TAHUN 2020, empat tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), me­nerbitkan aturan yang di­mak­sudkan untuk mendongkrak per­tumbuhan bank pembangunan daerah (BPD), dengan memaksi­malkan kelompok usaha bersama (KUB).

POJK No 12 tahun 2020, ada­lah regulasi khusus yang dibikin OJK, dengan tujuan agar KUB yang dilakukan oleh BPD nan­ti­nya bisa mempercepat digitali­sasi peningkatan standar  governance dan profesionalisme arrangement pasar uang, serta pengembangan payment system bersama.

Dalam POJK Nomor 12 Tahun 2020 disebutkan, setiap bank milik pemerintah daerah wajib memenuhi modal minimum tiga triliun per 31 Desember 2024.

Untuk menjalankan skema dimaksud, OJK juga telah menyi­ap­kan sejumlah ketentuan khu­sus bagi BPD yang kemudian bergabung dalam KUB.

Bank Maluku-Malut, satu di­an­tara sejumlah bank yang ma­suk dalam kriteria OJK, di­mana setiap BPD diharuskan memenuhi ke­tentuan modal inti minimum Rp3 triliun sampai dengan akhir Desember 2024.

Baca Juga: Dewan Minta Kebijakan Khusus Kuota Mitan di Ambon

Memangnya berapa besar modal inti Bank Maluku-Malut saat ini?

Berdasarkan laporan keuangan triwulan Bank Maluku-Malut per Maret 2023, modal inti bank milik daerah ini hanya sebesar Rp1,61 triliun dengan klasifikasi Bank BUKU II.

Itu artinya suka tidak suka, Bank Maluku-Malut harus segera gabung dalam KUB, jika tidak ingin statusnya sebagai bank umum turun kasta menjadi bank perkreditan.

Miris memang. Saat sejumlah bank daerah sedang berlomba un­tuk keluar dari ancaman degradasi modal inti Rp3 triliun, direksi dan komisaris Bank Maluku-Malut justru menyibukan diri dengan re­munerasi yang tak sesuai aturan.

Direksi dan komisaris Bank Maluku-Malut, diduga melakukan praktik menyimpang, yang dilakukan untuk menutup hasil temuan OJK tahun 2023, tentang pemberian remunerasi kepada direksi dan dewan ko­misaris

Mereka mencoba mengakali temuan OJK itu, dengan modus menjalankan circular letter, yang didistribusikan ke seluruh bupati dan walikota, serta Gubernur Maluku dan Maluku Utara, seba­gai pemegang saham.

Praktik busuk ini dilakukan untuk mensiasati pemberian bonus triwulan kepada direksi dan komisaris yang telah berlangsung sejak tahun 2021 sampai 2023, namun belum pernah disetujui pemegang saham sama sekali.

Inti dari circular letter adalah meminta perse­tujuan para pe­me­gang saham tentang remunerasi bersifat varia­bel berupa bonus triwulan atau dalam bentuk apa­pun, yang telah kurun 2021 hing­ga saat ini, na­mun belum men­dapat persetujuan dari pemegang saham.

Dengan kata lain, direksi dan komisaris meminta persetujuan untuk dilakukan pemutihan selu­ruh dana yang sudah masuk “se­cara tidak halal” ke kantong me­reka sejak tahun 2021.

Hal ini tentu saja melanggar ke­tentuan dan berdampak pada tingkat kerugian bank secara ma­terial dengan nilai yang cukup fantastis.

Padahal ada aturan yang bisa mengesampingkan keserakahan manajemen bank, yaitu Peraturan OJK Nomor 45/POJK.03/2015 pasal 26 ayat 1 disebutkan, “Bank dapat menunda pembayaran re­munerasi yang bersifat variabel yang ditangguhkan atau menarik kembali remunerasi yang bersifat variabel yang sudah dibayarkan kepada pihak yang menjadi material risk takers dalam kondisi tertentu”.

Dalam catatan kami, banyak sekali pemberitaan negatif ten­tang Bank Maluku-Malut kurun waktu lima tahun terakhir. Mulai dari pembobolan bank yang melibatkan orang dalam, tindakan indisipliner pejabat bank yang masuk kerja sesuka hati, pembobolan ATM yang dilakukan satpam outsourcing, krediit topengan di Cabang Labuha dan rekrutmen pegawai yang hasilnya baru diumumkan dua tahun kemudian. Ada pula kasus fraud di cabang utama dengan mendebet rekening nasabah, dan kenaikan gaji direksi tahun 2022 yang menyalahi aturan, hingga keluhan karyawan tentang top manajemen yang lebih banyak mengejar setoran, ketimbang memikirkan nasib bank.

OJK memberikan waktu empat tahun untuk melakukan konso­lidasi jelang KUB, tentu bukan waktu yang sebentar. Di saat bank daerah lain ber­lomba untuk bergabung dalam KUB dan keluar dari ancaman degradasi, manajemen Bank Ma­luku-Malut justru sibuk berurusan dengan perjalanan dinas dan hal remeh temeh lain yang se­mes­tinya tidak dilakukan oleh ma­najemen, dalam waktu yang se­demikian sempit.

Lalu faktor apa yang membuat mereka lamban bergerak ke arah KUB?

Dalam catatan kami diketahui, petinggi Bank Maluku-Malut ini besar kepala lantaran dibekengi Murad Ismail semasa berkuasa. Dalam banyak hal, mereka se­lalu meminta petunjuk dan arahan dari sang penguasa. Se­babnya gam­pang ditebak. Mereka men­da­pat jabatan empuk itu dari Murad, jadi harus patuh dan tun­duk apa kata sang bos.

Belakangan tatkala waktu yang diberikan OJK kian menipis dan viralnya pemberitaan media tentang masalah KUB, mereka seperti baru tersadar dan buru-buru melakukan klarifikasi kala dipanggil mendadak para wakil rakyat di Baileo Rakyat, Karang Panjang, Selasa (10/12) lalu.

Apalagi saat disentil anggota dewan, perihal kinerja mereka yang dikaitkan dengan cawe-cawenya beberapa petinggi bank saat pilkada untuk memenangi Murad Ismail. (*)