Keberadaan bahasa dan budaya merupakan dua hal yang saling berhubungan. Di dalam sebuah bahasa akan terkandung budaya yang melekat pada penutur bahasa. Edward Sapir (1884—1939) dan Benjamin Lee Whorf (1897—1941), dalam teori relativitas bahasa, mengemukakan bahwa bangsa yang memiliki perbedaan bahasa dengan bangsa lainnya akan memiliki corak, tingkah laku, dan word view yang berbeda. Hal tersebutlah yang menyebabkan munculnya perbedaan identitas sosial budaya antarbangsa di dunia.

Hubungan antara bahasa dan budaya oleh para pakar antropolinguistik telah dirangkum Wardaugh dalam bukunya An Introduction to Sociolinguistics, tahun 2015. Menurutnya, hubungan antara bahasa dan budaya terlihat pada struktur sebuah bahasa yang juga menentukan cara pandang penutur bahasa dalam melihat dunia; budaya masyarakat tecermin dalam bahasa yang digunakannya karena masyarakat memiliki segala sesuatu dan bertindak dengan cara tertentu yang mencerminkan nilai dan perbuatan masyarakat tersebut. Perangkat-perangkat budaya tidak berpengaruh pada struktur bahasa, tetapi berpengaruh pada cara bahasa yang digunakan serta terdapat sedikit, atau bahkan tidak ada sama sekali hubungan antara bahasa dan budaya. Salah satu bentuk bukti bahwa bahasa dan budaya saling berkaitan adalah kosakata. Kosakata dianggap sebagai jendela untuk memahami pengetahuan dalam benak komunitas tutur tertentu.

Di Indonesia, hubungan antarbahasa dan budaya terlihat pada kosakata bahasa daerah di setiap wilayah Indonesia. Dalam kosakata bahasa daerah tecermin kosakata budaya. Sebagai negara yang memiliki aneka ragam bahasa dan budaya, masyarakat Indonesia akan memiliki konsep yang berbeda saat menginterpretasikan sebuah kosakata budaya. Hal tersebut karena adanya latar belakang budaya yang berbeda atau sama dengan budaya lain yang ada di Indonesia. Persamaan konsep dalam menginterpretasikan kosakata budaya yang dimiliki sebuah daerah akan dapat dicapai jika masyarakat Indonesia telah mengetahui informasi atau gambaran umum dalam sebuah kosakata budaya.

Kosakata yang berasal dari bahasa Bali akan mencerminkan kebiasaan masyarakat yang ada di sana, begitu pun kosakata yang berasal dari bahasa-bahasa daerah di Maluku. Di Bali, kosakata budaya yang telah diserap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mayoritas berasal dari bentuk penciptaan. Contoh kosakata budaya dari Bali yang telah diserap dalam bahasa Indonesia, yaitu ngaben, bade dan ogoh-ogoh. Dalam KBBI, lema ngaben bermakna ‘upacara pembakaran jenazah pada masyarakat Bali yang beragama Hindu’, lema bade bermakna ‘menara usungan mayat di Bali’, sedangkan ogoh-ogoh bermakna ‘patung yang terbuat dari bambu, kertas, dan sebagainya yang berbentuk raksasa dan lain-lain yang diarak keliling desa pada hari tertentu (biasanya sehari menjelang Nyepi)’. Jika ketiga kata tersebut diucapkan atau dibaca, akan terbayang bentuk kebudayaan yang ada di Bali. Munculnya bayangan budaya dalam lema-lema tersebut karena informasi budaya terkait lema telah diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia.

Provinsi Maluku merupakan provinsi pemilik bahasa daerah ketiga terbanyak di Indonesia dan turut menyumbangkan kosakata budayanya dalam KBBI. Terdapat banyak konsep budaya yang terekam pada kosakata budaya dalam KBBI. Konsep-konsep budaya tersebut dapat ditemukan pada makanan/minuman tradisional, pakaian adat, teknik melaut, teknik berkebun, tarian adat, nyanyian rakyat, dan sebagainya. Contoh kosakata budaya yang telah diserap dalam bahasa Indonesia adalah kewang, bambu gila, dan aisibia. Lema kewang dan bambu gila berasal dari bahasa Melayu Ambon, sedangkan lema aisibia berasal dari bahasa Boing. Lema kewang bermakna ‘polisi hutan’, lema bambu gila bermakna ‘permainan yang menggunakan bambu sebagai alat (Ambon)’, dan lema aisibia bermakna ‘kayu yang hanyut dibawa ombak ke tepi pantai’. Ketiga kosakata budaya tersebut sangat mencerminkan kebudayaan yang ada di Provinsi Maluku.

Baca Juga: 19 Warga SBT Terpapar HIV/AIDS Tertangani

Bagi masyarakat Maluku, lema kewang, bambu gila, dan aisibia sangat menggambarkan kebudayaan yang ada di Maluku. Mereka secara langsung dapat membayangkan budaya yang terkandung dalam lema-lema tersebut. Namun, hal itu mungkin akan berbeda bagi masyarakat di luar Maluku yang belum memperoleh informasi mengenai nilai dan budaya dalam lema-lema budaya tersebut. Oleh karena itu, penggunaan kosakata budaya yang berasal dari Maluku yang sudah terdapat di dalam KBBI harus sering digalakkan oleh masyarakat umum dan penyebaran informasi yang berhubungan dengan budaya-budaya di Maluku harus terus-menerus dilakukan agar dapat diketahui secara luas oleh seluruh masyarakat Indonesia. Oleh: Nita Handayani Hasan, S.S.Widyabasa Ahli Muda Kantor Bahasa Provinsi Maluku. (*)