarga mereka. Perubahan pola perilaku berbe­lanja masyarakat benar-benar telah mengubah total kondisi pasar grosir dan mal. Kehadiran teknologi informasi dan pola-pola pemasaran daring menyebabkan pasar grosir dan mal kehilangan daya tarik. Di sejumlah negara maju, dari segi jumlah dan jam buka pasar dan mal umumnya lebih realistis. Di Melbourne, misalnya, mal hanya buka sampai pukul 5 sore dan hanya pada Sabtu dan Minggu mereka membuka mal hingga malam hari.

Di hari-hari biasa mal memilih sore sudah tutup karena jika dibandingkan dengan pembeli yang datang, biaya operasional yang dikeluarkan dinilai tidak sepadan. Di Indonesia, jumlah mal, pasar grosir, dan berbagai pasar lain diakui atau tidak sebe­tulnya sudah tidak sebanding dengan jumlah konsumen. Mal-mal terlalu banyak. Pasar grosir juga kehilangan daya tarik. Sementara itu, selain harus berkontestasi dengan cybermall dan penawaran pasar daring, para pedagang pasar dan mal sering kali juga harus bersaing dengan para pedagang keliling yang memilih menjemput pembeli ke kompleks-kompleks perumahan menawarkan dagangannya.

Pemilik supermarket, misal­nya, kini harus berpikir seribu kali apakah membesarkan toko mereka ketika mereka mengha­dapi pedagang-pedagang mlijo yang mendatangi pembeli. Belajar dari sepinya pasar dan mal, kini sudah saatnya kita untuk bersikap realistis. Menimbang pergeseran dalam perilaku berbelanja kon­sumen, ke depan ada baiknya jika jumlah mal dan pasar yang ber­operasi benar-benar disesuaikan dengan potensi pembeli yang ada. Pasar dan mal tampaknya sudah makin renta dan harus menakar diri jika berharap pengunjung kembali ramai seperti dahulu. Oleh: Bagong Suyanto Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga (*)