MIRIS, disaat pemerintah mengalokasikan anggaran untuk penanganan Corona Virus Disease (Covid) -19 justru sebaliknya anggaran tersebut disalahgunakan alias dikorupsi.

Empat Pejabat RS Haulussy Ambon yaitu Kepala Bidang Diklat RS Haulussy Dokter Jeles Abraham Atiuta, Kepala Bidang Keperawatan Nurma Lessy, Kasie Mutu Pelayanan Hendrik Tabalessy dan Kasie Keuangan Mayori Yohanes akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kejati Maluku dan mereka telah resmi ditahan di Rutan Ambon dan Lapas Perempuan Klas II Ambon.

Mereka diduga merugikan negara sebesar Rp 600 juta dalam kasus penyalahgunaan anggaran uang makan minum tenaga kesehatan Covid-19 tahun anggaran 2020 di RS Haulussy.

Tak hanya itu, BPJS Kesehatan juga diketahui mendapatkan tugas dari pemerintah memverifikasi klaim rumah sakit rujukan Covid-19 di Indonesia setelah verifikasi barulah Kementerian Kesehatan melakukan pembayaran klaim tersebut. Dan diduga total klaim Covid dari rumah sakit rujukan di Provinsi Maluku sejak tahun 2020 hingga September 2021 yang lolos verifikasi  BPJS Kesehatan mencapai 1.186 kasus dengan nilai Rp 117,3 miliar.

Penggunaan dana Covid-19 dinilai berpotensi dapat disalahgunakan. Penyalahgunaan alokasi dana untuk penanggulangan Covid-19 tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

Baca Juga: Dana BOS Rentan Korupsi

Pejabat pemerintahan yang diberi amanat mengelola alokasi dana untuk penanggulangan Covid-19 dan menyalahgunakan kewenangannya, dapat diancam sanksi pidana. Dimana pelakunya dapat diancam dengan pidana mati. Hal ini berlaku bagi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menyebutkan bahwa :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor ditegaskan kembali bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu tindak pidana korupsi saat bencana, seperti wabah COVID-19 yang terjadi saat ini, dapat diancam pidana mati. Namun, penegakan ketentuan UU Tipikor tersebut terganjal oleh Pasal 27 Perppu 1/2020. Pasal 27 ayat (1) berbunyi sebagai berikut : Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Dimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) tersebut dirasa kontraproduktif dengan UU Tipikor, karena seolah aparat penegak hukum tidak dapat melakukan tindakan projustisia berupa penyelidikan dan penyidikan. Selain Pasal 27 ayat (1) Perppu 1/2020, Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) Perpu 1/2020.(*)