AMBON,  Siwalimanews – Kegelisahan yang dialami para pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Perumnas Waiheru, Kecamatan Baguala, Kota Ambon akibat ulah Izack Molle, oknum preman penagih retribusi tanpa karcis itu ternyata ditanggapi serius oleh Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Kota Ambon.

Selaku organisasi yang menaungi PKL di Kota Ambon, APKLI yang dikomendai Sutan Marsida, saat ini sementara mengumpulkan bukti-bukti dugaan korupsi yang dilaku­kan oleh oknum Disperindag Kota Ambon.

Diduga oknum Disperindag Kota Ambon ini bekerja sama dengan Izack Molle untuk menggarap upeti dari PKL di Pasar Waiheru.

“Setelah kita menerima laporan dan melakukan investigasi ternyata ada dugaan korupsi yang dilakukan dengan menggarap retribusi dari PKL di Waiheru dan kita sementara siapkan bukti-bukti itu untuk dilaporkan ke Kejari Ambon,” tandas Ketua APKLI Kota Ambon, Sutan Marsida, kepada Siwalima, di Ambon, Kamis (15/7).

Disinggung soal bukti-bukti apa saja yang sementara disiapkan, Masida enggan membeberkannya.

Baca Juga: Anggota DPRD Sesalkan Proyek Akal-akalan SMI di Haruku dan Sirimau

“Saya belum bisa sampaikan ke publik, bukti apa saja yang sementara kami siapkan. Yang pasti, bukti-bukti ini akan segera kami sampaikan ke Kejari,” cetusnya.

Masida menjelaskan, korupsi dana retribusi PKL di Pasar Perumnas Waiheru ini diduga terjadi karena pertama, retribusi yang ditagih dari 300 lebih PKL yang memiliki lapak dan kios tidak menggunakan karcis, maka patut dipertanyakan bentuk pertanggungjawabannya seperti apa ?. Kedua, apakah benar retribusi yang ditarik dari PKL di Pasar Waiheru yang notabenenya tanpa karcis itu, seluruhnya disetor ke kas daerah ?, karena dari hasil investigasi yang telah dilakukan ternyata tidak disetor seluruhnya tetapi masuk ke kantong oknum pegawai Disperindag Kota Ambon dan bukti-bukti itu telah kami kumpulkan.

“Kami berharap Kadis Perindag Kota Ambon tidak menutup mata dengan persoalan ini, kami minta oknum-oknum pegawai Disperidag yang ditugaskan untuk meng­ontrol dan melakukan pengawasan di Pasar Waiheru ini dievaluasi kinerjanya,” pinta Masida.  

Sebelumnya diberitakan, retri­-busi yang ditagih dari PKL di Pa­-sar Waiheru,  Kecamatan Baguala Kota Ambon diduga ilegal.

Pasalnya,  retribusi yang ditarik oleh oknum Izack Molle tidak dibaringi dengan pemberian karcis.

Sikap dan tindakan Molle yang bertingkah preman ini sangat  meresahkan para PKL.

Sebanyak 300 lebih PKL yang memiliki lapak dan kios di Pasar Perumnas Waiheru itu diwajibkan membayar retribusi tanpa diberikan bukti pembayaran berupa karcis.

Ilham, pedagang sembako mengaku, selama dua tahun lebih,  tagihan ret ribusi dilakukan namun t idak pernah diberikan karcis bahkan untuk pembayaran pajak setiap bulannya, hanya diberikan kwitansi tanpa cap.

“Kita hanya diberikan kwitansi untuk pembayaran pajak sebesar Rp 174 ribu per bulan tanpa cap bahkan tanda tangannya pun berbeda-beda setiap bulan tanpa ditulis nama penerima.

Sementara pembayaran ret ribusinya sebesar Rp 5000 per hari t idak diberikan karcis,” tandas Ilham,  kepada Siwalima, Rabu (14/7).

Menurut Ilham, Molle itu orang dinas, kenapa tidak pakai pakaian dinas bahkan saat lakukan tagihan hanya memakai sendal, kacamata yang diletakan diatas kepala dan menggunakan celana pendek.

“Saat tagihan, dia juga mencatut  nama kepala dinas dan dia orang suruhan dari dinas,” ujarnya.

Senada dengan itu Cilo,  pedagang kentang dan wortel mengatalan, ulah Izack Molle ini sangat meresahkan pihaknya,  pasalnya Molle dalam m­lakukan penagihan retribusi berting­kah preman bahkan terkesan melaku­kan intimidasi apalagi saat  PKL tidak berjual tapi tetap ditarik retribusi.

“Masa katong tidak bajual tapi ditarik retribusi, inikan aneh ? Kalau kemana uang-uang itu,” cetusnya.

Ia mencontohkan, untuk liburan Idul Fitri misalnya, walaupun tidak ber­jualan namun tetap ditarik retri­busi padahalkan kita libur karena hari raya.

Selain itu, Yano pedagang kelapa dan sayur mengaku setiap harinya harus membayar retribusi Rp 18 ribu tanpa diberikan karcis.

Begitu juga dengan Arifin,  pedagang sembako. Arifin menutur­kan, pada awal Pasar Waiheru mulai beroperasi April 2019 lalu, PKL mem­bayar retribusi untuk Pemkot Ambon Rp 2000,  sampah Rp 2000, ke­ama­nan Rp 2000 kemudian ada kenaikan dari Disperindag Kota Ambon melalui UPTD menurut  Izack Molle.

“Yang menjadi keluhan kita bahwa telah dilakukan kenaikan retribusi untuk Pemkot Rp 5000, sampah 2000 dan keamanan Rp 2000 tanpa di­lakukan sosialisasi tapi langsung di­naikan sepihak. Lalu kata Izack Molle, itu aturannya dari dinas, itu instruksi dari kepala dinas semen­tara kita sampai sekarang ini belum pernah ketemu dengan dinas, apa­lagi sampai saat ini Pasar Waiheru belum diresmikan,” tandasnya.

Arifin juga mempertanyakan kapa­sitas Izack Molle untuk menangih retribusi dari para pedagang. “Kita heran kenapa penagihan retribusi itu harus dilakukan oleh Izack Molle,  kapasitas dia itu apa? kita bayar ret­ribusi setiap hari tapi tidak ada kar­cis. Contoh saja, kalau kita mau beli tiket kan diberikan bukti tiket tapi ini tidak ada, sehingga kami perta­nyakan kemana uang-uang retribusi yang telah ditagih itu,“ ujarnya.

Selain itu, kata dia, menurut  Izack Molle, untuk ukuran kios ukuran 2×2,5 meter maka pajak yang harus dibayar setiap bulan itu Rp 155 ribu, sementara untuk kios ukuran 2×2 meter bayarnya Rp 102 ribu.

“Yang sangat disayangkan kalau pedagang tidak membuka lapak atau kios, tetap retribusi dibayar. Tidak per­nah disosialisasi sebelumnya ke­pada para PKL,“ terangnya.

Menanggapi hal itu,  Ketua APKLI Ambon, Sutan Marsida mengata­kan, pada prisipnya pemerintah yang selalu mengklaim dirinya pemerintah namun  tindakannya dengan cara preman,  karena pertama, cikal bakal adanya Pasar Waiheru itu karena secara singkat berasal dari kemacetan di Pasar Cokro kemudian pemerintah pindahkan ke Pasar Perumnas dengan tujuan agar PKL punya tempat yang strategis dan jalur lalu lintas tidak menjadi penghalang lagi tetapi ketika digeser pada persoalan ret ribusi,  ini yang menjadi ending permasalahannya, karena belum ada surat  keputusan resmi terhadap PKL untuk membayar retribusi namun ada oknum pemerintah yang bekerja sama dengan preman untuk melakukan penarikan retribusi tanpa mensosialisasi besaran tagihan itu.

“Secara normatif belum diketahui pasar Waiheru ini, pasar tipe berapa, tipe satu, dua atau tiga, dari tipe itu baru kita bisa tahu besar retribusi yang bisa ditarik dari para PKL,“ tandasnya, kepada Siwalima, di Ambon,  Rabu (14/7).

Kedua, kata Marsida, selama ini dalam praktek di lapangan dengan menggunakan identitas pemerintah atas nama Izack Molle dan Kepala UPTD Pasar Passo dan Halong,  Merry Nanlohy, selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Izack Molle itu atas perintah dirinya maka tolong dijelaskan,  bagaimana pemerintah memerintahkan preman, redaksi suratnya seperti apa? dan jelas dari SK tidak ada secara nor­matif karena dia bukan ASN dan kalau dia dari lembaga maka mana itu MoU-nya. “Ini merupakan keja­hatan yang sudah terstruktur jauh sebelumnya,” tegasnya.

Kemudian ketiga, selama ini pe­layanan yang dinahkodai oleh Me­rry Nanlohy yang mengaku selaku kepala UPTD padahal hanya sebatas UPTD Passo dan Halong, selalu me­ngklaim punya kantor di Pasar Wai­heru, sementara keberadaan kan­tor di Pasar Waiheru itu hanya gudang yang datang untuk meng­ambil upeti dari Pasar Waiheru tanpa ada pe­layanan bagi PKL.

Keempat, karena adanya kejenu­han dari PKL maka timbullah hal-hal yang tidak diinginkan.

“Pedagang merasa mereka bagian dari APKLI  sehingga mereka mela­porkan hal ini kepada APKLI  dan setelah dilakukan investigasi ter­nyata benar adanya laporan terse­but,” jelasnya.

Dikatakan, pihaknya mencoba mencegah ini supaya terhenti agar ada solusi yang baik namun bukan ada solusinya tetapi justru Nanlohy memanggil sekutunya yang bukan ASN, bukan pegawai tetapi preman-preman baik penagih parkiran, keamanan dan retribusi untuk memback up dirinya sehingga itulah yang selama ini terjadi. Jangan kemudian lalu ia mengembalikan semua fakta bahwa cikal bakal dari kejadian tersebut karena tidak membayar retribusi tetapi justru karena adanya pembayaran retribusi yang tidak jelas.

Kelima, ketika pencegalan itu terjadi Nanlohy kemudian memba­ngun komunikasi dengan pemerin­tah desa dan pemerintah desa men­coba menginisiasi dan mengundang semua komponen yang ada terma­suk APKLI, padahal apa hubu­ngan­nya pemerintah desa, jangan sampai kepentingan yang besar ini, masa­lah yang begitu besar ini dititip oleh desa, dimana pertanggung jawaban pemerintah dalam hal ini Kadis.

“Selama ini UPTD selalu mengaku kalau semua ini perintah kadis maka saya minta kadis harus jelas untuk melacaknya kemudian mengevaluasi Nanlohy karena saat  ini PKL sementara siapkan bukti untuk menempuh jalur hukum melalui Kejari Ambon,” tandasnya. (S-16)