AMBON, Siwalimanews – Kasus dugaan pencemaran na­ma baik di medsos dengan ter­sangka Wakil Dekan Bidang Admi­nistrasi Umum dan Keuangan Fakultas Hukum Unpatti, Hendrik Salmon segera disidangkan di Pengadilan Negeri Ambon.

Berkas dakwaan tersangka su­dah dilimpahkan jaksa penuntut umum (JPU) ke pengadilan Senin (6/9) untuk disidangkan. “Berkas­nya sudah rampung dan tadi sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Ambon untuk proses sidang,” ungkap JPU, Ela Ubleuw kepada wartawan di PN Ambon Senin (6/9).

Sebelumnya, Butje Hahury Pe­nasehat Hukum John Pasalbessy menjelaskan, Hendrik Salmon ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku pada 27 Mei 2021. Penetapan tersangka itu diketa­huinya setelah penyidik mengi­rim­kan pemberitahuan perkem­bangan hasil penyidikan ke kliennya John Pasalbessy.

“Jadi, kasus ini kita laporkan ke polisi 2020. Setelah menunggu sembilan bulan, pada 27 Mei 2021, Hendrik Salmon ditetapkan ter­sangka. 31 Mei 2021 yang ber­sang­kutan diperiksa sebagai ter­sangka dan 3 Juni 2021 yang lalu berkas tersangka dilimpahkan atau tahap I ke JPU untuk diteliti,” beber Hahury.

Menurutnya, kasus ini menarik karena sejak dilaporkan terkesan prosesnya berjalan lamban, bah­kan diduga tersangka HS ber­upaya mendekati oknum-oknum tertentu untuk menggagalkan proses hukum.

Baca Juga: Buronan Korupsi Taman Kota Saumlaki Ditangkap

“Kasus ini sudah jelas dari sisi hukum pidana, karena dari sub­stansi perkara ditemukan dua alat bukti melalui hasil screnshoot pos­tingan HS di akun facebook milik­nya yang menyatakan klien saya John Pasalbessy itu “kelakuannya sama dengan binatang” dan “akan mematahkan kaki korban”. Ini kan keterlaluan, sangat merendahkan martabat kemanusiaan seseorang. Perbuatan HS jelas melanggar pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (3) UU ITE,” tandasnya.

Masih kata Hahury, posisi kasus ini sudah miliki kepastian hukum, karena dari substansi perkara ditemukan alat-alat bukti yang meme­nuhi syarat sistem pem­buktian hukum pidana.

Selain keterangan saksi fakta (factual testimony) dan ahli (expert opinion) yang merupakan testimonial evidence, terdapat lebih dari 10 bukti screenshoot postingan tersangka HS di dinding akun face­book miliknya.

Diantaranya memuat  pernyataan tersangka yang menyamakan kor­ban John Pasalbessy  dengan bina­tang. Dimana tersangka menye­but­kan “kelakukan korban sama dengan binatang” disertai kata-kata anca­man kekerasan, dimana tersangka akan mematahkan kaki korban.

Mempersamakan manusia de­ngan binatang sudah memenuhi unsur pasal penghinaan dalam hukum pidana yang bermakna merendahkan harkat martabat dan kehormatan manusia sebagai makluk berbudi atau berbudaya. Padahal harkat martabat dan kehormatan manusia sebagai makluk berbudi itulah ciri khas manusia, yang memper­beda­kannya daripada binatang apapun. Karena penghinaan ini dilakukan dengan menggunakan sarana tran­saksi elektronik yang dapat diakses publik, sangatlah tepat dan sah menu­rut hukum polisi menetapkan Salmon sebagai tersangka dengan pasal-pasal penghinaan menurut Undang Undang RI Nomor 19 tahun 2016 tetang Pe­rubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai lex specialis, meski penyelidikan dan penyidikan kasus ini terkesan slow down,” jelas Hahury.

Hahury mengatakan, sebagai unsur penghinaan, para saksi yang berkomentar di dinding facebook HS juga sudah diperiksa, termasuk saksi bahasa Indonesia. “Klien saya itu seorang Doktor Ilmu Hukum, ahli hukum pidana jebolan Universitas Airlangga Surabaya dan berjasa membantu Polda Maluku serta polres-polres jajaran mengung­kapkan kejahatan. Kok diperlakukan seperti ini,” ungkap Hahury.

Ia menilai HS bukan seorang dosen yang baik. Perilakunya tidak menunjukan seorang pendidik di bidang ilmu hukum. HS selain harus menghadapi proses hukum, harus­nya dikenakan sanksi kode etik yang berlaku di Unpatti.

Ucapannya di media sosial tidak pantas sebagai tenaga pendidik di per­guruan tinggi. Perlakuannya ter­hadap dosen senior sudah seperti ini, bagaimana dengan mahasis­wa yang diajarnya. “Saya sudah kross cek ke Unpatti, ternyata HS sudah diperiksa oleh Tim Pemeriksa Kode Etik pada 2020 lalu. Hanya saja, kesimpulan dan hasil sidang kode etik Unpatti belum diumumkan. Mestinya dengan status tersangka, sudah saatnya Rektor Unpatti, Nus Sapteno menjatuhkan sanksi kepada HS. Kalau tidak, asas “equality before the law” atau persamaan semua warga negara di hadapan hukum sebagai asas negara hukum yang diajarkan para dosen kepada maha­siswa selama ini, hanyalah retorika teoritik tanpa makna,” pungkasnya.

Dia berharap kasus penghinaan HS terhadap seniornya John Pasal­bessy di media sosial menjadi pem­belajaran berharga bagi semua peng­guna media sosial, lebih khu­sus para pengajar di Universitas Pattimura untuk rendah hati dan saling menghormati, sehingga kasus ini adalah yang terakhir.

Hahury juga menambahkan, selain kasus penghinaan HS terhadap Pa­salbessy dilaporkan ke Ditres­krimsus Polda Maluku, dirinya juga akan melakukan pressure ke Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease lantaran melambatnya kinerja penyidik terhadap pidana lainnya yang dilakukan HS terhadap klien­nya sebagaimana laporan di Pol­resta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease sesuai tanda bukti laporan atau TBL Nomor : LP/658/VIII/Maluku/Resta Ambon, tanggal 26 Agustus 2020, dengan terlapor HS.

“Jadi perkuan HS kepada klien saya bukan hanya penghinaan. Da­lam perkara kedua ini, HS dila­porkan pidana di Polresta Ambon karena diduga sangat kuat men­cekik leher dan hendak memukul klien saya John Pasalbessy. Karena itu kami menduga dengan sangat kuat, bah­wa ada pihak yang sangat berke­pen­tingan dengan kasus ini berupaya menghalangi dan memper­lambat bahkan berkeinginan menghentikan proses penegakkan hukum kasus tersebut, meski dengan cara mela­wan hukum sekalipun. Padahal korban adalah seorang Doktor Ilmu Hukum, jebolan Universitas Airla­ngga Surabaya sudah banyak ber­jasa membantu Polda Maluku dan polres-polres jajarannya sebagai ahli hukum pidana dalam proses pene­gakkan hukum. Dijanjikan penyidik untuk memanggil pelaku HS tapi hingga saat ini tidak ada perkem­bangannya. Saya hanya ingatkan, hukum itu etis, dan jangan sampai dijungkirbalikan hanya untuk me­lindungi orang-orang yang muna­fik,” tegas Hahury. (S-45)