Lebih dari tiga miliar orang di Bumi hidup dalam kondisi rentan terhadap perubahan iklim, khususnya wilayah dengan penghuni yang tidak terjamah oleh man­faat pembangunan.

Meningkatnya cuaca dan iklim ekstrem menye­babkan jutaan orang berpotensi mengalami kera­wanan pangan dan air, terutama di Afrika, Asia, Amerika Tengah dan Selatan, negara-negara berkembang dan pulau-pulau kecil, dan Arktik.

Di wilayah perkotaan, dimana panas ekstrem semakin dirasakan, perubahan iklim telah berdampak pada kesehatan, penghidupan, dan infrastruktur. Dampak tersebut mengarah pada kerugian ekonomi, gangguan sistem pelayanan, dan dampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat, khususnya kelompok marginal.

Hasil penelitian menyebutkan peningkatan suhu rata-rata permukaan Bumi sebesar 1,1 derajat Celsius pada periode 1900-2020. Kenaikan itu imbas emisi gas rumah kaca (GRK) yang bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil.

Lalu, model iklim memprediksi kenaikan suhu rata-rata global dapat mencapai 4 derajat Celsius pada abad ke-21 jika tidak ada intervensi aksi yang rendah emisi, sehingga komitmen global untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata di sekitar 1,5-2,0 derajat Celsius.

Baca Juga: Jembatan Budaya: Peran Program BIPA dalam Memperkenalkan Kekayaan Budaya Indonesia

Mengutip dari University Corporation for Atmosphe­ric Research (2023), proyeksi dampak perubahan iklim akan berbeda di setiap belahan dunia. Namun, se­cara umum kita akan mulai merasakan peru­bahannya secara perlahan, diantaranya pada aspek:

– perubahan curah hujan akibat dari laju penguapan yang tinggi

– pencairan es di Kutub

– peningkatan permukaan air laut

– perubahanarus/sirkulasi samudra

– perubahan cuaca ekstrem, dan lainnya.

Indonesia Terdampak dari Perubahan Iklim

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di antara dua samudra dan dua benua terdampak juga oleh perubahan iklim. Yakni lewat peningkatan intensitas El Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD), dan monsoon.

Dalam Dialog Nasional “AntisipasiDampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045” bulan Agustus 2023 lalu,  Bappenas menyebutkan bahwa terjadi peningkatan siklus ENSO dari 3-7 tahun sekali menjadi 2-5 tahun sekali.

Selain perubahan variabilitas iklim tersebut, perubahan iklim juga menyebabkan perubahan intensitas dan pola curah hujan yang mempengaruhi periode musim. Kemarau jadi lebih panjang dan musim hujan yang lebih pendek, maupun sebaliknya.

Lalu, kajian Kerugian Ekonomi Kementerian Peren­canaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2019 di empat sektor prioritas adaptasi perubahan iklim, yaitu kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kesehatan memperkirakan Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp 102,3triliun pada tahun 2020. Bakal meningkat sekitar 12,76% tahun 2024.

Kajian nilai kerugian tersebut masih undervalue yang artinya dampak perubahan iklim masih jauh lebih besar.

Tahun 2021, Carbon Brief menyampaikan bahwa Indo­nesia secara kumulatif menempati peringkat ke-5 penghasil emisi terbesar di dunia mengalahkan Jerman dan India yang mencapai 102.562 GtCO2. Itu artinya Indonesia berperan dalam konstelasi global penanganan dampak perubahan iklim.

Namun kita harus berhati-hati dalam berkomitmen. Di satu sisi modalitas yang besar dalam memitigasi perubahan iklim melalui sektor lahan dan energi, namun di sisi lain masih ada ketergantungan akan eksploitasi lahan dan bahan bakar fosil. Perta­nyaannya adalah saat ini kita ada di sisi mana?

Upaya Perlindungan Lingkungan

Aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sangat berkaitan erat dengan upaya perlindungan lingkungan. Pemerintah Indonesia mengkategorikan empat sektoral pembangunan rendah karbon, yaitu pertanian, perhutanan dan penggunaan lahan, energi, limbah, dan proses industri dan penggunaan produk.

Empat sektoral lainnya terkait dengan pemba­ngunan berketahanan iklim yang menjadi prioritas saat ini, yaitu kesehatan, air, pertanian, dan kelautan & pesisir.

Mencermati rancangan perencanaan pembangu­nan ke depan, pemerintah telah memiliki komitmen menuju Net Zero Emission melalui arah kebijakan yang memperkuat ketahanan sosial, budaya, dan ekologi.

Tidak dimungkiri bahwa rusaknya alam akan menimbulkan kerugian bagi manusia, begitu juga sebaliknya aktivitas manusia yang economy-oriented seringkali melupakan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan.

Banyak lembaga berlomba mencanangkan pembangunan yang mengintegrasikan tiga aspek: sosial, ekonomi, dan lingkungan, tapi apakah sampai saat ini mampu memberikan solusi yang berorientasi jangka panjang untuk pemulihan lingkungan?

Masyarakat dan Industri Harus Berubah Demi Selamatkan Bumi

Jika ingin Bumi ini pulih, semua harus berubah. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga kelompok industri yang menghasilkan emisi yang besar. Pelaku industri saat ini sudah banyak yang mulai menyadari tanggung jawabnya terhadap lingkungan, terutama yang memiliki proses bisnis yang berdampak ke lingkungan.

Di Sumba Timur, Wahana Visi Indonesia (WVI) mulai menerapkan model proyek Regenerasi Alami yang Dikelola Petani di wilayah Sumba Timur. Cakupan wilayah intervensi lebih dari 4.900 hektar yang terdiri dari restorasi zona penyangga, menghidupkan padang rumput untuk ternak, dan praktik pertanian yang efektif dan rendah emisi.

Perbaikan kondisi lahan tersebut berdampak pada banyak hal, seperti terawatnya zona penyangga antara hutan dan wilayah pertanian, terlindunginya area gembala ternak, peningkatan produktivitas lebih dari 150% untuk komoditas jagung dan kacang, hingga secara ekonomi mampu menambah penghasilan rumah tangga petani.

Intervensi lainnya di wilayah urban adalah praktek pengelo­laan sampah, mulai dari memi­lah hingga mengolah, dan meng­optimalkan bank sampah sebagai sarana untuk mendu­kung pengurangan dan pena­nganan sampah yang menjadi target nasional maupun daerah.

WVI juga berkomitmen untuk menjadi organisasi yang lebih hijau dengan menginternalisasi aksi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim dalam perencanaan proyek, aktivitas staf, aktivitas komunikasi, hingga advokasi.

Sasaran WVI adalah untuk menciptakan masyarakat yang lebih tangguh dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, yang mengarah padakesejahteraan anak dan keluarganya.

Masyarakat memiliki pola pikir yang relatif sederhana dalam konteks ini, bagaimana bisa bertahan di tengah segala perubahan yang sedang dan akan terjadi. Itu semua tidak akan berkelanjutan jika tidak diimbangi dengan kelembagaan yang menaunginya, baik dari sisi lembaga yang membina dan mendampingi, regulasi yang berpihak pada integrasi sosial-ekonomi-lingkungan, dan tidak kalah pentingnya adalah penentuan prioritas.

Kenapa kita tidak bergerak bersama jika isu yang akan ditangani skalanya besar? Kembali mengutip dari berbagai sumber, act locally, think globally. Itu bukan sekedar semboyan, tapi seruan untuk mulai dari hal kecil untuk Bumi kita yang lebih baik.

Investasi terbaik saat ini adalahmemastikan bumi kita layak huni untuk generasi penerus. Waktu tidak pernah berhenti untuk kita, jangan menunggu lebih lama lagi untuk mulai berubah.Oleh: Tim Health Masyarakat Sipil  (*)