AMBON, Siwalimanews – Auditor Inspektorat Kabupaten Seram Ba­gian Timur Muham­mad Ichwan Patty me­negaskan, hampir se­mua kegiatan yang di­kerjakan dengan ang­garan DD dan ADD ta­hun 2018-2019 di Ru­madurun, Kecamatan Wakate fiktif.

“Sesuai data lapa­ngan, hampir semua kegiatan tidak ada. Hanya ada upah pe­kerja dan pembagian insentif tapi tidak se­suai juga,” jelas Patty saat memberikan kete­rangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (3/12).

Patty berujar, hal itu ditemuinya saat mela­kukan audit. Disana, dia hanya bertemu dengan pera­ngkat negeri dan tidak menemui kepala pemerintahan alias raja.

Mereka lalu memeriksa peker­jaan di lapangan. Nyatanya, tidak ada satupun yang terealisasi, sehingga auditor berkesimpulan semua kegiatan adalah fiktif.

Saat melakukan pemeriksaan, Patty mengakui dana tahap I dan II su­dah dicairkan. Anehnya, dana ta­hap III dalam proses pencairan pa­dahal tidak ada satupun kegiatan.

Baca Juga: Sekretaris & Raja Porto Sepakat Palsukan Laporan ADD-DD

Sementara itu, Kasubag Evalua­si dan Pelaporan pada Inspektorat Kabupaten SBT Hidayati Madaul menjelaskan, ia juga pernah me­ngaudit beberapa kegiatan dana desa. Dasar perhitungan adalah laporan hasil pemeriksaan lapa­ngan dan keterangan dari perang­kat negeri dan beberapa mas­yarakat.

“Lalu dihubungkan dengan ren­cana anggaran biaya maupun anggaran pendapatan belanja negeri,” ujarnya.

Kata dia, soal pencairan terus dilakukan tetapi tidak ada realisasi. Bendahara pengeluaran Rezwati Rumalutur mengaku, dirinya hanya tahu mencairkan uang saja.

Menurut Madaul, ada tiga tahap pencairan dana desa dengan mekanisme penyaluran awalnya, surat-menyurat dari dinas pemdes ke sekda. Kemudian surat penya­luran dari dinas pemdes dan dari sekda. Setelah itu disposisi dari kepala badan keuangan, selan­jutnya diserahkan kepala kepada bidang kuasa BUD.

Setelah itu, lanjut Madaul, barulah kuasa bendahara umum daerah meneruskan ke bendahara pengeluaran untuk menerbitkan, SP2D dan diserahkan kepada bendahara desa.

Dia juga menyebut, dokumen pen­cairan diserahkan untuk pro­ses pencairan dana desa adalah hanyalah APBD desa dan RAB un­tuk pencairan awal-awal. Se­dangkan, pencairan tahap berikut dokumen yang dimasukkan hanya berupa surat penyaluran dari dinas pemdes dan sekda. Sehingga, baginya dinas pemdes dan sekda juga mesti bertanggungjawab.

“Dana desa masuk dalam reke­ning daerah. Tidak ada tim yang bertugas untuk mengevaluasi dana desa,” katanya.

Dalam persidangan sebelum­nya terungkap, modus korupsi DD dilakukan dengan memarkup harga belanja material dan ada sejumlah kegiatan fiktif.

Sekretaris Desa Rumadurun, HelokYamko dalam kesaksiannya mengaku, pada tahun 2018 hingga 2019, negerinya memperoleh ban­tuan dana desa dan alokasi dana desa. Namun, dia tidak mengeta­hui besar bantuannya karena tidak pernah disampaikan oleh kepala desa. “Saya tidak tahu,” ujarnya.

Dia hanya mengetahui dana desa itu diperuntukkan sejumlah kegiatan, yakni untuk perumahan rakyat, pembentukan Bumdes, bantuan peternakan kambing, bantuan perkebunan dan penjua­lan bahan bakar minyak, dan renovasi perumahan rakyat.

Dia juga tidak tahu, bagaimana pencairan uang dana desa terse­but. Pasalnya, dia tidak dilibatkan sama sekali.

“Saya tidak tahu apakah dana desanya diterima secara langsung atau melalui transfer,” ungkapnya.

Ditegaskan, orang yang melaku­kan pencairan dana desa setiap tahapan hingga belanja kebutuhan adalah kepala pemerintah negeri dan bendahara. Dia sempat menu­turkan, tidak ada pembagian semen sebanyak 1100 sak kepada masyarakat. Juga, pembagian insentif tidak sesuai dengan laporan. “Saya tidak tahu kenapa tidak ada pembelanjaan semen,” ujar­nya.

Sementara itu, Kaur Pemerin­tahan Negeri Fatah Idi mengata­kan, dana desa itu diterima melalui transfer rekening. “Saya tahunya dari bendahara. Saya juga dengar dana desa diterima secara berta­hap sebanyak tiga kali tahapan sedangkan alokasi dana desa saya tidak tahu,” ujarnya.

Fatah Idi menjelaskan, tidak ada pembelanjaan semen karena katanya sudah dibelanjakan tetapi sampai sekarang tidak ada ba­rangnya. Katanya lagi, barangnya sudah ada di kapal ferry, tetapi karena lama semen tersebut su­dah membatu di atas kapal.

Menurutnya, ada janji akan mem­buat surat pernyataan di de­pan Inspektorat dan kejaksaan un­tuk mengembalikan dana tersebut secara cicilan, bisa dalam bentuk uang atau pengadaan semen kem­bali. Namun, hal itu tidak dilakukan.

Dalam kasus ini, jaksa mendak­wa Ali Keliobas melakukan per­buatan melawan hukum pengelo­laan keuangan Negeri Rumadurun Tahun 2018 dan 2019 secara tidak benar dan akuntabel.

Terdakwa adalah seorang ben­dahara  ia tidak melaporkan sejumlah kegiatan fiktif dan tanpa pertanggungjawaban.

Terdakwa disebut bersama Abuhariyamko memperkaya diri sendiri, dengan merugikan negara hampir Rp. 1 miliar. Hal itu bermula pada tahun 2018, Negeri Administratif Rumarudun memperoleh bantuan dana desa sebesar Rp 659,56 juta dan alokasi dana desa Rp 133,9 juta.

Mereka melakukan mark up beberapa item dan sejumlah ke­giatan fiktif. Termasuk tunjangan-tunjangan aparatur desa sebagian diberikan, namun sebagian diam­bil lagi kepala desa yang saat ini masih menjadi DPO.

Jaksa lalu membidiknya dengan pasal tindak pidana korupsi mela­ng­gar pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 jo Pasal 18 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberan­tasan Tindak Pidana Korupsi sebagai­mana di­ubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberan­tasan Tindak Pidana Korupsi jo pa­sal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.

Majelis hakim Felix R. Wiusan didampingi Jenny Tulak dan Ham­zah Kailul menunda persidangan ter­sebut dengan agenda pemeriksaan saksi, Kamis depan. (S-49)