Bitter-Sweet Perjalanan Polri
Bitter-Sweet Perjalanan Polri
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan lembaga negara yang berfungsi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat untuk menjaga keamanan dalam negeri.
Lembaga ini berada di bawah Presiden, dan sejak mereformasikan diri tahun 1999 sebelumnya menyatu dengan TNI, Polri terus berbenah. Keberadaannya, tidak terlepas dari gempuran kritikan tajam masyarakat. Tidak sedikit masyarakat Indonesia mengkritisi institusi Polri terutama kinerjanya. Alhasil, mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat.
Perjalanan Polri hingga memasuki usia 77 tahun tidak terlepas dari pahit dan manis institusi itu menjaga keamanan dalam negeri. Lika liku perjalanan Polri dapat dikatakan ibarat cokelat. Perpaduan antara pahit dan manis. Boleh mengalami pahit getirnya perjalanan hidup, tapi tidak boleh berhenti dan kehilangan impiannya.
Dapat dikatakan, perjalanan hidup Polri adalah proses perjuangan tanpa henti. Ditaburi mimpi, diisi dengan tekad dan berani bertindak. Ketika pisah dari TNI, harapannya Polri menjadi lembaga profesional dan mandiri jauh dari intervensi terutama dalam rangka penegakkan hukum. Hal tersebut didasari perbedaan dalam pelaksanaan tugas. Polisi bertugas mengamankan masyarakat dalam menciptakan ketertiban dan keamanan. Sedangkan tugas militer (TNI) mengamankan negara dari ancaman musuh atau sebagai alat untuk bertempur.
Baca Juga: Integritas dan Tantangan Bagi Aparatur Sipil NegaraSuka duka perjalanan Polri sejak mereformasi diri sampai sekarang menjadi titik tolak untuk tetap professional. Tak bisa dipungkiri, sejak terpisah dan mandiri dari TNI, Polri dihadapkan dengan banyak tantangan. Dinamika pertumbuhan Polri juga tidak terlepas dari peran serta masyarakat Indonesia dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Polri sadar, kerja sama antara semua pihak untuk mencpai tujuan yang baik (sinergitas) merupakan kunci dalam menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat Indonesia. Olehnya, dalam setiap kesempatan, Polri dan TNI bergandengan mewujudkan keamanan dalam negeri.
Keamanan yang dimaksudkan tentu keamanan secara fisik dan psikis. Fakta membuktikan keberadaan Polri dan TNI ibarat dua sisi mata uang, dimana tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Polri dan TNI sama-sama melaksanakan tugas dan tanggung jawab negara dengan tujuan memastikan keamanan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Polri tetaplah Polri dan TNI tetap TNI. Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang nyaris sama, tetapi regulasi telah mengatur keduanya dalam bekerja sehingga tidak tumpang tindih. Pada era pasca reformasi, keberadaan Polri dan TNI dipisahkan yang sebelumnya berada dalam satu wadah komando (ABRI). Hal tersebut merupakan upaya profesionalisme dalam mewujudkan pertahanan dan keamanan negara.
Peran TNI dan Polri dalam bidang pertahanan dan keamanan secara institusional tugas dan wewenang serta tanggung jawab itu terpisah. TNI membidangi pertahanan, Polri membidangi keamanan. Tugas, fungsi dan wewenang TNI diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 dan Polri diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002.
Dalam hal menjaga keamanan, Polri dikenal dengan slogan melindungi, mengayomi dan melayani. Slogan tersebut bukan asal bunyi. Di satu sisi slogan ini merupakan amanat konstitusi, di sisi lain ditemukannya perilaku oknum-oknum personel Polri di lapangan jauh dari harapan, sehingga banyak oknum anggota Polri yang melanggarnya.
Suka atau tidak, perilaku negatif oknum anggota Polri itu otomatis mencoreng nama institusi. Kaitannya dengan itu, profesionalisme menjadi pijakan Polri dalam mengembang tugas dan tangung jawab negara. Di pundak Polri, tidak hanya memberikan rasa aman bagi masyarakat, tetapi tugas-tugas kemanusiaan lain menuntutnya memberikan pelayanan nyata sebagaimana slogan melayani, melindungi dan mengayomi itu.
Ada banyak peran yang dilakoni Polri seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022. Melaksanakan tugas-tugas tersebut terkadang bukan karena tanggung jawab pekerjaan semata, tetapi hati nurani mendominasi tugas-tugas tersebut. Contoh, tidak sengaja di jalan ada angkot yang mogok, polisi lalu lintas melihat itu dengan ikhlas mendorong mobil tersebut untuk menghindar kemacetan.
Termasuk ikut membantu ibu hamil menyeberangi jalan atau hendak melahirkan tapi tinggal jauh dari fasilitas kesehatan terdekat. Membantu orang tua dan orang cacat semua itu dilakukan dengan hati. Tugas dan pelayanan kemanusiaan lainnya yakni ikut mengamankan gereja dan mesjid disaat umat Kristen dan Islam beribadah. Fakta ini ditemukan di Kota Ambon.
Kenyataan lainnya, di Maluku sejumlah anggota Polri berperan sebagai guru dan mengajar di sekolah. Oknum-oknum anggota Polri ini sadar, letak geografis Maluku terdiri dari ribuan pulau, dimana luas lautan lebih besar (658.294 Km2 atau 92,4 persen) dari daratan (54.185 Km2 atau 7,6 persen), sehingga tidak mengherankan mereka ikut berperan mencerdaskan generasi bangsa di pedalaman Maluku.
Dari fakta di atas, sejatinya Indonesia dari Pulau Sabang sampai Merauke, pelayanan Polri kepada masyarakat beragam. Kendati demikian sering masyarakat diperhadapkan dengan perilaku menyimpang oknum-oknum anggota Polri. Kondisi ini berimbas kepada tingkat kepercayaan masyarakat lantaran ketidakprofesionalisme oknum-oknum tersebut dalam menjalankan tugas.
Apalagi, di tengah perbincangan publik yang luas atas Polri saat ini, sudah saatnya melakukan perubahan di tubuh Polri sebagai ikhtiar meningkatkan kepercayaan publik. Caranya, dengan mengembalikan profesionalisme dan integritas yang dibangun di internal institusi Polri. Profesionalisme dan integritas harus ditanamkan sejak proses rekruitmen anggota kepolisian.
Sebab profesionalisme dan integritas harus tercermin dalam perilaku seluruh jajaran Polri termasuk menangani kasus secara efektif dan bebas dari penyimpangan. Sadar atau tidak, tuntutan mendasar yang harus terpenuhi agar profesionalisme Polri dapat terwujud, dimulai dari rekruitmen anggota Polri yang baik.
Hal itu sebagai upaya untuk memperbaiki bibit unggul Polri yang berkualitas, namun harus diawasi dengan baik pula. Untuk mendapatkan bibit unggul anggota Polri yang terbaik, saat ini proses penerimaan anggota Polri mengacu pada prinsip dasar BETAH yang merupakan kepanjangan dari Bersih, Transparan, Akuntabel dan Humanis.
Dimana, semua tahapan seleksi yang pelaksanannya di seluruh Indonesia dilakukan secara terbuka. Peserta seleksi dapat melihat sendiri hasil seleksi di setiap tahapan. Mulai dari proses penerimaan berkas, pemeriksaan administrasi, kesehatan, tes akademik, psikotes dan kesamaptaan serta jasmani hingga proses kelulusan semua dalam pengawasan panitia baik internal maupun eksternal.
Berdasarkan perintah Kapolri, setiap panitia baik daerah maupun di pusat, harus membentuk tim pengawas internal dan eksternal. Untuk pengawas internal terdiri dari Itwasda dan Bidpropam. Sedangkan pengawas eksternal terdiri dari Dinas Pendidikan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Ikatan Dokter Indonesia, unsur akademisi (psikologi), KONI, tokoh masyarakat, LSM dan pers.
Tujuannya melalui seleksi dengan mengacu pada prinsip BETAH itu, mampu menghasilkan polisi professional, modern dan terpercaya. Dari sinilah muncul anggota Polri dengan berbagai skill dan sepesialisasinya. Ada yang punya skill intel, reserse hingga menjaga perbatasan negara.
Untuk polisi perbatasan bagi Indonesia sangat penting, mengingat posisi perbatasan memiliki nilai politik dan strategi keamanan. Wilayah Indonesia yang luas dan diapit negara-negara tetangga sangat rentang terhadap disintegrasi bangsa. Disinilah peran polisi perbatasan itu. Point penting dari polisi perbatasan yakni bagaimana mempersiapkan mentalnya.
Tidak mudah menjadi polisi perbatasan, sebab keberadaan satuan ini diperhadapkan dengan mentalitas , situasi, dinamika dan kondisi wilayah. Namanya saja perbatasan, keterbatasan dalam hal apapun ditemui di wilayah tersebut. Suka dan duka akan dihadapi setiap personel polisi perbatasan.
Di perbatasan sejumlah faktor yang menjadi tantangan dalam tugas yakni medan yang harus dihadapi rawan kamtibmas, kejahatan transnasional dan cenderung memiliki permasalahan yang kompleks. Faktor lainnya masalah ideologi, sumber daya alam, pertahanan, keamanan, ekonomi, sosial budaya, geografis dan politik. Termasuk masalah sarana komunikasi menjadi momok dalam menjalani tugas di perbatasan.
Sementara zaman sekarang, orang diperhadapkan dengan arus digitalisasi dan informasi yang menuntut intensnya sektor komunikasi. Otomatis, tidak adanya sarana komunikasi menjadikan kepolisian di wilayah perbatasan kewalahan. Begitupun sarana transportasi juga ikut menjadi tantangan dalam menjalankan tugas pengamanan di jalur perbatasan. Ini berdampak pada pasokan logistik anggota polisi perbatasan.
Kondisi ini harus diperhatikan dengan baik oleh institusi Polri guna menghindari penilaian wilayah perbatasan seolah-olah menjadi tempat pengasingan bagi anggota Polri yang ditugaskan di perbatasan. Disisi lain, pada sejumlah kasus ditemukan tindakan tidak terpuji kerap dilakukan oknum-oknum anggota Polri di perbatasan.
Sejumlah tindakan kriminal seperti terlibat transaksi narkoba, kayu illegal, ikan illegal dan lain sebagainya. Namun lebih daripada itu patut bersyukur, tindakan-tindakan penyimpangan anggota Polri tersebut dapat diendus dan akhirnya diberikan sanksi berat dari atasan termasuk pemecatan.
Tidak mudah menjadi anggota Polri. Meskipun saat rekruitmen tidak dipungut biaya, tetapi saat lulus dan menjadi anggota Polri beban tugas cukup berat. Dimanapun kita berada, Polri ada di mana-mana. Tentu keberadaan Polri untuk memastikan keamanan masyarakat.. Selama Polri ada untuk menjaga keamanan, masyarakat tidak perlu takut kecuali negara ini sudah bubar.
Berada di area vital atau objek khusus pun masyarakat tidak perlu ragu, sebab pengamanan kepolisian terhadap objek-objek khusus tertuang dalam berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Pengamanan kepolisian ini mencakup semua hal termasuk pengamanan pemilihan umum (Pemilu).
Meski pengamanan pemilu merupakan tugas dari negara sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pemilu secara nasional, yang mana secara teknis penyelenggara ada pada KPU dan Bawaslu, tapi pemerintah menempatkan Polri dan TNI sebagai unsur dalam mengamankan pesta demokrasi lima tahunan itu.
Pemilu menjadi ajang pembuktian, Polri siap menjaga wilayah keutuhan Indonesia. Sebab momentum tersebut rawan Kamtibmas yang berpotensi terhadap masuknya kekuatan-keuatan lain yang dapat merongrong persatuan dan kesatuan bangsa. Polri juga dituntut tidak memihak kepada salah satu kubuh atau kelompok selama melakukan pengamanan Pemilu.
Di Indonesia Pemilu tidak hanya pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif baik DPR, DPRD dan DPD, tapi juga pemilihan kepala daerah yakni gubernur, bupati dan walikota. Polri dalam kaitan dengan pengamanan dituntut untuk netral tidak berpihak kepada salah satu kelompok, meskipun di tubuh Polri ada hak memilih yakni anggota keluarga dari Polri itu sendiri.
Karena itu, pengamanan pemilu tidak hanya sebatas personel berjaga-jaga di lapangan atau di tempat-tempat kampanye maupun di TPS dan lain sebagainya, tapi peran Polri yakni melakukan sosialisasi dan edukasi. Misalnya, membuat forum diskusi terarah melibatkan komponen-komponen masyarakat agar selalu menjaga persatuan dan kesatuan.
Pengamanan lainnya melakukan patroli saiber guna memberikan peringatan kepada orang-orang yang menyebarkan konten-konten profokatif dan lainnya termasuk penegakkan hukum. Memang, kepolisian di negara manapun selalu berada dalam dilema kepentingan kekuasaan yang selalu menjadi garda terdepan perbedaan pendapat antara kekuasaan dan masyarakatnya. Begitupun sistim kepolisian suatu negara sangat dipengaruhi oleh sistim politik serta kontrol sosial yang diterapkan.
Indonesia sendiri, kontrol sosial yang dimaksud yakni soal kepedulian masyarakat menilai sejauh mana kinerja Polri dalam menjawab tuntutan masyarakat yang serba kompleks. Tidak heran jika ada perbuatan atau kasus yang melibatkan oknum anggota Polri langsung mendapat reaksi keras dari masyarakat.
Semua ini karena masyarakat menaruh harapan besar di pundak Polri untuk terus berbenah diri pasca Polri menjadi sipil terpisah dari TNI. Sikap tidak terpuji yang kerap dipertontonkan Polri semoga kedepan tidak terjadi lagi dan Polri mendapat kepercayaan serta tempat di hati masyarakat Indonesia.
Khusus Pemilu, rakyat Indonesia sudah semakin matang dalam berdemokrasi. Tinggal bagaimana menjaga dan merawat kepercayaan rakyat terhadap proses demokrasi pada Pemilu serentak 2024 mendatang. Rakyat Indonesia berharap Pemilu berjalan damai. Olehnya itu, Polri harus berada pada garda terdepan dalam pengamanannya.
Pengamanan intens akan dilakukan saat kampanye Pemilu Damai. Sebab di agenda tersebut ada deklrasi peserta pemilu melakukan pemilihan dengan tertib dan aman. Saat itu KPU selaku penyelenggara Pemilu secara resmi membuka kampanye. Polri harus waspada dan berada pada posisi netral. Hal itu dikarenakan kampanye damai berpotensi terjadi pelanggaran seperti politik uang, kampanye hitam, isu SARA dan penyebaran berita bohong (hoaks).
Netralitas Polri dalam Pemilu secara implisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 pasal 28 ayat 1 yang menyebutkan Kepolisian Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Dengan demikian, Polri memiliki peran yang krusial dalam menjaga setiap tahapan penyelenggaraan pemilu agar aman dan kondusif.
Selain itu, netralitas dalam Pemilu merupakan bagian dari upaya terciptanya good policing (kepolisian terbaik), Semangat ini sebagai upaya menghadirkan kehidupan yang demokratis, tegaknya supremasi hukum, pemberian pelayanan yang demokratis dan nondiskriminatif serta adanya perlindungan HAM dalam segala tugas dan implementasi kerja polisi.
Di even pesta demokrasi lima tahunan ini, sebagai pihak yang dituntut menjaga netralitas, Polri harus melaksanakannya secara utuh dan menyeluruh karena akan menjadi modal penting bagi peningkatan profesionalisme fungsi kepolisian.
Memainkan perannya di Pemilu hal yang harus diperhatikan Polri yakni pengamanan pada setiap tahapan agar penyelenggaraan dapat berjalan dengan aman dan lancar. Selanjutnya melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pemilu yang dilaporkan kepada Polri melalui Bawaslu, Panwaslu provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu melakukan tugas lainnya menurut perundangan yang berlaku seperti melaksanakan tugas pelayanan, penerimaan pemberitahuan kegiatan kampanye atau pemberian izin kepada peserta pemilu.
Termasuk membantu KPU dalam pendistribusian dan pengamanan perlengkapan pemungutan suara. Dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu. Semua peran Polri dalam Pemilu ini telah diatur dalam undang-undang yang berlaku. Bahkan sejalan dengan jargon PRESISI dibawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. PRESISI merupakan akronim dari prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan.Oleh: Batje Warlauw (Wartawan Harian Pagi Siwalima-Ambon)
Tinggalkan Balasan