Bessy: Lahan PLTMG Namlea Tanah Adat Bukan Erpach
AMBON, Siwalimanews – Mantan Raja Lilialy, Sudirman Bessy menegaskan, lahan milik pengusaha Feri Tanaya (FT) yang dibeli pihak PLN untuk keperluan pembangunan proyek PLTMG Namlea adalah tanah adat dan bukan tanah milik negara.
Hal itu ditegaskan Sudirman Bessy saat memberikan keterangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Ambon, dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan lahan PLTMG Namlea, Selasa (22/6).
Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Pasti Tarigan. Dalam keterangannya kepada majelis hakim, Sudirman Bessy mengaku FT memperoleh lahan tersebut dari Sadrach Wakanno.
Saksi juga menerangkan mengetahui kalau lahan tersebut merupakan dusun kebun kelapa milik keluarga Wakanno yang sudah dimiliki sebelum Indonesia merdeka.
Menurut saksi sangat berdosa FT dibilang rampok tanah milik negara dan menjualnya kepada PLN.
Baca Juga: Sah, Seleksi CPNS dan PPPK Diundurkan“Yang mulia, di Namlea itu tanah-tanah adat dan bukan tanah erpacht. Selama saya kecil sampe sudah uban ini belum pernah saya dengar di Namlea itu tanah erpacht. Jadi saya tegaskan tanah-tanah di Namlea itu tanah adat. Tanah yang dimiliki FT itu tanah adat yang sebelumnya milik keluarga Wakanno. FT membelinya dari keluarga Wakanno,” ungkap Bessy.
Purnawirawan TNI ini menyayangkan adanya proses hukum yang dilakukan Kejati Maluku terhadap FT yang akibatnya pembangunan PLTMG Namlea yang notabene proyek strategis nasional menjadi mangkarak.
Padahal masyarakat di Buru dan Bursel belum menikmati listrik dengan baik sampai saat ini.
“Saya secara pribadi sayangkan ada kasus ini sampe di pengadilan. Seharusnya tidak dan proyek itu harus berjalan. Nyatanya proyek mangkrak akibat proses hukum,” ujarnya
Dikatakan, lantaran status tanah di Namlea merupakan tanah adat, olehnya siapapun yang hendak membeli, cukup diketahui Raja dan Camat saja tanah tersebut bisa dilepaskan. “Yang saya tahu sejak saya kecil sampe uban ini, siapapun yang mau beli tanah harus melalui raja baru ke camat. Kalau sudah begitu boleh tanah dijual,” ungkap Sudirman Bessy.
Ia juga membantah dengan tegas pertanyaan ketua majelis hakim Pasti Tarigan yang katanya tanah Fery Tanaya yang dijual ke PLN itu milik Abdul Rauf Tuatanaty.
“Yang mulia, Abdul Rauf ini lahannya jauh dari lahan Fery Tanaya. Jadi saat Fery beli dari Wakanno kemudian Fery bikin kebun di lahan itu,” pungkas Bessy.
Rekayasa
Sebelumnya diberitakan, fakta persidangan ditemukan kasus yang dituduhkan kepada pemilik lahan Fery Tanaya (FT) bernuansa rekayasa.
“Menurut saya ini adalah suatu kejahatan hukum luar biasa. Korps Adhyaksa Maluku dibawah pimpinan Rorogo Zega tidak peduli kalau proyek ini adalah proyek strategis nasional untuk kepentingan umum yang sangat dibutuhkan rakyat seperti penjelasan PLN di persidangan kepada majelis hakim, jelas Hendry Lusikooy Kuasa Hukum Fery Tanaya pekan kemarin.
Dalam persidangan fakta terungkap bahwa harga ganti rugi berdasarkan Nilai Penganti Wajar dan ditentukan oleh KJJP. Keterangan ini sudah dijelaskan kepada penyidik dan penyidik Korps Adyaksa Maluku semua sudah tahu hal ini.
Sementara itokoh masyarakat Buru, Talim Wamnebo menyayangkan proses penegakan hukum yang dilakukan pihak Kejati Maluku.
“Sebagai rakyat kita mempertanyakan ahklak, moral dari pembohongan- pembohongan ini. Hal lain yang terungkap juga dalam Proyek PLTMG ini, pihak PLN melakukan ganti rugi bukan hanya milik FT tapi ada juga pemilik lain untuk keperluan gardu induk dan gardu mini,” jelas Wamnebo.
Dia mengungkapkan, untuk Gardu Induk, pihak PLN menggandeng Kejati Maluku untuk melakukan verifikasi dokumen dan mengawal sampai pembayaran.
“Disini fakta persidangan terbukti Korps Adyaksa Maluku juga membuat kejahatan hukum yang tidak berkeadilan. Penyidik Kejati Maluku menetapkan FT sebagai tersangka dengan alasan kebun yang dibeli berdasarkan AJB tahun 1985 itu bekas hak barat yang tidak dikonfersi sehingga menjadi tanah yang langsung dikuasai negara. Tapi fakta persidangan terungkap kalau Korps Adyaksa Maluku juga mengutus team yg diketuai jaksa Agus Sirait meloloskan dokumen bekas hak barat yang tidak dikonfersi milik Waris Said Bin Thalib dan melakukan pembayaran ganti rugi langsung kepada pemiliknya. Bagaimana penerapan hukum seperti ini bisa terjadi di negara kita,”heran Wamnebo.
Disisi lain.Lusikooy menambahkan, penjelasan GM PLN bahwa ini proyek strategis nasional untuk pemenuhan kekurangan listrik masyarakat. Mengapa ada pihak-pihak berani dan sengaja merongrong hingga proyek ini menjadi gagal. Kalau Presiden masih berbiarkan rekayasa kasus ini, bukan tidak mungkin akan ada lagi Proyek Strategis Nasional yang menjadi gagal karena digarong untuk kepentingan terselubung dan niat jahat oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Kalau Presiden Jokowi tidak turun tangan dan kasus kasus begini dibiarkan terus maka negara kita kacau dalam penerapan hukum. Karena pengusaha, Pimpinan Proyek akan menjadi korban dan dijadikan santapan empuk, tidak peduli proyek untuk kesejahteraan rakyat. Bertopeng penegakkan hukum dengan niat tidak baik, dan selalu berlindung dibawah institusi. Akan ada lagi korban -korban yang nota bene pengusaha akan menjadi korban,” beber Lusikooy
Masih kata Lusikooy dalam kesaksian penjelasan kepala BPN Buru juga sangat jelas dan terang bahwa terhambatnya proses Sertifikat HGB yg diajukan oleh PLN disebabkan karena penyidik Kejati Maluku telah menyita semua berkas-berkas dari Kantor BPN Buru. Kalau tidak ada penyitaan, maka semua dokumen telah dikirim untuk Kakanwil menerbitkan Sertifikat karena semua proses sudah clear sesuai Undang Undang. (S-32)
Tinggalkan Balasan