DOBO, Siwalimanews – Aksi demonstrasi anak-anak adat Kabupaten Kepulauan Aru di depan kantor bupati, menuntut bupati, Johan Gonga mencabut SK Dewan Adat Aru (DAA).

Aksi yang dilakukan di depan Kantor Bupati Aru, Kamis (23/9) itu disambut oleh bupat bersama Plt Kesbangpol Aru Semi Benamem, Kabag Humas dan Protokoler Setda Aru Piter Kalorborbir, Kasat Bimas Polres Aru AKP Adolf Bembuain, Kasat Sabara Polres Aru, Iptu. Leo Siwabessy.
Sebelum para pendemo membacakan tuntutan mereka, salah satu orator demo mengatakan, aksi ini berimbas dari Ketua DAA, Tonji Galanggonga memberikan keterangan membela TNI AL Lanudal Aru dalam sidang mendengar keterangan saksi di PN Dobo, Rabu (22/9) terkait kasus petuan hak Ulayat di desa Marfenfen yang diduga diseroboti TNI AL (Lanudal Aru).
Dalam persidangan keterangan Ketua DAA, Tonji Galanggonga mestinya membela hak-hak ulayat adat Aru, namun apa yang diharapkan terbalik seratus persen.
Imbas dari keterangan Tonji Galanggonga dengan mengatasnamakan seluruh masyarakat Aru dalam sidang pemeriksaan keterangan saksi menyulut amarah dan kekecewaan anak-anak adat Aru, karena dianggap menghianati apa yang perjuangan yang selama ini di suarakan oleh masyarakat dan anak-anak adat Aru.
Terkait aksi tersebut, Bupati mengatakan terkait hak-hak Ulayat adat itu hal yang perluh di pertahankan, namun ada aturan-aturan yang mengaturnya.
Sementara itu, tuntutan para pendemo yang tergabung dalam anak adat Aru yakni, Majelis Adat Aru Ursia-Urlima, setelah mengikuti dan mencermati proses-proses perjuangan masyarakat hukum adat Marafenfen untuk merebut kembali hak-hak atas tanah pusaka/ulayat yang sementara ini disengketakan, serta dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat Aru yang mana perjuangan dari masyarakat kecil dan lemah yang hanya bermodalkan semangat dan nyawa menjadi taruhan, berhadapan dengan institusi pemerintahan yang memiliki kekuatan dan daya memerintah, akan menyebabkan terjadinya trauma sosial dan munculnya gep serta rasa ketidakpercayaan terhadap intitusi tertentu, bahkan kepada negara.
“Dalam kondisi dan situasi seperti itu, negara dituduh tidak melindungi hak warga bangsa serta pemerintah dinilai mengingkari ketentuan pasal 18b ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan mayarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang,” jelas para pendemo.
Berdasarkan pemikiran dan bahaya dampak sosial seperti disebutkan di atas, Majelis Adat Aru Ursia-Urlima menyampaikan pemikiran dasar, sebagai berikut satu, beberapa klan (Gaelagoy, Bothmir, Tiljuir dan Bothmonamona) atas kesadaran bersama membentuk satu komunitas Nata Marafenfen. Sebagai Nata/Natafen/Fanua/Desa, mereka memiliki : Sejarah asal-usul/identitas budaya; wilayah adat/teritorial; hukum adat dan peradilannya; Lembaga adat serta benda-benda adat. Dua, Nata Marafenfen dalam struktur Hukum Adat Aru Ursia-Urlima, tergabung bersama Nata Popjetur, Gaimar, Kabalukin,Kalar-Kalar, Feruni, Ngaiguli, Fatural dan Ngaibor dalam sub rumpun Tilkei (Tulang Belakang) Urlima, diakui sebagai Nata sama seperti 106 Nata/Natafen/Fanua/Desa lainnya dalam tatanan Hukum Adat di Kepulauan Aru, yang telah ada jauh sebelum NKRI terbentuk. Apabila status Nata Marafenfen oleh pihak tertentu tidak mengakuinya sebagai desa adat karena belum ada regulasi daerah yang mengatur pengakuan sebagai desa adat, maka penyelenggara pemerintahan yang harus bertanggungjawab karena kewenangan legislasinya dan bukan masyarakat adat yang menjadi korban kehilangan status desa adat hanya karena belum adanya regulasi pengakuan desa adat. Ketiga, sesuai keberadaan Nata Marafenfen dengan kepemilikan dan kedudukannya dalam struktur Hukum Adat sebagaimana disebutkan pada angka (1) dan angka (2) di atas, Majelis Adat Aru Ursia-Urlima atas nama 117 desa adat dan seluruh Masyarakat Hukum Adat Aru Ursia-Urlima menyatakan : Nata Marfenfen adalah desa adat.
“Desa Adat Marafenfen atau Nata Marafenfen, keberadaannya tidak boleh terganggu, kedudukannya tidak harus tergeser sebab, sangat mempengaruhi seluruh keberadaan dan kedudukan Masyarakat Hukum Adat Aru Ursia-Urlima yang telah tertata secara adat. Terhadap perjuangan untuk merebut kembali tanah pusaka yang menjadi milik anak cucu, titipan leluhur, anugerah Tuhan, Majelis Adat Aru Ursia-Urlima Memberi Dukungan Sepenuhnya dan mengambilnya, menjadi perjuangan bersama seluruh Masyarakat Hukum Adat Aru Ursia-Urlima dari Gudor Jurin sampai Jurun Toi-Toi,” tandasnya.
Selain itu, kesempatan tersebut, para pendemo juga membacakan dua rekomendasi DPRD Aru, merekomendasikan kepada Bupati Kabupaten Kepulauan Aru untuk melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan menetapkan 117 desa di Aru sebagai desa adat. (S-25)