Bukan sekadar Menciptakan Lapangan Kerja
BERDASARKAN publikasi Badan Pusat Statistik, angka pengangguran turun menjadi 4,8% pada Februari 2024. Angka sebesar itu melampaui target Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024 yang menetapkan angka pengangguran sebesar 5,0%-5,7%.
Namun, meski angka pengangguran mengalami penurunan cukup impresif, ada sejumlah persoalan yang masih menyelimuti ketenagakerjaan di Tanah Air. Pertama, angka pengangguran sebesar 4,8% itu ternyata masih lebih tinggi daripada sejumlah negara-negara ASEAN. Berdasarkan data IMF per April 2024, angka pengangguran di Thailand 1,1%, Singapura 1,9%, Vietnam 2,1%, dan Malaysia 3,5%.
Kedua, jika diselisik menurut daerah, disparitas angka pengangguran masih cukup lebar. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2024 menunjukkan angka pengangguran terendah tercatat di Pegunungan Bintang (1,18%) dan Bali (1,87%), dan yang tertinggi di Banten (7,02%).
Ketiga, penurunan angka pengangguran yang cukup impresif itu juga belum sejalan dengan laju penurunan angka kemiskinan. Angka kemiskinan turun menjadi 9,3% pada Maret 2024, atau jauh di atas RKP 2024 sebesar 6,5%-7,5%.
Poin ketiga itu sekaligus menunjukkan penciptaan lapangan kerja belum cukup berkontribusi secara signifikan dalam menurunkan angka kemiskinan. Bahkan, kontribusi terbesar penurunan angka kemiskinan, menurut sejumlah pihak, ditengarai ialah cukup masifnya bantuan perlindungan sosial.
Baca Juga: Masa Depan Pendidikan Indonesia: Harapan dan Tantangan Presiden PrabowoEfektivitas lapangan kerja
Karena itu, belum efektifnya penciptaan lapangan kerja terhadap penurunan angka kemiskinan merupakan persoalan serius yang dihadapi Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran dalam pemerintahan saat ini.
Persoalan hampir sama juga dihadapi Amerika Serikat (AS). Berdasarkan studi Kelly (2014), kinerja pembangunan ketenagakerjaan di AS cukup berhasil dalam menciptakan lapangan kerja. Namun, sayangnya lapangan kerja yang tercipta belum cukup efektif dalam menurunkan angka kemiskinan. Bahkan, angka kemiskinan dalam beberapa dekade mengalami stagnasi (Desmond, 2018).
Dalam konteks itu, Ravallion and Datt (2002) sebelumnya telah mengingatkan bahwa penciptaan lapangan kerja tidak selalu dapat menurunkan angka kemiskinan. Faktor penyebabnya ialah lapangan kerja yang tercipta, terutama di sektor formal, tidak mampu mengakomodasi kelompok miskin.
Sebaliknya, penciptaan lapangan kerja akan efektif dalam menurunkan angka kemiskinan jika lapangan kerja yang tercipta, khususnya pada sektor industri maju, berketerampilan tinggi dan padat modal (Siddique, 2016).
Secara faktual, fenomena itu bersesuaian dengan kondisi yang terjadi di Tanah Air. Lapangan kerja formal terbatas dan sulit dimasuki kelompok miskin karena rendahnya kualitas SDM yang dimiliki. Akibatnya, kelompok miskin bekerja pada sektor informal yang tidak mensyaratkan kualitas SDM yang tinggi.
Tercatat, dalam sepuluh tahun terakhir (2014-2024), pekerja informal meningkat dari 53,6% (Sakernas Februari 2014) menjadi 59,17% (Sakernas Februari 2024). Padahal, sepatutnya seiring dengan kian meningkatnya tingkat pendidikan, persentase pekerja di sektor formal kian bertambah dan pekerja di sektor informal berkurang.
Pengupahan dan perlindungan sosial
Urgensi meningkatkan lapangan kerja di sekor formal ialah memberikan kepastian hidup serta kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Pekerja formal umumnya memperoleh pendapatan lebih stabil dan pendapatan lebih tinggi, serta perlindungan sosial yang lebih memadai jika dibandingkan dengan pekerja informal.
Upah minimum yang diterima pekerja formal umumnya kini cukup memadai, paling tidak untuk pekerja dan istri dengan dua anak. Di Jawa Tengah (Jateng), misalnya, sebagai provinsi dengan upah minimum terendah di Tanah Air pada 2024, yakni sebesar Rp2.036.947, tercatat angkanya masih berada sedikit di atas garis kemiskinan (GK) untuk pekerja, istri, dan dua anak. Adapun GK Maret 2024 di Jateng sebesar Rp507.001 per kapita/bulan, atau sebesar Rp2.028.004 untuk pekerja, istri, dan dua anak.
Sementara itu untuk pekerja informal, pendapatannya amat bervariasi menurut lapangan, status, dan jenis pekerjaan serta menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan. Berdasarkan data BPS, secara nasional upah terendah ialah buruh berpendidikan SD ke bawah, yakni sebesar Rp2,03 juta per kapita/bulan. Jika dibandingkan dengan GK secara nasional per Maret 2023 sebesar Rp550.468 per kapita/bulan, itu berarti buruh dan istri dengan dua anak (GK per rumah tangga Rp2,201 juta) hampir dapat dipastikan seluruh anggota rumah tangganya di bawah GK atau berstatus miskin.
Lebih jauh, pekerja informal umumnya dalam kondisi rentan karena amat dipengaruhi kebijakan yang tidak populis, seperti penaikan harga BBM, dan bencana alam, seperti banjir, longsor dan gunung meletus, wabah penyakit seperti covid-19, serta kondisi ekonomi memburuk seperti pada 1997. Dalam lima tahun terakhir, pekerja rentan bahkan cenderung meningkat, yaitu dari 41,06% pada Agustus 2018 menjadi 44,96% pada Agustus 2023.
Selanjutnya, pekerja informal minim perlindungan sosial dan umumnya tidak menerima bantuan subsidi upah (BSU). Ini disebabkan pekerja informal umumnya belum tercatat sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Padahal, menurut organisasi perburuhan internasional ILO, setiap tenaga kerja sepatutnya menerima perlindungan sosial yang lebih luas, yang mencakup asuransi sosial, bantuan sosial dan minimum standar kerja.
Belum terlindunginya pekerja informal kini memang masih menjadi persoalan serius di banyak negara berkembang. Menurut laporan ILO (2014), hanya 27% pekerja di sektor informal secara global yang memiliki akses terhadap perlindungan sosial.
Padahal, perlindungan sosial amat krusial karena dapat berpengaruh positif tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk pengembangan diri bagi pekerja dan keluarganya. Pada tahap lanjut, perlindungan sosial dapat meningkatkan produktivitas bangsa dan pertumbuhan ekonomi. Jadi, ada pengembalian dari perlidungan sosial yang dikucurkan.
Harapan pada pemerintah
Karena itu, atas dasar itu, amat diharapkan, pemerintahan yang dipimpin Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran tidak sekadar dapat menciptakan lapangan kerja, tapi juga lapangan kerja yang diciptakan dapat berkontribusi menurunkan angka kemiskinan. Seperti diberitakan, dalam kampanye pada waktu lalu, Prabowo-Gibran berjanji akan menciptakan lapangan kerja sebanyak 19 juta orang.
Untuk merealisasikan janji itu, tampaknya perlu dilakukan secara extraordinary dengan melakukan transformasi ekonomi dari ketergantungan terhadap kekayaan alam ke industri, produksi, dan jasa yang memiliki insentif tinggi. Hal itu juga perlu disertai dengan peningkatan SDM, khususnya pendidikan dan keterampilan yang berkaitan dan sesuai (link and match) dengan permintaan pasar kerja. (web) oleh: Razali Ritonga
Pemerhati fenomena sosial-kependudukan, alumnus Georgetown University, AS, dan Lemhannas RI
Tinggalkan Balasan