Belajar dari Pandemi
PANDEMI covid-19 masih terus melanda dunia. Memang, dalam beberapa minggu ini angkanya sedikit menurun, tetapi kecenderungannya masih harus kita ikuti dengan cermat. Tentu, kita masih harus waspada dan tetap melakukan upaya penanggulangan secara maksimal sambil terus mengikuti perkembangan epidemiologi yang ada. Apakah memang akan melandai dan menurun seperti harapan kita, atau mungkin saja menurun sebentar dan lalu bergerak naik lagi, atau bahkan, apakah akan menurun dan lalu meningkat lagi dalam bentuk gelombang kedua (second wave) di dunia.
Pascapandemi Kita perlu belajar dari pengalaman pandemi yang lalu dan memulai upaya untuk perbaikan pelayanan kesehatan. Kita tahu bahwa pada 1918 dunia dilanda pandemi influenza yang amat besar, dan ketika itu ada gelombang kedua pula. Tentu banyak yang kita dapat pelajari dari pandemi ini. Hanya saja, situasi 1918 tentu jauh berbeda dengan situasi sekarang ini, yang sudah lebih dari 100 tahun. Kalau mau melihat yang terjadi lebih baru, pada 11 Juni 2009 Direktur Jenderal World Health Organization (WHO) ketika itu, Dr Margaret Chan, menyatakan bahwa dunia memasuki pandemi influenza H1N1.
Setelah melakukan berbagai upaya maksimal lebih dari setahun, pada 10 Agustus 2010 WHO menyatakan pandemi sudah selesai dan dunia masuk era pascapandemi. Ada tiga hal yang disampaikan WHO terkait pascapandemi sekitar 10 tahun yang lalu ini, yang sebagian dapat kita jadikan bahan analisis. Pertama, jelas disebutkan bahwa walaupun pandemi influenza H1N1 sudah berhenti, virus dan penyakitnya tidaklah hilang, tetap ada, bahkan sampai sekarang. Kalau kita analogikan dengan covid-19, mungkin juga hal serupa akan terjadi kalau nanti pandemi sekarang akan berakhir. Hal kedua, disampaikan bahwa pandemi dan virus yang menyebabkannya masih sulit diperkirakan bagaimana perkembangannya. Juga disebutkan, walaupun pandemi telah berakhir, masih akan ada
hal yang belum sepenuhnya diketahui. Masih akan ada pertanyaan yang belum bisa terjawab. Tampaknya hal yang sama juga akan terjadi pada covid-19 kelak. Hal ketiga, setelah selesai pandemi influenza H1N1 pada 2010, maka WHO menekankan bahwa dunia harus tetap waspada dan dengan penuh perhatian melaksanakan surveilans, vaksinasi, dan penanganan klinis dengan baik. Kembali, hal seperti ini juga akan perlu kita antisipasi dalam kaitan dengan covid-19.
Dunia tetap tidak siap Sesudah pandemi influenza H1N1 selesai, WHO membentuk komite untuk menilai bagaimana dunia menangani pandemi itu. Komite bernama Review Committee on the Functioning of the International Health Regulations (2005) in Relation to Pandemic (H1N1) 2009 ini beranggotakan 25 pakar kesehatan internasional, dan saya kebetulan salah satu di antaranya. Kesimpulan komite ini, antara lain, menyatakan bahwa ternyata dunia tidak siap untuk menghadapi kedaruratan kesehatan seperti pandemi. Kalimat aslinya, the world is ill prepared. Tentu, pernyataan itu disertai harapan agar di masa datang hal ini diperbaiki. Dalam perjalanan waktu, tentu dunia, WHO, dan berbagai negara melakukan berbagai upaya perbaikan untuk lebih siap kalau ada pandemi lagi.
Baca Juga: Minuman Beralkohol Riwayatmu KiniHanya saja, nyatanya hasilnya tidaklah memadai. Pada Mei 2018, grup World Bank dan World Health Organization kembali membentuk badan independen untuk menilai kesiapan dunia menghadapi pandemi. Badan ini diberi nama Global Preparedness Monitoring Board (GPMB), yang beranggotakan 15 orang, terdiri atas politisi, pimpinan organisasi internasional, dan pakar kesehatan, dengan dipimpin mantan Perdana Menteri Norwegia dan mantan Direktur Jenderal WHO Dr Gro Harlem Brundtland serta Sekretaris Jenderal International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies Mr Elhadj As Sy. Pada September 2019, tiga bulan sebelum covid-19 pertama kali dilaporkan, badan ini menyampaikan pernyataan bahwa dunia berhadapan dengan risiko pandemi yang dapat membunuh jutaan orang. Badan ini lalu menyatakan bahwa dunia tidak siap, the world is not prepared. Kalimat yang hampir sama dengan pernyataan komite pada 2010. Jadi, sekitar 10 tahun berlalu tanpa kemajuan berarti. Kalau komite yang mengevaluasi pandemi influenza H1N1 dibentuk setelah pandemi selesai, lain halnya untuk pandemi covid-19 ini. Karena amat besarnya masalah dan tingginya tuntutan negara anggota, pada 9 Juli 2020 WHO membentuk Independent Panel for Pandemic Preparedness and Response (IPPR) untuk mengevaluasi respons dunia dalam menangani pandemi covid-19. Tidak tanggung-tanggung, panel ini dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Selandia Baru Helen Clark yang kemudian memimpin United Nations Development Programme (UNDP) dan mantan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian. Laporan panel ini, yang disampaikan pada Januari 2021, menyatakan bahwa dunia tidak siap menghadapi pandemi. Kalimat aslinya, The world was not prepared, and must do better. Artinya, pernyataan komite pada 2010, badan pada 2019, dan panel independen pada 2021 sama saja isinya; dunia dan kita semua belum dan tidak siap, dan tampaknya belum ada perbaikan berarti.
Masa datang Agar tidak membuat kesalahan yang sama di masa mendatang, ada lima hal penting yang perlu dilakukan dalam program kesehatan masyarakat di dunia dan juga di Indonesia. Pertama, masyarakat harus jadi subjek dan unsur utama dari kegiatan kesehatan masyarakat, jangan jadi objek semata. Istilah partisipasi masyarakat mungkin kurang kuat, pemberdayaan masayarakat juga masih belum cukup kuat. Program kesehatan masyarakat seyogianya jadi milik masyarakat dan diterapkan untuk sepenuhnya kepentingan derajat kesehatan masyarakat dan bangsa. Hal kedua ialah pentingnya aspek promotif dan preventif berjalan bersama dengan kuratif dan rehabilitatif. Artinya, titik berat kegiatan haruslah untuk membuat masyarakat hidup sehat, walau tentu, kalau ada yang sakit, maka ditangani dengan baik dalam sistem yang ada. Kesadaran hidup sehat harus menjadi pola dasar utama kehidupan masyarakat. Hal ketiga, kesiapan sumber daya kesehatan, utamanya sumber daya manusia yang ditunjang dengan sumber daya alat, finansial, dan sistem pengorganisasian yang baik. Termasuk, jaminan pelayanan kesehatan semesta, universal health coverage. Yang keempat ialah kesadaran, bahwa masalah kesehatan itu multidimensional, tidak dapat diselesaikan oleh unsur kesehatan semata. Salah satu contoh klasik ialah penempatan petugas kesehatan di daerah terpencil, yang bukan saja perlu sarana dan prasarana kesehatan, tapi juga butuh dukungan transportasi ke daerah itu, sekolah untuk anak-anaknya, sarana telekomunikasi yang memadai, dan lain-lain. Hal kelima ialah pentingnya kerja sama kesehatan global.
Dunia kini nyaris tanpa batas, borderless. Orang dapat makan malam di Asia, esoknya makan pagi di Eropa, dan dilanjutkan makan malam di Amerika, tentu kalau penerbangan sudah dibuka kembali kelak. Dari sisi kesehatan, maka penyakit menular dapat saja dengan relatif mudah berpindah antarnegara dan antarbenua, bahkan dalam hitungan hari saja. Bakteri atau virus tidak perlu ‘paspor’ untuk menular antarnegara. Di sisi lain, kerja sama internasional juga amat diperlukan untuk ketersediaan sumber daya, seperti halnya vaksin covid-19 sekarang ini. Dalam hal kerja sama global ini, Indonesia bukan hanya harus berpartisipasi nyata, tetapi kita harus mengambil inisiatif aktif dalam arena diplomasi kesehatan global.( Tjandra Yoga Aditama , Guru Besar FKUI, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Mantan Direktur WHO SEARO, dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes)
Tinggalkan Balasan