MENGAPA masih banyak kasus korupsi di Indonesia? Mengapa masih banyak orang yang memiliki kuasa di Indonesia senang menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya? Mengapa masih banyak orang yang berpikir kekerasan merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah? Pernahkah guru mata pelajaran apa pun mengajak siswanya untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tadi? Pernahkah pertanyaan-pertanyaan reflektif yang mencari tahu posisi guru dan siswa dan peran mereka dalam masalah-masalah tadi diajukan oleh guru ke siswa? Dalam artikel Calak Edu Media Indonesia (5 September 2022), Fuad Fachruddin menyampaikan pentingnya keterampilan refleksi. Refleksi, oleh beliau dimaknai sebagai keterampilan untuk melihat kembali apa yang sudah kita lakukan, belajar dari keberhasilan maupun kegagalan kita untuk mengatur langkah ke depan agar menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Refleksi, sebagai salah satu keterampilan dasar dalam perdamaian, seharusnya menjadi jantung pen­didikan karena refleksi mampu mengembangkan kemampuan seseorang untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan mengidentifikasi motivasi dan perilaku diri secara kritis (Hendrick, Schwendenwein, & Teutsch, 1998). Melalui refleksi, guru dan siswa mampu memaknai mendalam setiap kegiatan belajar sehingga berdampak pada lingkungan masyarakat yang lebih luas.

Refleksi dan perdamaian Di sekolah, keterampilan refleksi tentunya perlu dimiliki guru terlebih dahulu sebelum kita berharap siswa mampu melakukannya. Sayangnya, keterampilan refleksi sepertinya masih jarang dimiliki guru. Ketika saya meminta guru untuk menulis refleksi, yang saya dapatkan ialah tulisan-tulisan deskripsi kegiatan kelas tanpa refleksi yang saya bayangkan. Tulisan-tulisan tersebut memperlihatkan guru masih fokus pada kegiatan belajar saja, seolah guru hanya alat penyampai materi pelajaran. Guru belum mampu memaknai dinamika kelas. Guru belum mampu menunjukkan relasi kegiatan belajar dengan kehidupan di masyarakat, tetapi yang paling mendasar, guru belum mampu melihat kenyataan bahwa mereka sebenarnya juga ikut berproses dalam kegiatan belajar tersebut. Tanpa kesadaran-kesadaran tersebut, bagaimana guru bisa tahu bahwa dia sudah menjadi guru yang berhasil membawa perubahan? Bagaimana guru bisa tahu bahwa dia memerlukan tambahan pengetahuan dan keterampilan baru agar bisa membuat kegiatan belajar yang lebih efektif? Situasi di atas menunjukkan dua masalah yang harus diselesaikan.

Pertama, menumbuhkan keterampilan refleksi sebagai keterampilan personal guru. Kedua, menumbuhkan keterampilan membawa masalah sosial sebagai materi refleksi guru. Agar lebih efektif, penyelesaiannya perlu dilakukan secara berjenjang, dari menyelesaikan masalah pertama, lalu merespons masalah kedua. Kita tidak bisa dan tidak boleh berhenti menyelesaikan masalah pertama saja karena jika hanya keterampilan refleksi personal yang dimiliki guru, keadaan ini dapat membentuk guru dan siswa yang peduli pada diri sendiri sehingga tidak mampu berkontribusi menyelesaikan masalah ketidakadilan sosial. Kita harus selalu ingat bahwa tujuan pendidikan bukan hanya pengembangan kapasitas pembelajar sebagai individu semata, melainkan juga sebagai warga masyarakat. Untuk itu, refleksi atas masalah-masalah di masyarakat sudah seharusnya selalu dimunculkan dalam kegiatan belaja mengajar. Guru dan siswa yang peduli pada masalah-masalah sosial merupakan modal besar bagi terbentuknya masyarakat damai yang berkeadilan sosial.

Mengajarkan refleksi Di Sekolah Sukma Bangsa, pembentukan guru-guru yang reflektif dilakukan melalui dua tahap, yaitu membentuk diri menjadi pribadi yang reflektif dan membentuk diri menjadi pribadi yang peduli pada masalah sosial. Pada tahap pertama, cara yang dilakukan ialah membiasakan guru menulis jurnal refleksi. Anggota manajemen sekolah memulainya terlebih dahulu setelah mereka memahami apa yang perlu dituliskan dalam jurnal tersebut. Mereka paham jurnal refleksi bukan sekadar tulisan deskripsi kegiatan, melainkan ada penyampaian perasaan dan pembelajaran yang didapatkan dalam kegiatan tersebut. Manajemen sekolah rutin berkumpul untuk menulis jurnal tersebut.

Seusai menulis, secara sukarela mereka berbagi refleksinya. Berbagi refleksi membantu anggota manajemen sekolah untuk belajar meningkatkan kualitas refleksi. Setelah beberapa waktu, anggota manajemen sekolah mengakui manfaatnya. Mereka menjadi lebih mampu memaknai kegiatan sehari-hari, bahkan pada kegiatan yang kadang dianggap remeh, seperti tersenyum kepada rekan kerja maupun siswa. Para anggota manajemen sekolah menyadari bahwa tidak ada satu pun kegiatan dalam keseharian mereka yang tidak bermakna. Pembelajaran yang didapatkan anggota manajemen sekolah kemudian diteruskan ke guru-guru lain. Saat ini guru-guru di tiap satuan pendidikan di Sekolah Sukma Bangsa rutin melakukan kegiatan menulis refleksi. Untuk membangun kemampuan refleksi guru Sekolah Sukma Bangsa atas masalah sosial, salah satu kegiatannya ialah melaksanakan perjalanan reflektif. Guru berjalan kaki di lingkungan luar sekolah.

Baca Juga: Mentransformasi Sistem Pendidikan Nasional

Dalam perjalanan tersebut guru menggunakan mata, telinga, juga pikiran dan hati untuk melihat fenomena-fenomena sosial. Seusai melakukan perjalanan singkat tersebut, guru menuliskan hasil observasi mereka; ada yang melihat masalah kemiskinan ketika bertemu sepasang suami istri yang tinggal di rumah tak layak huni; ada yang mengkritisi pemerintah daerah yang tidak memperbaiki jalan rusak dan rawan kecelakaan; ada yang mempermasalahkan sampah yang dibuang sembarangan di kawasan tak jauh dari sekolah. Guru tersebut berefleksi dengan menyampaikan bahwa tidak ada gunanya jika kampanye kebersihan hanya dilakukan di lingkungan sekolah dan warga sekolah hanya mampu menjaga kebersihan sekolah, tetapi pada saat yang sama warga sekolah seolah-olah abai pada kebersihan di lingkungan luar sekolah. Padahal, sekolah merupakan bagian dari masyarakat juga.

Guru-guru Sekolah Sukma Bangsa akhirnya mulai terusik dengan beragam masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Guru matematika, misalnya, menyampaikan bahwa kini dia sudah memakai cara pandang yang berbeda ketika ke luar rumah. Dia selalu memperhatikan sekeliling, mengobservasi masalah-masalah sosial di kotanya, dan mengintegrasikan keresahannya dalam kegiatan belajar di kelas. Keterampilan refleksi menjadi keterampilan wajib bagi setiap orang untuk memaknai kehidupan dengan lebih baik dan mampu berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat yang damai. Di sekolah, guru harus memilikinya terlebih dahulu sehingga perlu upaya-upaya kreatif untuk membantu guru menjadi individu yang reflektif terhadap diri sendiri dan lingkungan di mana dia berada sehingga guru mampu memberikan kegiatan belajar mengajar yang bermakna bagi siswanya. Ikhtiar Sekolah Sukma Bangsa kiranya bisa menjadi pemicu munculnya ide-ide lain untuk membantu guru menjadi guru yang reflektif dan damai. Semoga.Oleh: Dody Wibowo Direktur Advokasi dan Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Sukma Dosen magister perdamaian dan resolusi konflik Universitas Gadjah Mada