Setelah sepuluh tahun lebih, baru kali ini kita merayakan dua hari raya secara bersamaan. Pertama tepatnya pada tanggal 13 Mei kemarin semua umat muslim di dunia merayakan Hari Raya Lebaran sekaligus umat kristiani merayakan Peringatan Kenaikan Kristus. Sebagian orang berpendapat hal itu secara kebetulan. Terlepas dari itu, hal ini merupakan hari yang penting, kedua umat dapat merayakan sekaligus memperingatinya secara damai dan harmonis. Hal ini merupakan suatu aspek yang penting karena berhubungan dengan perbedaan keyakinan, tetapi dapat dirayakan secara aman, nyaman, dan harmonis.  Menulis tentang perbedaan keyaki­nan adalah sesuatu yang tidak mudah, karena mengangkat isu / opini yang sensitif dan rentan terhadap permasalahan. Tetapi penulis mencobanya. Mudah mudahan tulisan ini dapat menjadi sebuah refleksi sekaligus bahan renungan bagi kita semua.  Judul artikel ini berbeda tapi harmonis. Dua kata penting yaitu beda dan harmonis. Yang akan lebih penulis bahas adalah kata harmonis.  Harmonis adalah sebuah kata yang diidamkan dalam setiap rumah tangga di muka bumi ini. Sebuah kata yang mudah diketik tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan. Ratusan pasangan hidup / pasutri yang bercerai dan berpisah karena tidak harmonis dalam menjalankan rumah tangga mereka. Ketika ego dan harga diri berbicara, maka perpisahan dan perceraian adalah muaranya.

Harmonis adalah sekelompok kata yang berhubungan dengan rukun, selaras, serasi. Di dalam keharmonisan terdapat unsur kesesuaian, keselarasan, kedamaian, saling pengertian. Sebuah harmonisasi yang mudah terdengar lewat sebuah alunan nada dari seperangkat alat musik yang berbeda. Berbedanya alat musik tidak menciptakan perbedaan nada melodi, tetapi justru dari perbedaan itu menghasilkan harmonisasi alunan melodi yang indah untuk di dengar.

Kali ini penulis mencoba menjabarkan kehidupan yang harmonis dari perjalanan cinta pasturi sebagai gambaran atau perbandingan bagi kehidupan beragama di Indonesia. Sebenarnya, cinta kasih pasutri tidak pernah lekang oleh waktu, kekal abadi, sepanjang hayat di badan. Tetapi fakta berbicara lain di jaman digital ini, banyak pasutri merasakan cinta yang luntur oleh berlalunya waktu. Ketika cinta mendasari suatu relasi, maka saling mengasihi, pengertian, kepedulian, pengorbanan akan menjadi aspek dan elemen yang menghiasi kehidupan pasturi tersebut. Demikian juga dengan kehidupan beragama, ketika dalam relasi diletakkan cinta kasih sebagai dasar relasi, maka akan terpancar aspek saling pengertian, kepedulian, pengor­banan. Berbicara tentang cinta, merupakan suatu cakupan yang begitu luas. Kata sederhana yang hanya terdiri dari 5 huruf, tetapi dalam pelaksanaan tidaklah semudah penulisan 5 huruf tersebut. Cinta bersifat universal, sama bagi berbagai bangsa, bahasa, budaya, ras, dan golongan. Terciptanya cinta kasih tidak terkotak kotak oleh kepentingan golongan tertentu. Cinta kasih bukanlah kepura puran, kemunafikan, kepalsuan. Tetapi cinta kasih merupakan kemurnian, keaslian, tidak mengenal perbedaan, terujinya suatu cinta kasih memakan proses waktu yang lama dan situas yang berubah ubah. Cinta kasih bukahlah sederetan teori tetapi membutuhkan praktek yang teruji di dalam kehidupan sehari hari kita.                   Lebih lanjut kita membahas bagaimana relevansinya dengan kehidupan beragama di negara ini. Adalah sebuah fakta bahwa, kehidupan beragama di Indonesia sangatlah majemuk, ragam, sangat berbeda. Bahkan Indonesia adalah berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tetapi dalam kehidupan beragama sudah tercipta suasana toleransi yang begitu  harmonis. Bahkan hal ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu.    Kehidupan beragama yang dilandasi dengan cinta kasih persaudaraan tentunya akan memiliki suatu hubungan / relasi yang diwarnai dengan aspek saling pengertian, kedamaian, keselarasan yang harmonis. Ketika cinta kasih sebagai landasan suatu hubungan maka semua suasana kehidupan akan dijalani dengan sikap saling mengerti satu dengan yang lainnya, tidak mudah berprasangka buruk, lebih cenderung bersikap berdamai daripada terlibat dalam suatu perkelahian, percekcokan, perselisihan. Selalu mengalah daripada memulai suatu pertengkaran.    Kehidupan beragama yang harmonis nampak dari suatu pemandangan indah dan hanya terjadi di kota ini, yaitu ketika pawai mobil takbir berkeliling kota, AMGPM mengawal arak arakan. Sebaliknya ketika umat kristiani merayakan natal para remaja masjid menjaga halaman gereja. Wah, suatu harmonisasi kehidupan beragama yang luar biasa !!!                            Kehidupan beragama yang harmonis di mulai dari hati barulah ke alam pikir / logika. Kalau sesuatu yang dimulai dari hati dengan tulus ikhlas maka akan mengalir ke pikiran dan terungkap lewat tutur kata yang santun. Dan semuanya akan terpancar dari perilaku yang baik dan toleran terhadap orang lain yang berbeda agama & keyakinan.                                Ketika kepercayaan dan keyakinan itu teguh maka tentunya kita akan mengamalkan keyakinan itu dengan terpancarnya sikap kita dalam kehidupan sehari hari ini. Pendapat awan mengatakan janganlah kita menjadi orang yang beragama dengan semboyan NATO ( no action talk only) alias banyak bicara tindakan kosong. Karena seorang yang beragama diperlukan aplikasi / penerapan apa yang dipercayainya. Kalau tidak salah semua agama mengajarkan adanya sikap cinta kasih terhadapa sesama ciptaan Tuhan. Jadi kasih tanpa perbuatan adalah kosong. Karena kasih tidak membutuhkan teori tetapi lebih penting buktinya.

Waktu seorang pasangan hidup hanya memiliki satu istri / suami. Maka dia  mengasihi pasangannya dengan sepenuh hati. Tetapi ketika dia kurang mengasihi atau melihat “rumput di sebelah lebih hijau”. Maka itu pertanda hatinya mulai menyimpang, atau berpindah hati.                                 Hal ini hampir sama dengan keyakinan seseorang ketika dia sungguh yakin dengan keyakinan atau kepercayaannya. Dia tidak perlu terusik dengan hasutan, provokasi untuk melakukan demo atas nama agama atau intervensi tentang kebijakan pemerintah. Bahkan contoh yang lebih ekstrim, memaksa orang lain untuk pindah agama. Kebetulan penulis sempat mengikuti perjalanan seorang host pria / pembawa acara, yang kebetulan berpindah agama tanpa menjelek jelekkan agama sebelumnya. Bahkan dia tidak mengubah penampilannya, tetap seperti dulu. Termasuk gaya bicara, dan cara berbusananya. Dalam proses dia mencari Tuhan, dia banyak berdiskusi, tukar pikiran, membuka dan memperluas wawasan.     Selanjutnya, kehidupan suami istri yang dilandasi dengan cinta kasih yang tulus, terlihat dari sikap saling mengerti, melayani, peduli, bahkan pengorbanan. Berkorban di sini bukan hanya berkorban materi dan kepentingan, tetapi juga berkorban perasaan, dan harga diri.  Banyak pasangan / pasutri yang berbeda agama tetapi dapat hidup harmonis. Bahkan ada pasutri yang berprofesi sebagai artis, rumah tangganya adem ayem sampai tua. Sebagai profesi artis yang rentan terhadap gonjang ganjing rumah tangga, tetapi mereka dapat melaluinya perjalanan umah tangga berpuluh tahun. Bahkan sebaliknya banyak pasutri artis yang satu agama, satu perahu dan nahkoda tetapi akhirnya berujung perpisahan bahkan perceraian. Berarti satu agama tidak menjamin untuk memiliki kelanggengan menjalani rumah tangga sampai maut memisahkan.

Hal inilah yang membuktikan bahwa mereka belum mampu menerapkan kehidupan beragama dalam pernikahan yang dijalaninya. Memang, kehidupan pernikahan yang berbeda agama sedikit lebih sulit dan rumit daripada kehidupan beragama secara umum. Karena pernikahan berbeda keyakinan lebih bersifat spesifik, internal dan problematik.                  Lebih mendalam, penulis membahas artikel ini dengan suatu penjabaran yang pernah penulis alami tentang relasi kehidupan beragama yang berbeda tetapi harmonis. Ketika seseorang yang disebut beragama, hidup dengan menjalankan ajarannya. Maka dengan secara otomatis / langsung perbuatannya terlihat sebagai seorang yang berTuhan. Sebagai contoh : suatu ketika penulis bepergian dengan bus ekonomi, dari Malang menuju Jember (Jatim). Secara tidak sengaja seorang Bapak setengah baya, duduk di sebelah saya. Kami terlibat percakapan yang sangat baik dan harmonis. Akhirnya, Bapak ini menanyakan agama saya, kemudian dia meminta maaf karena adanya gereja yang dirusak dan hampir dibakar oleh pihak tertentu, IMB yang dipersulit untuk berdirinya sebuah tempat ibadah di tanah Jawa.                  Penulis terkejut, tersentak bahkan terheran heran sekaligus kebingungan. Lalu terbersit : Bagaimana mungkin seorang bapak yang lebih tua daripada saya meminta maaf atas perbuatan yang tidak dilakukannya, tetapi dia melakukannya atas nama warga banyak / umat ?

Baca Juga: Belajar OnLine atau  GOYANG TIK TOK ??

Disinilah letak kesadaran pribadi sebagai perwujudan bukti  / amal ibadahnya. Bapak ini tidak banyak berteori tetapi dengan berlapang dada, membuktikan kerendahan hati dan keberaniannya untuk meminta maaf. Penerapan umat beragama tidak hanya berteori tetapi memerlukan bukti atau tindakan bukan ?   Banyak para pemimpin agama yang berkoar koar dengan lantangnya, tetapi tujuan berbeda dari apa yang telah disampaikannya. Benar kata pepatah di dalam banyak bicara, terdapat banyak pelanggaran. Semakin seorang pemimpin agama banyak bicara akan semakin diamati : Apakah dia melakukan / menerapkan apa yang sudah dikhotbahkannya ? Apalagi kita semua hidup dalam jaman digital. Berita singkat nun jauh disana dapat diakses, dilihat, bahkan dicermati dari tempat yang jauh sekali lokasinya.            Pemimpin agama tidaklah selalu benar karena dia hanyalah seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Marilah kita memandang mereka bukan hanya sebagai pemimpin tetapi juga sebagai manusia. Kita bukanlah umat yang men”dewa”kan pemimpin tetapi Tuhanlah yang kita sembah. Ketika semua kita bersikap tidak mengkultuskan pemimpin, maka tentunya kita tidak mudah terprovokasi atas hasutan untuk melakukan demo atas nama agama yang banyak melibatkan ribuan massa. Tentunya hal ini meresahkan banyak pihak.

Tetapi ketika kita selaku umat beragama menerapkan hukum agama sebenar benarnya, dengan segala kewajaran tanpa suatu sikap ekstrim. Tentunya suasana harmonis, toleran, welas asih, peduli dan berbagi akan tercipta dengan sendirinya. Berbeda tetapi tetapi harmonis. Seperti indahnya pulau dengan segala keberagamaan budaya, bahasa, nilai tradisi. Berbeda tetapi sangatlah indah untuk dinikmati sebagai suatu kesatuan bangsa.                                                        Perbedaan bukanlah menjadi pemicu timbulnya masalah sosial, tetapi sebaliknya menjadi pencetus keharmonisan bagaikan indahnya warna warni pelangi yang saling melengkapi untuk memperindah keberadaan suatu kehidupan anak manusia.

Di akhir penulisan artikel ini, penulis hendak menambahkan sederetan pepatah sekaligus sebagai kesimpulan. Sederetan pepatah itu berupa serangkaian kalimat bijak yang perlu kita renungkan. Pepatah bijak itu adalah :

Lamban mencurigai—cepat mempercayai

Lamban mengutuk     —cepat membenarkan

Lamaban menyerang —cepat membela

Lamban memaki            —cepat menahan diri

Lamban meremehkan— cepat menghargai

Lamban menuntut         — cepat memberi

Lamban menghasut  —-cepat mendamaikan

Lamban merintangi    —cepat menolong

Lamban membenci      —cepat memaafkan.

Biarlah penutup artikel di atas berupa sederetan kata bijak dapat menjadi suatu bahan renungan dan refleksi bagi kita semua basudara. Walahualam. Insya Allah. Semoga !!!( Debora Harsono, Loppies. M.Pd.  Dosen FAKES—UKIM–. Alumni Univ. Negri Malang Jatim dan  Univ. Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogya.         )