AMBON, Siwalimanews – Bank milik daerah itu kini terancam turun kelas menjadi bank perkreditan rakyat.

Saat sejumlah bank daerah berlomba untuk keluar dari ancaman degradasi modal inti Rp3 triliun, Bank Maluku masih disibukkan dengan remunerasi jumbo garapan komisaris dan direksi yang tak sesuai aturan.

Akibatnya, bank kebanggaan milik daerah itu terancam terlempar dari statusnya sebagai bank umum, dan turun level menjadi bank perkreditan rakyat.

BPR adalah bank dengan layanan terbatas dan hanya bisa memberikan layanan simpanan tabungan dan deposito. Wilayah operasi BPR lebih terbatas dari bank umum. Modal inti BPR berada di bawah Rp 100 miliar.

Sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12 Tahun 2020, setiap bank milik pemerintah daerah wajib memenuhi modal minimum tiga triliun per 31 Desember 2024.

Baca Juga: KPK Bongkar Trik Korupsi di Eksekutif & Legislatif Ambon

Berdasarkan laporan keuangan triwulanan bank per Maret 2023, modal inti Bank Maluku-Malut hanya sebesar Rp1,61 triliun dengan klasifikasi Bank BUKU II.

OJK masih memberikan tenggat waktu bagi bank pembangunan daerah untuk memenuhi ketentuan modal inti Rp3 triliun sampai akhir tahun 2024 nanti.

Walau demikian, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengungkapkan, pihaknya tidak akan menunggu sampai batas waktu dan sudah mendorong ketentuan pemenuhan modal ini dengan skema kelompok usaha bersama (KUB), sesuai dengan POJK 12/POJK.03/2020.

Dengan skema ini, bank anggota hanya perlu memiliki modal inti sebesar Rp1 triliun. Sementara bank induk akan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan anggota skema KUB ini.

Fokus Modal Inti

Menanggapi banyaknya masalah yang melilit Bank Maluku-Malut, akademisi Fakultas Ekonomi UKIM, Elia Radianto mengatakan, semestinya pihak direksi Bank Maluku-Malut fokus melakukan koordinasi dengan para pemilik saham, agar dapat memenuhi modal inti sebagaimana yang diatur dalam POJK Nomor 12 Tahun 2020 itu bahwa bank milik daerah mesti memenuhi modal inti minimum 3 triliun rupiah paling lambat 31 Desember 2024.

“Peraturan OJK ini harus dibahas bersama dengan para pemilik saham dalam RUPS, agar ada solusinya, apalagi peraturan ini sudah ditetapkan sejak tahun 2020, tapi belum ada langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh manajemen Bank Maluku-Malut,” ungkap Radianto, kepada Siwalima, melalui telepon selulernya, Minggu (19/8).

Radianto juga mengaku kaget juga disaat modal intinya belum tercapai sebagaimana peraturan OJK itu namun usulan OJK untuk melaksanakan skema KUB itu diabaikan dan mengejar remunerasi bagi para direksi dan pejabat bank.

“Remunerasi itu sah-sah saja diberikan jika tidak bertentangan dengan aturan tetapi jika tidak dibahas dan ditetapkan dalam RUPS maka itu melanggar aturan, di satu sisi pihak bank harus mengumpulkan modal inti tetapi justru skema KUB diabaikan,” katanya.

Dijelaskan, jika skema KUB ini digunakan oleh manajemen Bank Maluku-Malut, maka tentunya bisa mengembangkan dan menguatkan BPD karena adanya sinergi bisnis,  penguatan infrastruktur dan  perbaikan governance dan manajemen risiko.

“Ini harus menjadi catatan penting dan perhatian dari manajemen Bank Maluku-Malut, solusi yang diberikan OJK itu harus dilakukan supaya bisa menjadi solusi agar modal inti itu bisa dicapai sebagaimana Peraturan OJK tersebut,” ujarnya.

Tak hanya menggunakan skema UKB, kata Radianto, untuk mencapai modal inti Rp3 triliun itu, Bank Maluku-Malut bisa menambah setoran modal, tingkatkan laba organik maupun melakukan aksi korporasi melalui Pasar Modal.

“Selain menggunakan skema SKB, tetapi bisa juga dengan menambah setoran modal, tingkatkan laba organik maupun melakukan aksi korporasi melalui Pasar Modal,” pintanya.

Kata Radianto, semua itu bisa dilakukan asalkan manajemen Bank Maluku-Malut harus diperbaiki khususnya infrastruktur SDM yang dinilai belum memadai.

“Manajemen di Bank Maluku-Maluku harus juga dievaluasi dan diperbaiki, setidaknya infrastruktur SDM juga harus menjadi perhatian,” tandasnya.

Kejar Setoran

Kendati Otoritas Jasa Keuangan telah memberikan warning terkait modal dasar bank milik pemerintah daerah sebesar Rp3 triliun, namun Direksi PT Bank Maluku Malut masih bergulat dengan remunerasi.

Praktisi hukum, Hendrik Lusikoy menyayangkan kinerja Direksi dan Komisaris Bank Maluku-Malut yang hingga saat ini masih berjibaku dengan pembayaran remunerasi dan  tidak memperhatikan persoalan di depan mata terkait dengan modal dasar bank pemerintah daerah yang harus mencapai Rph3 triliun rupiah.

Menurutnya, persoalan modal inti bank pemerintah daerah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan persoalan remunerasi yang sifatnya kepentingan individu.

“Sebenarnya direksi dan komisaris Bank Maluku-Malut harus memprioritaskan peningkatan modal dasar yang 3 triliun rupiah itu bukan soal remunerasi, karena ini menyangkut kelangsungan hidup bank Daerah,” kesal Lusikoy kepada Siwalima, melalui telepon selulernya, Sabtu (19/8).

 

Dijelaskan, remunerasi merupakan penghargaan kepada jajaran direksi dan komisaris serta staf yang telah berhasil meningkatkan pendapatan bank, namun faktanya sampai saat ini pendapat bank justru belum mencapai modal dasar sebagaimana dipersyaratkan oleh OJK.

Lusikoy menegaskan skema KUB yang menjadi solusi OJK, mestinya menjadi prioritas direksi dan komisaris bukan mempersoalkan remunerasi yang bermasalah.

“Direksi dan komisaris ini harus tinggalkan dulu persoalan remunerasi sebab kendati disetujui oleh pemegang saham itu adalah pelanggaran hukum karena persetujuan itu tidak berlaku surut, jadi fokus ke modal dasar dulu,” tegasnya.

Lusikoy juga mendesak aparat penegak hukum agar mengusut dugaan pemberian remunerasi bodong Bank Maluku  yang mengakibatkan kerugian negara belasan juta itu.

“Ini harus diusut oleh aparat penegak hukum baik polisi atau jaksa karena diduga telah mengakibatkan kerugian negara apalagi telah melanggar aturan karena mestinya persetujuan dilakukan dalam RUPS terlebih dahulu baru dilakukan pembayaran namun yang terjadi tidak ditetapkan dalam RUPS namun proses pembayaran dilakukan sehingga ini adalah pintu masuk untuk melakukan penyelidikan,” tandasnya.

Urus Modal Inti

Terpisah, Praktisi Hukum, Alfaris Laturake juga meminta Direksi dan Komisaris Bank Maluku-Malut untuk lebih fokus untuk meningkatkan modal inti bank.

Dijelaskan, konsekuensi dari tidak tercapainya ketentuan modal dasar sebesar 3 triliun rupiah adalah Bank Pembangunan Daerah akan menjadi bank perkreditan rakyat.

“Direksi ini harus fokus untuk meningkatkan, bayangkan saja kalau bank yang selama ini jadi kebanggaan orang Maluku tiba-tiba dialihkan menjadi bank perkreditan rakyat, ini kan masalah baru,” jelas Laturake.

Laturake menegaskan, pembayaran remunerasi yang dilakukan telah menjadi masalah hukum karena tidak mendapatkan persetujuan pemegang saham sejak awal.

Remunerasi kata Laturake merupakan kepentingan pribadi tetapi modal inti bank merupakan kepentingan organisasi artinya direksi dan komisaris jangan hanya sibuk untuk kepentingan pribadi sebab akan berdampak fatal bagi bank.

Karenanya, jajaran direksi dan komisaris jangan lagi mempersoalkan remunerasi tetapi lebih baik fokus untuk meningkatkan modal dasar bank.

Salahi Aturan

Seperti diberitakan sebelumnya, Direksi dan komisaris Bank Maluku-Malut, diduga melakukan praktik menyimpang yang tak boleh dilakukan oleh manajemen bank di era modern.

Hal itu dilakukan untuk menutup hasil temuan OJK tahun 2023, tentang pemberian remunerasi kepada Direksi dan dewan komisaris bank milik daerah yang dinilai telah menyimpang dari ketentuan yang berlaku.

Mereka mencoba mengakali temuan OJK itu, dengan modus menjalankan circular letter, yang didistribusikan ke seluruh bupati dan walikota, serta Gubernur Maluku dan Maluku Utara, sebagai pemegang saham.

Pelaksanaan RUPS sirkuler ini, pada intinya meminta persetujuan para pemegang saham tentang remunerasi bersifat variabel berupa bonus triwulan atau dalam bentuk apapun, yang telah kurun 2021 hingga saat ini, namun belum mendapat persetujuan dari pemegang saham.

Praktik busuk ini dilakukan untuk mengakali pemberian bonus triwulan kepada direksi dan komisaris yang telah berlangsung sejak tahun 2021 sampai 2023, namun belum pernah disetujui pemegang saham sama sekali.

Dengan kata lain, direksi dan komisaris meminta persetujuan untuk dilakukan pemutihan seluruh dana yang sudah masuk ke kantong mereka tahun 2021.

Hal ini tentu saja melanggar ketentuan dan berdampak pada tingkat kerugian bank secara material dengan nilai yang cukup fantastis.

Pada Peraturan OJK Nomor 45/POJK.03/2015 pasal 26 ayat 1 disebutkan, “Bank dapat menunda pembayaran Remunerasi yang
Bersifat Variabel yang ditangguhkan (malus) atau menarik kembali Remunerasi yang Bersifat Variabel yang sudah dibayarkan (clawback) kepada pihak yang menjadi material risk takers dalam kondisi tertentu”.

Sesuai bunyi POJK Nomor 45/POJK.03/2015 pasal 26 ayat 1 tersebut, maka seluruh remunerasi yang telah dibayarkan ke direksi dan komisaris berupa bonus triwulan, harus dikembalikan ke bank atau disetor kembali, karena dalam aturan tersebut tidak mengatur tentang pemutihan atas apa yang telah dibayarkan.

Bila nantinya direksi dan komisaris tidak melakukan penyetoran kembali, atau mengembalikan seluruh biaya yang sudah mereka terima selama ini, otomatis bank akan mengalami kerugian materiil dan hal ini dapat dipersamakan dengan tindakan fraud dan atu kejahatan perbankan.

Hanya Menyatukan

Direktur Bank Maluku Malut, Syahrizal Imbran yang dikonfirmasi Siwalima mengungkapkan, langkah yang dilakukan dengan menyurati seluruh pemegang saham Bank Maluku Malut adalah hanya untuk menyatukan saja dan bukan karena ada penyimpangan.

“Tidak, kita RUPS setiap tahun. Betul kita surati dan itu hanya untuk menyatukan saja, karena selama ini terpisah-pisah,” ujar Syarizal kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Minggu (13/8).

Terpisah, Kepala Otoritas Jasa Keuangan Perwakilan Maluku, Ronny Nazar mengakui menemukan pembayaran remunerasi bagi pegawai, direksi maupun komisaris Bank Maluku Malut.

Pasalnya, pembayaran remunerasi tersebut belum memenuhi syarat administrasi yakni persetujuan pemegang saham.

Walau demikian, hal itu bukanlah merupakan kejahatan perbankan dalam proses pembayaran remunerasi tersebut.

Kata dia, hasil temuan OJK terhadap pembayaran remunerasi merupakan isu rahasia antara otoritas dengan bank dalam rangka pemeriksaan atau pengawasan.

“Harusnya ini sudah harus diselesaikan saat kami melakukan pertemuan saat itu, tapi kenapa bisa keluar, sebab isu ini dalam laporan kami judulnya sangat rahasia dan bukan untuk konsumsi publik,” ungkap Nazar kepada wartawan di ruang rapat lantai 4 gedung OJK, Karang Panjang, Ambon, Senin (14/8).

Segera Periksa

Sumber Siwalima di Bank Maluku menyebutkan, kebijakan circular letter dilakukan, setelah manajemen mengetahui bahwa telah terjadi kesalahan dalam pembayaran remunerasi selama ini.

Sumber yang minta namanya tidak ditulis itu menduga, circular letter ini dilakukan atas arahan dan petunjuk OJK, atas temuan mereka.

Sumber yang sesehari bekerja di lantai 3 Kantor Bank Maluku Malut, meminta aparat penegak hukum untuk segera bertindak dan membongkar langkah yang bisa membawa dampak buruk ke bank.

“Penegak hukum, KPK, jaksa atau polisi, harus mengungkap kasus ini agar tidak merugikan bank dan daerah,” harapnya.

Menurut umber itu, manajemen sudah menikmati uang haram itu sejak tahun 2020 hingga 2023.

“Ini mereka sudah menikmati tiga tahun tanpa didasari aturan, kok sekarang baru mau dilegalkan. Kenapa baru mau dilegalkan, karena ada temuan,” ujar sumber yang meminta namanya tidak ditulis itu, Kamis (17/8) siang.

Sumber itu bahkan menuding, ada persekongkolan jahat antara manajemen dengan Otoritas Jasa Keuangan, sebagai pengawas.

“OJK sebagai pengawas, semestinya jangan membuat keruh masalah. Semestinya, temuan itu ditindaklanjuti, bukan malah diselesaikan dengan cara ilegal, seperti saran OJK,” kesalnya.

Masih menurut sumber tadi, temuan tersebut bermasalah hukum dan lazimnya ditindaklanjuti sampai kepada penegak hukum.

“Temuan itu fraud dan bermasalah hukum, jangan seolah-olah OJK menganggap hal biasa. Nggak ada cerita, itu fraud dan harus disetor balik, bukan malah mencari celah aturan yang tak baku di perbankan,” kesalnya.

Dia meminta OJK dan manajemen bank harus bertindak adil dan tak pandang bulu, karena pada kasus lain, pegawai kecil bisa dihukum demosi hingga pemecatan karena adanya fraud.

“Kalau pegawai kecil, mereka memberi sanksi turun pangkat hingga pemecatan. Kenapa OJK tidak memberikan sanksi yang sama terhadap manajemen bank. Ini kan tidak adil namanya,” lanjut dia. (S-08/S-20)