AMBON, Siwalimanews – Kendati bukan ber­asal dari mata rumah parentah, Wempi Dirk Parinussa dilantik seba­gai Raja Ameth Keca­matan Nusalaut oleh Bupati Maluku Tengah, Tuasikal Abuah pada 18 Agustus 2022 yang lalu.

Tindakan melantik Parinussa sebagai Ke­pala Pemerintah atau Raja Negeri Ameth de­ngan sendirinya Bu­pati Malteng telah mela­nggar Perda Kabupa­ten Malteng Nomor 01 Tahun 2006 tentang Negeri.

Saat mengunjungi redaksi Siwalima Selasa (30/8), per­wakilan warga Negeri Ameth, Broery Mailoa dan Doortje Manduapessy mengatakan, Pemerintah Kabupaten Mal­teng telah mengeluarkan Perda Nomor 03 Tahun 2006 tentang tata cara pencalonan, pemilihan dan pelantikan kepala pemerintah negeri dan Peraturan Daerah Nomor 07 Ta­hun 2006 tentang tata cara pemili­han, pengangkatan dan pember­hentian perangkat negeri yang di­maksudkan untuk melaksanakan prinsi-prinsip demokrasi dalam sistim pemerintahan umum dan peme­rintahan adat yang merupakan upa­ya untuk memberdayakan fungsi dan peran kelembagaan pemerinta­han sebagai wujud dari prinsip demokrasi.

Untuk maksud tersebut diperlu­kan mekanisme dan tata cara atau sistim dalam pencalonan, pemilihan dan pelantikan kepala pemerintahan negeri yang merupakan tuntutan demokrasi serta ditopang dengan sistem hukum sehingga menjadi acuan dan melahirkan figur pemim­pin dengan tetap menghargai hak-hak anggota masyarakatnya.

Sayangnya, tindakan Tuasikal melantik Parinussa sebagai Raja Ameth tanpa melalui mekanisme sebagaimana diamanatkan dalam Perda 01 Tahun 2006 tentang negeri adalah cacat hukum.

Baca Juga: Polda Maluku Siagakan 385 Personel di Kunjungan Presiden

Menurut Mailoa dan Mandua­pessy, sebagai masyarakat adat Negeri Ameth langkah Tuasikal telah menyalahi aturan hukum yang berlaku lantaran melantik Parinussa yang saat ini telah berusia 70 tahun.

Padahal dalam Perda Kabupaten Malteng Nomor 01 Tahun 2006 tentang negeri bagian ketiga syarat dan tata cara pengangkatan kepala pemerintahan negeri dan pasal 2 ayat (1) huruf e Perda Kabupaten Mal­teng Nomor 03 Tahun 2006 tentang tata acara pencalonan, pemi­lihan dan pelantikan kepala peme­rintahan negeri jelas menegaskan berusia paling rendah 25 tahun dan setinggi-tingginya 60 tahun.

“Kalau terhadap aturan-aturan tersebut, itu berarti Bupati Abua Tuasikal sudah mengabaikan aturan yang dia buat sendiri. Artinya SK pelantikan Parinussa itu ilegal alias cacat hukum,” tandas Mailoa dan Manudapessy.

Disisi lain, Mailoa dan Mandua­pessy juga menjelaskan, Tuasikal melantik Parinussa sebagai Kepala Pemerintahan Negeri Ameth untuk keempat kalinya sangat bertenta­ngan dengan  pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Dimana UU tersebut ayat  (1) menyebutkan, kepala desa meme­gang jabatan selama enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Ayat (2), kepala desa sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dijabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau secara tidak berturut-turut.

“Sesuai fakta Wempi Dirk Man­duapessy telah menjabat kurang lebih 18 tahun dan sekarang Tuasi­kal melantik yang bersangkutan kembali adalah cacat hukum,” ujar Mailoa dan Manduapessy.

Mirisnya lagi, pelantikan Pari­nussa sebagai Kepala Pemerintahan Negeri Ameth mengabaikan hak-hak dari mata rumah parentah yakni Picauli sebagaimana diatur dalam Perda Kabupaten Malteng Nomor 01 Tahun 2006 tentang Negeri.

Akibat dari perbuatan Bupati Malteng,Tuasikal Abua, telah merusak tatanan adat, hukum adat dan menginjak prinsip-prinsip adat istiadat yang berasal dari nenek moyang turun temurun yang diwa­riskan, dijaga dengan baik, tumbuh, berkembang dan terpelihara dengan baik di Negeri Ameth.

Bukan itu saja, Mailoa dan Pari­nussa menilai pelantikan Wem Dirk Parinussa sebagai Kepala Peme­rintahan Negeri Ameth juga meng­abaikan pengukuhan gelar adat, berdasarkan adat istiadat dan hukum adat Negeri Ameth.

Dikatakan, saat ini di Negeri Ameth  masyarakat menduga  pelan­ti­kan Parinussa sebagai kepala pemerintahan atau raja lantaran berkaitan erat dengan bantuan-bantuan ke Negeri Ameth diantara­nya penyaluran dan penggunaan Bantuan Langsung Tuanai Dana Desa (BLT-DD) yang berasal dari Alokasi Dana Desa (ADD), Bantuan Sosial Tunai (BST), dan masih banyak lagi bantuan-bantuan lain­nya selain ADD-DD.

“Kalau soal bantuan-bantuan ini kan harus dipahamilah, siapa yang tidak mau jadi raja. Tapi kenyataan dalam penyaluran ke masyarakat tidak tepat sasaran bahkan tumpang tindih. Ini yang kami sesalkan,” kata mereka.

Selain itu, kepentingan lainnya yakni momentum politik di 2024, dimana bupati punya kepentingan karena ada kerabat yang bersang­kutan akan maju pada pilkada Malteng 2024 mendatang.

“Sistim mengabaikan tatanan adat di Malteng dan melantik raja tanpa melalui mekanisme yang sesung­guhnya akan merusak citra dan kewibawaan mata rumah parentah. Kami yakin wilayah-wilayah di Maluku Tengah tidak akan maju, karena keserakahan yang dilakukan oleh pemimpinnya,” pungkas Mailoa dan Manduapessy. (S-07)