AMSTERDAM ialah kota di Belanda yang jumlah wisatawannya dalam setahun lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah penduduk permanennya. Pada 2018, tercatat 19 juta wisatawan mengunjungi Amsterdam. Bandingkan dengan jumlah penduduknya yang cuma 850 ribu.

Ekses negatifnya tak terhindarkan, tak tertarakan. Kebisingan, mengonsumsi alkohol sembarangan, me­ludah sembarangan, pipis sembarangan, prostitusi, merupakan sejumlah ekses negatifnya. Banyak wisatawan berbuat suka-suka hingga penduduk Amsterdam merasa bukan tuan rumah di kota sendiri. Banyak penduduk Amsterdam menyingkir ke pinggiran atau luar kota supaya mendapat ketenangan.

Regulasi

Wali Kota Amsterdam Femke Haselma mengambil langkah-langkah untuk melindungi kota dan penduduknya. Salah satunya dengan menerbitkan regulasi untuk membatasi penggunaan rumah tinggal atau apartemen sebagai tempat menginap wisatawan. Wisatawan ‘disarankan’ menginap di hotel. Secara umum ongkos menginap di hotel tentu lebih mahal jika dibandingkan dengan menginap di rumah penduduk atau apartemen. Kebijakan ini diharapkan bisa menyeleksi wisatawan yang datang ke Amsterdam. Hanya wisatawan yang mampu membayar ongkos menginap di hotel yang datang ke Amsterdam.

Yang terjadi di Amsterdam, ketika jutaan wisatawan bertamasya ke sana, disebut turisme massal. Turisme massal ialah turisme yang mendatangkan turis sebanyak-banyaknya. Ukuran kesuksesannya bersifat kuantitatif, yakni banyaknya wisatawan yang datang. Turisme massal dianggap semakin sukses bila semakin banyak wisatawan berkunjung. Mass tourism menciptakan kerumunan wisatawan sehingga ia bisa disebut juga sebagai crowd tourism.

Baca Juga: Perlunya Pendidikan Budi Pekerti

Kebijakan Wali Kota Amsterdam bertujuan mencapai turisme berkualitas. Turisme berkualitas ialah turisme yang menyeleksi atau membatasi jumlah wisatawan demi menjaga lingkungan, cagar budaya atau sejarah, dan penduduk di lokasi wisata. Ukuran kesuksesan turisme berkualitas ialah terjaganya kualitas lingku­ngan, cagar budaya dan sejarah, serta penduduk di lokasi wisata.

Bilapun yang bersifat kuantitatif menjadi ukuran, bukan jumlah wisatawan yang dihitung, melainkan jum­lah uang yang dibelan­jakan wisatawan. Boleh jadi, uang yang dibelanjakan 10 wisatawan di destinasi wi­sata berkualitas setara bah­kan lebih besar jika diban­dingkan dengan uang yang dihabiskan 100 wisatawan di lokasi wisata massal. Tu­risme berkualitas memang lebih mahal bila diban­ding­kan dengan turisme massal. Secara kuantitatif yang men­jadi ukuran berapa besar de­visa yang diperoleh negara tu­juan wisata, bukan berapa ba­nyak wisatawan yang berta­masya ke negara tersebut.

Pandemi covid-19 kiranya menjadi pelajaran bagi kita untuk menerapkan kebija­kan turisme berkualitas. Bu­kankah virus menyebar me­lalui perpindahan (massal) manusia? Turisme berkua­litas mengurangi perpinda­han dan kerumunan manusia sehingga ia bisa me­ngurangi potensi penyebaran virus atau penyakit.

Ketika saya diundang Presiden Jokowi sewaktu saya menjadi Pemimpin Redaksi Media Indonesia pada akhir 2020, saya menyampaikan gagasan turisme berkualitas. Saya juga menyampaikan ide turisme berkualitas ini ketika berdiskusi dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif saat itu Wishnutama.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut B Panjaitan mencetuskan rencana pemerintah menaikkan harga tiket menaiki areal bangunan Candi Borobudur menjadi Rp750 ribu untuk wisatawan domestik dan US$100 bagi wisatawan asing. Rencana ini selayaknya kita pandang sebagai upaya mewujudkan gagasan turisme berkualitas.

Sudah saatnya Borobudur menuju turisme berkualitas. Borobudur warisan dunia yang harus kita jaga kelestariannya. Balai Konservasi Borobudur (BKB) mencatat keausan atau penipisan lapisan pada batuan Candi Borobudur, yakni mencapai 1,8 sentimeter setiap dikunjungi 50 juta wisatawan. Candi Borobudur rapuh karena diinjak-injak jutaan pengunjung.

Ikhtiar mencegah keausan candi

Pembatasan jumlah pengunjung yang akan menaiki bangunan Candi Borobudur ikhtiar mencegah keausan candi yang dibangun abad ke-8 itu. Pembatasan jumlah pengunjung yang menaiki Borobudur upaya menjaga kelestarian candi yang menjadi warisan dunia tersebut. Pembatasan jumlah pengunjung yang menaiki bangunan candi, salah satunya bisa dilakukan dengan member­lakukan harga tiket mahal. Penaikan harga tiket diberlakukan hanya bagi pengunjung yang hendak menaiki bangunan candi. Tiket bagi mereka yang hanya memasuki halaman candi untuk berswafoto, apalagi pelajar, tetap terbilang murah meriah.

Bagaimana membatasi jumlah pengunjung ialah hal teknis yang bisa kita diskusikan. Seberapa mahal harga tiket yang diberlakukan untuk membatasi jumlah pengunjung juga bisa didiskusikan. Peme­rintah menerima masukan dan saran masya­rakat. Presiden Jokowi kiranya akan memutuskan berapa harga tiket yang harus dibayar pengunjung untuk menaiki candi, tentu setelah mempertimbangkan suara masyarakat.

Terpenting kita menangkap substansi gagasan turisme berkualitas, bahwa rencana penaikan harga tiket buat pengunjung yang ingin menaiki Borobudur ialah demi melestarikan kualitas bangunan warisan sejarah dan budaya yang tak tertarakan nilai dan harganya itu. Oleh: Usman Kansong Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (*)